Setelah beristirahat, tubuh Darma kini sudah pulih. Dia diajak berkeliling oleh Kapten Erdo. Kabut di planet ini sungguh tak terkira tebalnya. Tapi selama masih dekat dengan kota, masih aman udaranya untuk dihirup walaupun berkabut tebal. Tidak ada yang memakai masker sama sekali.
Kapten Erdo menjelaskan kalau kegiatan di sini selain mendapat misi dari Panglima, juga melakukan ekspedisi untuk mencari sumber energi. Di bawah menara memang lebih gelap. Tapi di bawah sana menjadi kebun untuk menanam tanaman yang di mana oksigennya untuk memenuhi kebutuhan pernapasan di atas menara. Ke depannya diharapkan minimal udara di sekitar menara jadi lebih bersih.
Setiap hari, pesawat lalu-lalang. Baik pergi dan kembali dari ekspedisi, ataupun pergi dan kembali dari misi. Di setiap sisi menara terdapat sebuah tabung yang berfungsi sebagai lift. Di kebun itu juga tak hanya menanam tanaman untuk menghasilkan oksigen. Tetapi juga bahan pangan untuk bertahan hidup. Ketika sudah panen, pesawat khusus pengangkut bahan pangan akan mengangkut semua hasil panen ke atas menara. Ada satu hal lagi. Yaitu air. Mereka membuat mesin untuk memfilter air kotor. Mesin tersebut berada di sebuah danau yang agak jauh. Dan air hasil filter, dialirkan melalui pipa dan berakhir di sebuah penampungan yang disimpan di dalam menara. Di dalam penampungan juga terdapat pompa-pompa yang memompa air ke seluruh bangunan di atas menara. Juga tentunya air mancur di taman.
Darma diajak naik ke sebuah kapsul kecil yang hanya bisa dinaiki oleh dua orang. Kapsul itu terbang ke atas dan memperlihatkan semua menara yang walaupun samar-samar hanya cahaya lampunya saja. Menara utama di tengah, dan sisanya mengelilingi menara utama yang dihubungkan dengan sebuah jembatan. Kapten Erdo pun menjelaskan kalau bagian atas menara ini bisa terbang dan membentuk sebuah Pesawat Induk Divisi Dua Puluh Aliansi Kebebasan.
Setelah berkeliling, Darma menemui Ramna ketika dia sibuk baca buku di sebuah taman.
"Yora ke mana?" tanya Darma sambil duduk.
"Entahlah."
Darma memperhatikan ke sekitar. Alangkah indahnya tempat ini jika tidak ada kabut tebal.
"Hei, kau kan seorang alkemis," sahut Darma kemudian.
"Lalu?" tanya Ramna sambil tetap membaca buku.
"Ada tidak yang menguasai ilmu alkemis selain dari Ethias?"
"Setahuku, tidak banyak. Tapi ada orang terkuat yang menguasai ilmu ini."
"Siapa dia?"
"Kapten Divisi Pertama Aliansi Merah."
"Kau sudah bertemu dengannya?"
"Belum. Tapi kabarnya, dia sangat kuat. Dia itu lawannya semua kapten divisi satu baik dari lima aliansi terkuat, ataupun aliansi kita."
"Berarti Kapten Ozaf sangat kuat?"
"Sudah tentu."
Lalu, datang seorang yang seluruh badannya terbuat dari besi. Tetapi, ditutupi semacam kulit sintetis namun tidak sepenuhnya. Seperti di pergelangan tangan. Wajahnya seperti wajah manusia namun bagian pipi depan rata. Bola matanya juga terbuat dari besi dan di tengahnya seperti ada lampu yang menyala. Darma lalu teringat oleh perkataan Guldi. Dia lalu menebak kalau orang ini dari planet Tron. Tetapi, di sini ada kulit sintetisnya.
"Oh, aku ini sudah diubah sedemikian rupa jadi bentuknya seperti ini," kata makhluk tersebut.
"Siapa namamu?" tanya Darma.
"Aku Rex," jawab Rex.
"Aku pernah melihat orang sebangsamu di Efora."
"Mereka mengambil jalannya masing-masing."
"Apa benar planetmu tidak ada udara?"
"Benar."
"Di mana letaknya."
"Di daerah bintang Garda."
"Berapa lama jika dari sini ke sana?"
"Hanya beberapa jam."
Darma kaget. Sebab, dia, Ramna, dan Yora saja perlu waktu puluhan jam dan masih berada di satu daerah bintang.
"Aku lupa memberi tahu," Ramna tertawa.
"Apa itu?" tanya Darma yang masih kebingungan.
"Setiap pesawat induk luar angkasa itu memiliki mesin yang besar. Jadi bisa berada di dalam kecepatan cahaya berkali-kali lipat dari pesawat biasa."
"Tapi pesawat komersial kecepatannya sama dengan kecepatan pesawat Yora."
"Maksudku khusus untuk pesawat militer. Jika kau menggunakan pesawat biasa atau komersial dan ingin pergi ke daerah bintang yang lain, kau harus membutuhkan waktu yang banyak juga. Dan tentunya transit di berbagai macam planet."
Darma hanya tertawa. Dia merasa ngeri mendengar fakta betapa luasnya galaksi ini.
***
Di planet yang sebagian tanahnya biru muda di daerah bintang Cakra, Kapten Raden sedang melakukan sebuah negosiasi dengan pemimpin planet tersebut. Ketika pintu gerbang ganda yang megah terbuka, Kapten Raden melangkahkan kaki. Postur tubuhnya kecil, jubah warna putih krem membalut tubuhnya seperti mantel piama. Rambutnya rapi lurus berwarna biru terang. Poninya pun rapi tak menutupi wajahnya. Kulitnya putih pucat. Matanya tajam dengan bola mata seperti kucing. Sekilas dilihat dia seperti seorang anak kecil yang manja.
Dia berjalan perlahan melewati para penjaga yang berbaris dengan baju zirah yang mengerikan. Planet Gorf semua penghuninya berpostur tubuh tinggi tambun. Tiga kali lebih besar dari rata-rata makhluk di galaksi ini. Tampangnya menyeramkan seperti buaya. Kulitnya tebal bersisik. Tangan besar dengan kuku lancip nan tajam berwarna hitam. Mata berwarna merah dan juga gigi yang sangat tajam.
Ketika tiba di hadapan Pemimpin Gorf, dia berhenti lalu memandangi Sang Pemimpin yang duduk di singgasananya dengan mahkota dan senjata sebuah palu raksasa berduri dengan melihat ke atas. Jika dianalogikan, Kapten Raden dengan Pemimpin Gorf itu seperti manusia dewasa normal dengan rumah tiga lantai. Lebih sederhana seperti seekor katak dan seekor monyet jantan besar.
"Siapa kau? Beraninya kau datang kemari?" tanya Sang Pemimpin.
"Raja Dermit Pemimpin Gorf. Saya datang ke sini ingin melakukan sebuah negosiasi," jawab Kapten Raden dengan tenang.
"Jangan panggil aku raja. Aku ini dipilih oleh rakyat Gorf."
"Itu adalah panggilan kehormatan dariku."
"Negosiasi apa yang kau maksud?"
"Bisa dikatakan ini sebuah tawaran."
Dermit terdiam.
"Kami menawarkan sebuah teknologi untuk memanfaatkan sumber daya di planet ini. dan hasilnya, kita bisa rundingkan. Aku jamin tidak akan ada yang dirugikan."
"Kami sudah memanfaatkan sumber daya alam kami dengan cara kami sendiri."
Kali ini Kapten Raden yang terdiam.
"Entah apa kata leluhur kami kalau kami bekerja sama dengan seorang anak kecil yang mungkin masih minum susu sama ibunya hahahaha!" Dermit tertawa terbahak-bahak.
Semua prajurit yang ada di ruangan ini juga ikut tertawa.
"Bisa dibayangkan ketika kita melaporkan hasil sumber daya alam tapi tak sengaja kita melihat dia sedang menetek sama ibunya bwahahaha," sahut seorang prajurit dengan tawa terbahak.
Semua prajurit tertawa lebih keras lagi. Kapten Raden hanya tersenyum sedikit. Tapi senyumannya itu membuat Dermit tertawa semakin keras sampai-sampai air matanya menetes keluar.
"Menetek sama ibunya bwahahahaha." Kata Dermit.
Semua prajurit tertawa semakin keras daripada sebelumnya.
Kapten Raden mengambil napas panjang. Lalu secara cepat dia melompat dan sekarang dia sejajar dengan kepala Dermit. Dia membuka kancing jubahnya dan seketika jubahnya terbuka lebar. Di dalam jubah, ada sebuah senjata berupa pedang pendek berbentuk lingkaran berdiameter sekitar lima senti dan ujungnya lancip mengerucut. Dia hunus dan tebaskan pedang itu ke arah kepada Dermit. Merasa dia diserang, Dermit menahan tebasan Kapten Raden dengan palu berdurinya. Tapi tebasan Kapten Raden sangat kuat sehingga dia terpental ke belakang menembus tembok dan terguling jauh sekali sampai ke hutan.
Seluruh prajurit terdiam. Mereka tidak menyangka makhluk kerdil ini bisa membuat Dermit terpental jauh sampai melubangi tembok. Kapten Raden mendarat ke lantai. Dia berdiri tegak sambil tangan kirinya dia kepalkan ke arah belakang punggung. Tangan kanannya memegang pedangnya yang dia luruskan dan tempelkan ke dahinya.
"Ada yang berani mengejekku lagi?" tanya Kapten Raden.
"KURANG AJAARR!" teriak semua prajurit yang seketika menyerang Kapten Raden secara bersamaan.
Bersambung...
Maaf guys karena kesibukan saya novel ini sempat gak update. Tapi insya Allah minimal seminggu sekali bakal ada bab baru ya? Soalnya ceritanya masih sangat panjang. Ini baru Session pertama. Mungkin akan terbagi jadi tiga atau empat session lagi. Jadi, terus dukung novel ini, ya? ;)