ดาวน์โหลดแอป
1.1% Sleeping with The Devil / Chapter 3: Jangan Katakan dengan Siapa pun

บท 3: Jangan Katakan dengan Siapa pun

"Hapus air mata kamu, Gisel. Jangan buat seolah aku menyakiti kamu," ucap Kenzo dengan raut wajah datar dan suara yang begitu dingin.

Kan memang kamu menyakitiku, batin Gisel dengan raut wajah masam.

"Selain itu jangan pasang wajah masam karena aku begitu benci, Gisel. Kita sudah melakukannya berulang kali dan aku rasa wajah ditekuk kamu itu sudah tidak pantas. Kamu juga gak perlu bersedih karena nyatanya kamu sendiri mendesah begitu keras dan keluar begitu banyak. Jadi, itu artinya …," Kenzo menghentikan ucapannya sejenak dan menatap ke arah Gisel berada. "kamu menikmatinya," lanjut Kenzo dengan senyum sinis dan kembali menatap ke arah jalanan.

Gisel yang duduk di dekatnya hanya diam dengan mulut tertutup rapat. Mendengar Kenzo yang suka sekali menghina dirinya benar-benar membuatnya begitu terluka. Namun, Gisel sendiri tidak memiliki sedikit pun keberanian untuk melawan. Mungkin memiliki, tetapi semua luruh ketika Kenzo lagi-lagi memberikan ancaman yang membuat Gisel benar-benar tidak memiliki kemampuan melawan.

Gisel menarik napas dalam dan membuang perlahan, berusaha menguasai dirinya yang sejak tadi larut dalam kesedihan. Tangannya mulai terulur, menghapus air mata dan kembali menormalkan raut wajah yang sejak tadi terlihat sedih. Dia merasa benar dengan apa yang Kenzo katakan. Dia tidak pantas bersedih karena hal ini sudah terjadi berulang kali. Setidaknya dia masih bersyukur karena Kenzo tidak mengambil mahkota yang selam ini dia jaga. Kenzo selalu mempu mengendalikan diri dan hanya hal itu yang mampu membuatnya bernapas lega.

Jika dia sampai menyentuku, aku benar-benar tidak tahu apa yang akan aku lakukan selanjutnya, batin Gisel.

Kenzo yang melihat perempuan di dekatnya menurut hanya diam. Sebelah bibirnya mulai terangkat, seakan menang karena dia yang mampu mengendalikan Gisel. Selain itu, dia juga merasa puas karena bisa melihat wajah Gisel yang tertekan.

Aku jadi penasaran, seperti apa reaksi mamanya kalau sampai tahu anaknya sering kali melakukan foreplay denganku, batin Kenzo, masih memasang raut wajah sinis. Tidak terlihat sama sekali raut wajah penuh penyesalan atau belas kasih dengan Gisel. Hingga lampu lalu lintas berubah menjadi merah, membuat Kenzo menghentikan laju kendaraan. Kenzo mengalihkan pandangan, menatap ke arah Gisel yang masih duduk di sebelahnya.

"Aku peringatkan dengan kamu, Gisel. Jangan sampai mengatakan apa yang aku lakukan dengan mama dan papa. Kamu harus tetap bertingkah baik dan aku akan menyimpan semuanya rapat-rapat," ucap Kenzo, memecah keheningan.

Gisel yang mendengar hal tersebut langsung mengalihkan pandangan, menatap ke arah Kenzo berada. Rasanya begitu kesal dengan pria di dekatnya. Namun, dia hanya memasang raut wajah datar, tidak ingin kalau kemarahannya terlihat oleh Kenzo. Pasalnya, dia yakin jika hal tersebut terjadi, Kenzo akan kembali menyiksa dirinya, membuat Gisel kembali mengalihkan pandangan dan menatap trotoar jalan.

"Jangan takut, Kak. Tiga tahu sudah berjalan dan aku tidak pernah mengatakan apa pun. Jadi, Kakak gak perlu mengancamku karena aku juga tidak akan mengatakannya," ucap Gisel tanpa semangat.

Karena aku tidak ingin kalian semua bertengkar, batin Gisel, masih memikirkan hubungan Kenzo dan Karan. Jika tidak untuk Kenzo, setidaknya pengorbanannya adalah untuk sang papa.

Kenzo mendengus lirih ketika mendengar hal tersebut. Namun, tidak bisa dipungkiri jika dirinya begitu senang dengan Gisel yang begitu menurut. Hingga lampu lalu lintas berubah warna, membuatnya segera melanjukan mobil dan menuju ke arah kampus Gisel.

***

Lima belas menit. Kenzo menghentikan laju kendaraan di depan gerbang sebuah Universitas ternama. Sudah beberapa tahun Gisel menempuh pendidikan di tempat tersebut, menjalani hari dengan segala rutinitas yang jelas menyibukannya. Tidak jarang dia harus pulang malam hanya untuk menyelesaikan beberapa tugas dan juga mencari bahas untuk tesis miliknya. Tentu saja dia tidak akan pulang sendiri karena Kenzo pasti akan menjemputnya layaknya seorang sopir. Pria tersebut selalu menanyainya kapan dia akan pulang dan dapat dipastikan Kenzo akan berdiri di depan gedung di waktu yang tepat, tidak terlambat sedikit pun.

"Kamu pulang jam berapa?" tanya Kenzo.

Gisel baru saja mengatakannya dan Kenzo menanyakan hal yang sama. Dengan malas, Gisel menatap ke arah Kenzo. Dia tahu jika pria tersebut tidak mau diabaikan sama sekali dan jika hal tersebut terjadi, bisa dipastikan temperamen Kenzo yang buruk akan membuatnya susah.

"Aku pulang jam empat," jawab Gisel.

Kenzo yang mendengar langsung menaikan sebelah alis. "Jam empat?" ulang Kenzo dengan tatapan mengejek. "Aku bahkan tahu kalau kamu pulang di jam dua belas, Gisel. Jadi, jangan coba membohongiku," tambah Kenzo dengan penuh percaya diri.

Kalau tahu kenapa harus bertanya, batin Gisel dengan perasaan dongkol.

"Aku akan menjemput kamu jam dua belas," putus Kenzo.

"Aku harus mencari bahan makalah dan juga tesis, Kak," ucap Gisel cepat.

Kenzo hanya diam, menatap ke arah Gisel yang terlihat serius. Namun, manik matanya masih terus mengamati, memperhatikan adik tirinya dengan begitu seksama. Dia tidak ingin jika Gisel berbohong. Hingga dia mendesah kasar dan menatap lekat.

"Baiklah. Jam empat aku akan datang dan aku tidak mau menunggu. Jadi, usahakan kamu keluar dari kampus sebelum jam empat dan tunggu aku di luar," tegas Kenzo.

Gisel yang mendengar langsung menganggukkan kepala. Dalam hati dia bernapas lega karena Kenzo yang percaya dengannya. Pasalnya, jika bersama dengan Kenzo dalam waktu yang cukup lama, Gisel merasa risih sekaligus takut. Dia benar-benar tidak nyaman dan hanya dengan cara inilah dia bisa menjauhkan diri dari Kenzo tanpa menimbulkan kecurigaan. Meski dia harus di perpustakaan hampir setengah hari, tetapi hal itu jauh lebih baik dari pada bersama dengan Kenzo.

Gisel membuka pintu mobil dan keluar. Dia mulai menarik napas dalam dan membuang perlahan, menikmati udara sejuk yang langsung menyapa. Seperti seorang tahanan yang baru saja keluar dari penjara, dia benar-benar seperti merasakan kehidupan.

Kenzo yang melihat hal tersebut hanya diam, mengamati Gisel yang terlihat begitu bahagia. Hingga dia membuka pintu dan menutup kasar, membuat Gisel mengalihkan pandangan. Manik mata perempuan tersebut langsung membelalak ketika melihat Kenzo sudah keluar dan melangkah ke arahnya.

Dia gak mungkin ikut aku ke kampus, kan, batin Gisel dengan raut wajah cemas. Sampai Kenzo berhenti di depannya, membuat Gisel menatap dengan penuh tanya.

"Kakak kenap …." Gisel menghentikan ucapan ketika tiba-tiba Kenzo meraih dagunya dan menyatukan bibir. Kedua matanya mulai membola, terkejut dengan apa yang tengah Kenzo lakukan. Hingga pria tersebut melumat lembut, membuat Gisel memejamkan mata dan tanpa sadar membalasnya.

Namun, tepat saat itu, Kenzo menghentikan dan melepaskan penyatuan. Gisel yang mulai sadar langsung menutup mulut rapat, melihat sekeliling dengan raut wajah memerah, malu karena beberapa teman satu kampusnya yang sudah menatap dengan pandangan merendahkan.

Sedangkan Kenzo, dia melangkah tanpa sepatah kata pun, membuat Gisel yang ada di sana menatap tajam ke arah mobil Kenzo yang sudah pergi meninggalkan pelataran kampus.

Dasar kurang ajar, batin Gisel.

***


next chapter
Load failed, please RETRY

ของขวัญ

ของขวัญ -- ได้รับของขวัญแล้ว

    สถานะพลังงานรายสัปดาห์

    Rank -- การจัดอันดับด้วยพลัง
    Stone -- หินพลัง

    ป้ายปลดล็อกตอน

    สารบัญ

    ตัวเลือกแสดง

    พื้นหลัง

    แบบอักษร

    ขนาด

    ความคิดเห็นต่อตอน

    เขียนรีวิว สถานะการอ่าน: C3
    ไม่สามารถโพสต์ได้ กรุณาลองใหม่อีกครั้ง
    • คุณภาพงานเขียน
    • ความเสถียรของการอัปเดต
    • การดำเนินเรื่อง
    • กาสร้างตัวละคร
    • พื้นหลังโลก

    คะแนนรวม 0.0

    รีวิวโพสต์สําเร็จ! อ่านรีวิวเพิ่มเติม
    โหวตด้วย Power Stone
    Rank NO.-- การจัดอันดับพลัง
    Stone -- หินพลัง
    รายงานเนื้อหาที่ไม่เหมาะสม
    เคล็ดลับข้อผิดพลาด

    รายงานการล่วงละเมิด

    ความคิดเห็นย่อหน้า

    เข้า สู่ ระบบ