ABK, anak berkebutuhan khusus, Ya! Itulah aku dan adikku, anak berkebutuhan khusus yang setiap harinya melakukan segala aktivitas di dalam kamar
Hidupku tak seburuk yang kalian pikirkan, hidupku jauh lebih bahagia dari ABK-ABK lain diluar sana
Seharusnya aku dianggap sebagai anak yang normal, namun ibuku yang terlalu khawatir padaku karena suatu peristiwa
Suatu hari saat aku masih bayi, ketika itu aku menangis, menangis dengan kencang hingga membuat siapa saja yang mendengarnya telinganya akan merasa sakit
Namun bukan itu peristiwa yang ingin aku jelaskan. Namun, peristiwa yang ingin aku jelaskan adalah dimana pada saat aku menangis benda-benda yang berada di sekitarku bergetar dan melayang. Bukan itu saja, bahkan ayah dan ibuku juga ikut melayang
Kejadian tersebut bahkan berulang-ulang ketika aku marah dan menangis. Ayah dan ibuku lalu membawaku ke tempat psikolog dan memeriksa apa yang sebenarnya terjadi padaku
Selang beberapa lama kemudian, psikolog itu mengatakan pada orang tuaku bahwa aku adalah anak spesial yang mempunyai kekuatan mengendalikan benda atau yang disebut telekinesis
Tetapi ibuku membantah dan memaksa ingin menyembunyikan kekuatanku ini. Apalah daya si psikolog, ia harus menerima pernyataan ibuku dan hanya bisa memberikan suatu gulungan yang sampai saat ini aku masih belum tau itu apa
Dan adikku, seperti yang sudah aku ceritakan tadi, adikku juga termasuk ABK
Dari lahir adikku sudah dianggap memiliki kelainan oleh pihak rumah sakit namun kata dokter itu bukanlah sesuatu masalah yang besar. Hanya saja ada suatu zat aneh yang terkandung didalam darah adikku
Namun lagi-lagi ibu terlalu mengkhawatirkan anaknya. Alhasil adikku juga menjalani kehidupannya hanya di dalam kamarnya
Entah itu belajar, bermain, makan, tidur, dan sebagainya. Segala aktivitas dilakukan di dalam kamar.
***
Beberapa tahun kemudian, ayahku meninggal karena kecelakaan. Ibuku sangat panik saat ambulan datang di depan rumah dan memberi tahu bahwa ayah meninggal di lokasi kejadian
Ibuku sangat syok hingga membuatnya pingsan. Namun, apa yang bisa dilakukan ibu, ia hanya bisa berdoa untuk ayah yang telah berada di alam sana
Mau tak mau akupun yang harus menangani keuangan keluargaku. Hanya bermodalkan gitar yang diberikan ayahku untuk ulang tahunku dan suaraku yang kurasa sudah lumayan bagus ini
Sebetulnya masih ada pamanku yang membantuku, dan bahkan itu lebih dari cukup. Namun ibuku menolak dan katanya ia akan mencari pekerjaan
Aku merasa kasihan pada ibu yang harus bekerja, aku berkata padanya agar aku saja yang bekerja, awalnya ibu menolak namun karena aku sangat memaksa akhirnya ia mengizinkanku
Aku memutuskan untuk menjadi pengamen, menggunakan gitar ayah yang sekarang menjadi milikku
Dan ini merupakan hari pertamaku untuk mengamen
"Ibu, aku berangkat dulu" ucapku yang telah bersiap dan akan berangkat untuk mengamen
Ibuku menoleh, "Ya, hati-hati dijalan dan jangan pulang terlalu malam" sahut ibuku
"Ya, baiklah" balasku
Akupun berangkat, mengitari jalan raya dan dari rumah ke rumah untuk mencari nafkah
Di suatu rumah yang cukup besar, aku melihat seseorang yang sedang mengejar pria yang kepalanya ditutup dengan sesuatu hingga tak bisa mengenalinya
'siapa yang ia kejar ya?' tanyaku dalam batinku
"Tolong! Tolong! Ada maling!" Teriaknya dengan lantang yang membuat warga sekitar berkumpul dan mengejar maling tersebut
Aku berpikir dan mencari sebuah cara untuk menangkap maling itu, "Aku akan membantunya, tetapi bagaimana?"
"Ayo cepatlah berpikir" pintaku pada otakku yang tak kunjung bekerja ini
Akhirnya aku menemukan sebuah cara cepat untuk menangkap maling itu
"Aku akan lewat jalan pintas!" Akupun segera berlari, melewati jalan-jalan sempit diantara rumah-rumah
Dengan energi yang ada di dalam diriku ini aku mengejar maling itu, sekarang aku telah berada tepat di belakang malingnya
Aku berusaha menggapai pundak maling tersebut, "Hei! Berhenti!"
Tak berhenti, maling tersebut malah semakin cepat berlari meninggalkan para warga beserta aku dibelakang
Tidak ingin ketinggalan terlalu jauh, akupun meningkatkan kecepatan berlariku dan mendorong maling itu hingga membuatnya menabrak tiang listrik
Bruk! (*Suara yang dihasilkan karena maling tersebut menabrak tiang)
"Nah--kan, ter--tanggkap, ju--ga" ujarku dengan nafas yang masih terengah-engah sambil mengambil nafas sebanyak mungkin
Tak lama berselang, warga yang mengejar maling ini sampai, lalu dua orang warga mengangkat lengan maling itu dan membawanya secara paksa
"Nah! Ini malingnya! Ayo kita bawa ke kantor polisi!", Ujar seorang warga, 'Ayo!' sahut para warga kompak
Beberapa warga melihatku lalu salah seorang dari mereka berterimakasih padaku, "Terimakasih ya dek, sudah membantu kami menangkap maling ini" Ucapnya yang diikuti senyum warga di sekitar
"Iya pak, sama-sama" balasku
Para warga pun membawa maling tersebut ke kantor polisi dengan beramai-ramai. Sempat kulihat apa yang dicuri oleh maling itu, sebuah koper hitam
Mungkin mereka lupa membawa barang yang dicuri maling tadi, akhirnya, aku memutuskan untuk mengembalikan koper ini pada pemiliknya
***
Aku menemui orang yang tadi kecurian, ia kini tengah duduk di kursi seberang jalan di depan rumahnya. Dilihat dari mimik wajahnya ia terlihat panik dan kebingungan, dan mungkin juga pasrah pada apa yang sudah menimpanya sekarang ini.
Aku sempat merasa kasihan padanya, untung saja aku membawa koper itu, nampaknya isi koper ini sangat penting baginya
Dengan senang, aku lalu mengembalikan koper ini kepadanya, "Ini koper bapak yang di-"
"Koperku!" Belum sempat aku menuntaskan kata-kataku, bapak itu langsung memeluk erat kopernya
Bapak itu menoleh padaku, kini terlihat senyuman terukir di wajahnya, "Terimakasih ya, koper ini sangat penting bagiku" Ucapnya
Aku mengukir senyum yang sama di wajahku, "Iya pak, sama-sama", "Ya sudah, kalau begitu saya pamit dulu ya pak" Ucapku hendak pergi
Bapak itu tiba-tiba menghentikan langkahku dan berhenti tepat di depanku, "Tunggu sebentar!" Ucapnya
Aku terdiam, menunggunya untuk menyelesaikan kata-katanya.
"Kamu! Iya kamu!" Tunjuknya padaku
Aku diam kebingungan, "Iya pak, ada apa dengan saya?" Tanyaku
"Iya, ini benar! Kamu adalah orang yang saya cari selama ini!" Jawabnya
"Apa?" Tanyaku bingung
Hahaha! (*Ia tertawa)
'Mungkin akibat terlalu lama kehilangan kopernya, ia menjadi stres' pikirku dalam benak
Ia melototi wajahku, "Nama kamu Rendy, bukan?" Tanyanya
Aku sempat kebingungan namun dengan berani aku berusaha bertanya, "Iya benar, bagaimana bapak bisa tahu?"
Raut mukanya menambah kesan horor bagiku, "Iya, tidak bisa diragukan lagi. Kamu adalah Rendy, anaknya Andy"
"Loh, kenapa bapak bisa tahu nama ayah saya?" Tanyaku tambah pusing
"Tidak usah sampai berkeringat gitu, Rendy-" Tak kusadari kepalaku mulai berkeringat, dan itu pun tak luput dari bola matanya
"Aku dan Andy dulu adalah teman, aku dan Andy bekerja sama mengenai suatu proyek. Namun semenjak ayahmu menikah dan mempunyai anak, yakni kamu, kami sudah jarang bertemu. Bahkan setelah orang tuamu pindah, kami sudah tidak pernah bertemu lagi, alhasil proyek ini tidak selesai" Jelasnya
"Oh iya, apa itu gitar ayahmu?" Tanyanya
Aku menundukkan kepalaku, mengambil gitar yang masih menggantung di pundakku
"Ini hadiah pemberian ayah saya saat ulang tahun saya. Setahun kemudian, ayah meninggal"
Tak kurasa, mata ini sudah sembab dan mengeluarkan air mata, membasahi pipiku
"Astaga, maafkan saya. Saya baru mendengar ia meninggal" Ia menundukkan kepala karena merasa bersalah
Aku mengusap air mataku, "Tidak, tidak apa pak, anda tidak perlu minta maaf" Ucapku
Ia memegang pundakku, "Rendy" Panggilnya
"Iya, ada apa pak?" Sahutku
Aku menghadap ke bapak itu, "Aku ingin membicarakan sesuatu denganmu" Jawabnya
"Sebaiknya kita jangan berbicara disini, ayo kita masuk kedalam" Ia berbalik badan, mengajakku untuk mengobrol di rumahnya
Aku berjalan membuntuti di belakangnya, akhirnya aku pun sampai di dalam rumah yang besar ini.
"Mari duduk" Ucapnya seraya duduk di kursi sofa berwarna hitam lalu aku juga
"Ayahmu dulu menitipkan suatu barang kepadaku, saat kami masih bekerja sama, saat itu kami sedang membayangkan kami mempunyai pasangan dan anak" jelasnya
Aku yang mulai penasaran bertanya tentang barang itu, "Barang? Barang apa?"
"Entahlah, tapi yang pasti aku harus memberikannya padamu disaat yang tepat. Dan untungnya sekarang kita bertemu" jawabnya seraya berdiri lalu berjalan ke rak buku yang amat besar di sebelah perapian
Tak lama kemudian, ia kembali dengan membawa sebuah gulungan kertas yang nampak seperti gulungan yang diberi oleh psikolog beberapa tahun yang lalu
"Ini" ia menyodorkannya padaku lalu aku mengambilnya perlahan
"Oh iya, ada satu barang sepeninggalannya lagi yang akan kuberikan padamu" ia kembali berdiri lalu mengambil sebuah kotak hitam di atas lemari
Ia memberikannya padaku, dengan penuh harapan aku akan menyimpannya dan mempergunakannya dengan baik
Saat kubuka, ternyata isinya adalah sesuatu yang tidak berguna
Sebuah buku aneh dan kuno yang sudah sedikit berdebu dan usang namun masih bagus
Entah apa isinya tapi yang pasti ini adalah peninggalan dan milik ayahku
"Hanya ini saja pak?" Tanyaku
"Iya" jawabnya singkat
"Oke, kalau begitu saya pulang dulu ya pak?" Aku berpamitan pada bapak itu
"Ya baiklah" sahutnya
***
Akupun keluar dari rumah besar nan mewah itu, sambil membawa barang-barang pemberian bapak itu yang merupakan peninggalan ayahku di dalam sebuah tas pemberiannya juga sebelum aku pulang
Selang beberapa lama kemudian, saat aku berada di jalanan yang sepi
Aku melihat sebuah geng anak punk berkumpul, menatapku tajam seakan ingin melakukan sesuatu kepadaku
Mereka mendekat, mengelilingiku, menatapku dengan tajam dengan senyuman yang mengerikan terukir di wajah mereka