ดาวน์โหลดแอป
5.29% Sayap Pelengkap / Chapter 20: Apa Keberuntungannya?

บท 20: Apa Keberuntungannya?

     Baru saja sampai di rumah, telinga Jessi harus dibuat kembali berdengung akibat suara nyaring dari pecahan benda yang ada di dalam rumahnya. 

   Jessi melipat kedua tangannya di atas dada dengan tas selempang di tangan kirinya dan matanya menatap datar kejadian yang ada di depan matanya. Untung saja Rere sudah menjauh dari sekitaran rumahnya. 

   Ia benar-benar seperti merasakan memiliki dua orang anak yang bandel dan suka mengacak rumah. Dua bocah nakal yang sulit sekali diberi tahu. Ia juga melihat keberadaan kakaknya di anak tangga terakhir paling bawah sedang duduk sambil memakan keripik singkong. Ah enak sekali dia. 

   "KAMU ITU YANG GAK BERGUNA! UDAH PUNYA PEKERJAAN MASIH AJA MALAS. KAMU PIKIR JENO GAK PUNYA KERJAAN LAIN APA?" Suara Alin nyaring memekakkan telinga. Jessi sampai harus memejamkan matanya karena mendengar bentakan dari bundanya itu. 

   "DASAR WANITA MATRE! APA SALAHNYA MAKAN UANG DARI HASIL ANAK SENDIRI? DIA JUGA ANAK SAYA KOK!" balas Surya tak mau kalah. 

    "YA EMANGNYA KAMU GAK MALU APA? KAMU ITU MASIH MAMPU KERJA, CARI NAFKAH UNTUK KELUARGAMU BUKANNYA MALAH SANTAI TERUS DI RUMAH!" 

   Jessi setuju dengan pernyataan Alin yang terakhir. Mau bagaimana pun, Surya masih mampu dan alasannya tidak bekerja hanya karena malas saja. Dan itu tidak bisa diterima oleh akal manusia terlebih lagi seorang pria yang sudah beristri dan memiliki dua anak. 

   Jeno yang selama ini bekerja keras di samping kuliahnya menuju S2. Ia membantu mengurus usaha yang jauh di Palembang sana. Ia tidak mau ikut ribet dengan urusan ayahnya bekerja atau tidak. Kadang Jessi juga ingin ikut membantu pekerjaan Jeno karena kurang lebihnya mengerti, tapi Alin yang melarangnya. 

   "Masalah uang mulu dah perasaan," decak Jessi sambil melewati mereka yang masih saja bertengkar. Seakan tidak peduli jika anak-anaknya akan mendengar pertengkaran mereka. 

   Pertengkaran orang tua tidak sehat untuk mental sang anak. Tapi rupanya Alin dan Surya tidak peduli akan hal itu. 

   Jessi juga melewati Jeno dan langsung pergi ke kamarnya. Tubuhnya lelah minta segera diistirahatkan. Belum lagi kenyataan pahit yang harus dirinya ketahui hari ini juga. Ah ya, masalah Fauzan juga masih belum mau jujur kepadanya atas hal yang sudah pria itu sembunyikan.

   Sudahlah Jessi tidak mau memikirkan hal itu. Akan menjadi lebih buruk untuk kesehatannya jika pikirannya terlalu dipenuhi oleh beban. 

   Baru saja merebahkan tubuhnya di atas kasur dengan warna sprei hitam miliknya itu, ponselnya sudah berdering mengganggu waktu istirahatnya. Jessi paling tidak suka suara dering telepon, untuk itulah ia akan langsung mengangkatnya. Meskipun tanpa melihat lebih dulu siapa yang menghubunginya. 

   "Iya, Hallo?" Matanya terpejam karena saking ngantuknya.

   "Kamu dimana?" 

   Seketika matanya langsung terbuka. Ia melihat lebih dulu nama siapa yang tertera disana. Setelahnya ia kembali menempelkan benda itu di telinganya. 

  "Di rumah. Kenapa?" balasnya malas. 

   "Serius? Tadi keluar?" 

   "Iya keluar sama Rere. Cuma jalan-jalan aja," jawabnya lagi tidak sepenuhnya jujur.

   Sikap posesif Fauzan yang kadang membuat Jessi ragu jika pria itu berani menduakannya. Namun, kenyataan sudah bersatu dengan kebenaran dengan disertai kejujuran, dan pria itu sendiri sudah mengaku. Kepercayaan yang tadinya begitu tajam langsung tumpul dengan seketika. 

    "Cuma jalan-jalan doang? Beneran? Pake baju yang tadi, kan?" tanyanya lagi lebih menuntut. Begitulah jika Fauzan sudah bertanya kepadanya. 

   "Iya. Aku kan langsung keluar bareng sama kamu," jawab Jessi malas. 

   Ya, tadi pagi Jessi menyerah dan memilih jujur jika dirinya akan bertemu dengan Rere dengan begitu barulah Fauzan mengizinkannya keluar rumah sendiri. 

    "Udah makan? Ini udah sore soalnya," katanya lagi yang entah mengapa bukan terdengar khawatir. 

   "Ini baru mau makan."

   "Ya udah bagus. Kalo kamu masih bandel gak makan aku yang akan nyuapin kamu kesitu," katanya lagi terdengar lebih tenang tidak seperti tadi saat pertama kali bicara. 

    "Gak perlu. Yaudah aku tutup yah teleponnya?" 

    "Iya, cepet makan!" titahnya kemudian sambungan telepon pun diputus oleh Jessi lebih dulu. 

   Melanjutkan rencananya yang gagal, Jessi kembali merebahkan tubuhnya di atas kasur empuk miliknya. Dirinya tidak mudah menuruti apa yang Fauzan katakan. Soal makan bisa nanti saja lah, pikirnya. 

   ***

  Malam ini, tanpa seizin Jessica, Fauzan membawa kekasihnya itu makan malam di rumahnya. Jessica sendiri bukannya tidak mau, hanya saja ia selalu dibuat tidak nyaman karena tatapan mata Ve. 

   Dengan pakaian yang sederhana karena alasan Fauzan membawanya keluar hanyalah menikmati angin malam, Jessi hanya memakai jeans hitam dengan dipadukan kemeja oversized pemberian Fauzan di anniversary mereka yang kedua tahun. 

   Wanita yang duduk di sebelah Fauzan hanya menundukkan kepalanya, enggan untuk mengangkat kepalanya barang sedikit saja karena di hadapannya tepat sekali duduk seorang wanita paruh baya dengan mata tajam menatapnya tak lepas. 

   "Tumben kamu bawa Jessi makan malam di rumah, biasanya juga gak pernah," kata Veve sambil memberikan tatapan menilai pada Jessi. 

   Fauzan paling tidak suka melihat siapa pun yang menatap kekasihnya seperti itu. Terlebih lagi yang melakukannya adalah ibunya sendiri. Dengan sengaja Fauzan merangkul bahu Jessi agar mendekat kepadanya. Memperlakukan wanita itu dengan protective. 

   "Sekali-kali gak apa-apa lah. Lagipula nanti juga Jessi akan jadi menantu di rumah ini, kan?" balas Fauzan penuh percaya diri. Ia terus memperhatikan Ve yang terus menyelidik menatap Jessica. 

   "Sombong sekali kamu bicara seperti itu. Seperti sudah yakin jika wanita itu yang akan menjadi menantu rumah ini. Jangan harap!" katanya tegas dengan tatapan menyelidik serta menilai yang berbeda. 

   "Terserah Mamah, aku gak peduli lagi," jawab Fauzan acuh. Sudah cukup rasanya ia mendengarkan apa kata kedua orang tuanya. Ia juga muak terus menerus menjadi budak dan robot yang selalu diatur. 

   "Sudah-sudah, kita ini mau makan, kalian kok malah bertengkar sih. Ve, sudahlah, sudah bagus Fauzan mau makan malam di rumah malam ini," ujar Argan tegas menghentikan percakapan yang mungkin saja akan menjadi perdebatan panjang di antara mereka. 

   Jessi hanya diam saja tidak tahu harus berbuat apa. Bukan hal yang aneh dan mengejutkan lagi untuknya melihat pertengkaran di rumah Fauzan, tapi tetap saja itu membuatnya gugup. 

   "Ayo kamu makan aja. Kamu juga belum makan kan dari siang?" tanya Fauzan pelan hanya untuk terdengar oleh Jessica saja. 

   Dengan gerakan perlahan ia menganggukkan kepalanya. Tidak ada gunanya juga berbohong pada Fauzan, toh Fauzan sudah tahu semuanya kok. 

    Kadang Jessica berpikir, apa yang harus ia syukuri dalam hidupnya? Mungkin dirinya hanya beruntung dalam hal persahabatan saja. Selebihnya tidak ada lagi. Tapi, hal itu tidak pernah bisa cukup untuk membuatnya bertahan pada kejamnya hidup ini. 

  Pada akhirnya Jessica harus tetap menyerah. 

   

   


next chapter
Load failed, please RETRY

ของขวัญ

ของขวัญ -- ได้รับของขวัญแล้ว

    สถานะพลังงานรายสัปดาห์

    Rank -- การจัดอันดับด้วยพลัง
    Stone -- หินพลัง

    ป้ายปลดล็อกตอน

    สารบัญ

    ตัวเลือกแสดง

    พื้นหลัง

    แบบอักษร

    ขนาด

    ความคิดเห็นต่อตอน

    เขียนรีวิว สถานะการอ่าน: C20
    ไม่สามารถโพสต์ได้ กรุณาลองใหม่อีกครั้ง
    • คุณภาพงานเขียน
    • ความเสถียรของการอัปเดต
    • การดำเนินเรื่อง
    • กาสร้างตัวละคร
    • พื้นหลังโลก

    คะแนนรวม 0.0

    รีวิวโพสต์สําเร็จ! อ่านรีวิวเพิ่มเติม
    โหวตด้วย Power Stone
    Rank NO.-- การจัดอันดับพลัง
    Stone -- หินพลัง
    รายงานเนื้อหาที่ไม่เหมาะสม
    เคล็ดลับข้อผิดพลาด

    รายงานการล่วงละเมิด

    ความคิดเห็นย่อหน้า

    เข้า สู่ ระบบ