Sepulang dari rumah bibinya, Davina menangis di dalam mobil. Wanita itu benar-benar sudah tidak bisa menahan segala kekesalannya lagi. Dan ia cukup lega karena akhirnya bisa melontarkan kalimat yang sejak dulu ingin ia lontarkan kepada bibi dan sepupunya yang kejam itu.
"Maaf karena aku bersikap egois, tapi aku sudah tidak tau harus berbuat apa lagi untuk menghadapi kalian. Aku sudah lelah dengan semuanya, aku mengorbankan masa depan ku, dan aku bahkan mengorbankan perasaanku juga. Jika kalian masih ingin memperdaya ku lagi, lalu untuk apa aku hidup jika aku tidak bisa menentukan pilihan ku sendiri?" ucap Davina sambil terus menangis di dalam mobilnya.
Selama perjalanan, tanpa Davina sadari supirnya itu selalu melirik melihat Davina namun tetap diam dan tidak bertanya satu patah katapun. Supir itu tetap fokus pada jalanan ramai yang ia lalui dan mencoba untuk mengabaikan nyonya nya yang sedang menangis di belakangnya.
Lalu, siapa yang menyangka jika supir itu ternyata memata-matai Davina. Dan tentu saja atas perintah dari Revan.
Sesampainya di rumah, Davina langsung masuk ke kamarnya dan mengurung diri di dalam kamarnya. Ia perlu menenangkan dirinya sendiri untuk saat ini.
Dan supir yang mengantarkan Davina tadi segera menelepon Revan untuk melaporkan kejadian dan keributan yang sudah di buat oleh Davina tadi di rumah bibinya.
~~
"Jadi, Davina ke rumah bibinya hanya untuk marah-marah?" tanya Revan dari seberang sana.
"T-tidak sepenuhnya seperti itu, tuan. Nyonya sebenarnya berniat untuk meminta maaf atas kejadian di pusat perbelanjaan beberapa hari yang lalu karena nyonya sudah mempermalukan bibi dan sepupunya," jawab sang supir.
"Lalu, kenapa dia marah dan membuat kekacauan?" tanya Revan lagi.
" Itu karena sepupu nyonya memakai barang pemberian Ayah nyonya yang sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Jadi, nyonya marah karena itu. Ia tidak suka jika barang pemberian orangtuanya di sentuh orang lain," jelas sang supir dengan yakin. Ya, karena ia mendengar segalanya.
"Baiklah, aku sudah paham inti dari permasalahan ini. Lanjutkan saja pekerjaan mu," pinta Revan.
"Baik, tuan."
Dan panggilan pun berakhir.
~~
Saat ini di kantor Revan.
Pria tampan tampan itu sedang duduk memandangi laptop yang ada di hadapannya. Ketika ia mendengar kabar bahwa Davina membuat keributan di rumah bibinya sendiri ia cukup terkejut. Memang selama ini Revan juga tau bagaimana perlakuan bibinya itu pada istrinya, namun di sisi lain Revan juga tau kalau istrinya itu tidak pernah berani melawan bibinya ataupun sekedar menjawab perkataannya.
"Bagaimana bisa kepribadian orang berubah begitu drastis? Apa memang seperti itu sifat asli Davina? Tapi, kenapa dia baru menunjukkan sifatnya setelah menikah denganku? Apa dia merencanakan sesuatu di belakangku?"
Revan bermonolog pada dirinya sendiri. Ia tampak berpikir sebenarnya apa maksud Davina dengan perubahan sikapnya yang sangat drastis itu? Ia sedikit ragu jika Davina berbuat seperti itu hanya untuk membalaskan dendam pada bibinya sendiri.
"Aku harus memastikannya sendiri." pungkas Revan pada akhirnya setelah berperang dengan pertanyaan-pertanyaan yang ada di dalam benaknya.
******
Jam menunjukkan pukul 20:30, dan Revan baru pulang dari kantor. Pekerjaannya selalu banyak dan menumpuk. Itulah yang menjadi alasan kenapa ia selalu pulang hampir larut, atau bahkan larut dan menjelang pagi lagi.
Revan masuk ke dalam kamarnya dan mendapati istrinya baru selesai mandi. Tidak seperti biasanya. Kenapa Davina baru mandi malam hari?
"Kau sudah pulang?" tanya Davina kala melihat suaminya itu masuk ke dalam kamar.
Revan mengangguk, "iya, dan kenapa kau baru mandi? Apa kau juga baru pulang?" sahutnya.
"Tidak, tadi setelah dari rumah bibi aku menonton drama Korea hingga lupa waktu. Jadi, aku baru sempat mandi," ucap Davina apa adanya.
Revan berjalan mendekati Davina dan meletakkan tas kerjanya di atas meja.
"Kenapa kau marah-marah di rumah bibi mu? Apa kau sedang ada masalah?"
Pertanyaan Revan sedikit membuat Davina terkejut. Ia sama sekali tidak menyangka jika Revan memata-matai dirinya.
"T-tidak, buka seperti itu. Hanya saja aku sudah lelah jika harus terus mengalah dari bibi dan sepupuku," jujur Davina.
Wanita muda itu duduk di atas ranjang dan memainkan jarinya yang saling bertaut. Davina terlihat sedikit ketakutan, mungkin ia takut jika Revan marah padanya.
"Aku tau apa yang selama ini sudah kau lalui ketika tinggal bersama dengan keluarga bibi mu itu," ucap Revan.
Mendengar itu tentu membuat Davina terkejut lagi, dan kini wanita cantik itu menatap Revan dengan tatapan penuh tanda tanya.
"Bagaimana bisa kau tau? Apa sebelumnya kau memang berniat menguntit ku?" tanya Davina, atau lebih tepatnya ia curiga pada Revan.
"Tidak, hanya kebetulan saja. Dan itu yang membuatku kagum padamu," jawab Revan.
"Apa maksudmu? Aku tidak mengerti,"
"Ya, karena perlakuan bibi dan saudara mu yang kasar. Tapi, kau sama sekali tidak membalas mereka, dan itu benar-benar membuatku semakin tertarik padamu. Aku tidak tau jika kau memiliki sisi lain di balik sisi kesabaranmu," ucap Revan panjang lebar.
Davina hanya terdiam. Ia sendiri juga bingung mendapat keberanian darimana untuk melawan Bibi dan sepupunya itu. Padahal sebelumnya ia benar benar sangat takut pada bibi dan sepupunya itu. Begitu juga dengan pamannya yang cukup kejam.
"Kau tidak perlu khawatir, jika kau memang masih tidak terima dengan perlakuan bibi mu, maka kau bisa membalasnya," Revan menyeringai seperti menyalakan kobaran api di benak Davina.
"Kenapa kau sangat senang jika aku membalas bibi ku?" tanya Davina heran.
"Dunia ini kejam, dan hanya orang egois lah yang akan menjadi pemenang,"
Revan menaruh kedua tangannya di pundak istrinya itu.
"Hidup itu memang pilihan, tapi jangan mau di pilih dan jadilah pemilih di antara pilihan itu!"
Davina tersenyum mendengar itu. Ia tidak tau kalau Revan adalah seseorang yang sangat ambisius. Dan sepertinya yang di katakan oleh Revan ada benarnya. Sudah cukup selama ini dirinya di tindas oleh papa, bibi dan sepupunya. Dan ini adalah saatnya ia bangkit untuk melawan.
Melihat Davina tersenyum dari dekat membuat Revan kagum akan kecantikan istrinya itu. Sungguh terlihat sangat menawan, terlebih Davina masih mengenakan bathrobe yang menutupi tubuh indahnya.
Revan pun mengikis jarak diantara keduanya, dan membuat Davina jatuh terbaring di atas ranjang. Dengan cepat dan tanpa aba-aba, Revan langsung menyatukan bibirnya pada bibir plum sang istri. Memberi lumatan lembut dan mengabsen satu persatu deretan gigi Davina. Dan perlakuan seperti ini membuat Davina merasakan sensasi yang selama ini belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Cukup lama kedua bibir itu bertaut dengan lidah mereka yang bergelud di dalam sana membuat keduanya terengah karena kehabisan oksigen. Segera setelah mengakhiri lumatan itu, sepasang suami istri itu meraup oksigen sebanyak-banyaknya.
Revan tersenyum dan mengusap pipi Davina dengan lembut. Sementara wanitanya itu menatapnya dengan sayup.
"Bolehkah aku melakukannya malam ini?"
.