"Ha?" pekikku kaget.
Siapa yang tidak akan kaget, mendengar seseorang yang terlalu sehat meninggal secara tiba-tiba. Aku bahkan masih berkirim pesan dengannya malam tadi, lalu paginya dia meninggal? Kenapa?
"Kamu pasti kaget, semua juga tidak menyangka Bimo akan pergi secepat ini." gumam ibuku.
"Sudah, cepat kalian bersiap-siap, kita harus segera pergi ke rumah duka." ucap Bapak lalu beranjak pergi masuk ke kamarnya.
Aku masuk ke kamar mandi dan membasuh wajahku. Rasanya seperti mimpi, sulit untuk dipercaya.
Bimo adalah adik sepupuku yang juga anggota organisasi Selendang Putih. Dan dari yang kutahu, dia tidak memiliki penyakit apa pun, mungkinkah dia mengalami kecelakaan?
Aku tidak tahan dengan rasa penasaran ini, aku langsung keluar dari kamar mandi lalu menyambar jaketku dan segera pergi ke rumah duka dengan motorku. Di sana masih belum terlalu ramai, hanya beberapa kerabat dan tetangga sekeliling rumah yang hadir.
Aku segera masuk dan duduk di samping Pak Lek (paman) di dekat jasad Bimo yang terbujur kaku dengan kain kafan dan jarik yang menutupi tubuhnya.
"Pak Lek," panggilku pelan.
Beliau menoleh dengan lemah ke arahku, wajahnya pucat pasi dan matanya merah.
"Kapan tekomu, Le? (Kapan kamu sampai, Nak?)" sahutnya dengan lirih.
"Baru saja, kenapa Bimo, Lek?"
"Kecelakaan!" sahut Pak Lek sambil mengalihkan pandangannya ke arah jasad Bimo.
Kecelakaan? Saat kami chatingan, dia sedang bersiap untuk tidur, lalu paginya kami mendengar kabar bahwa dia meninggal, kapan kecelakaan itu terjadi?
"Bu Lek (Bibi) masih menangis di kamar, coba kamu temani, dia butuh teman bicara sepertinya," lirih Pak Lek.
"Nggih (iya)." Aku langsung beranjak meninggalkan Pak Lek dan menuju kamar ujung.
Benar saja, Bu Lek masih menangis tersedu-sedu di sana. Beliau langsung berhambur memelukku lalu menangis histeris. Aku hanya bisa mengusap punggungnya untuk menenangkannya.
"Kamu keluar saja dari Selendang Putih, Le! Keluar saja!" ucapnya di sela-sela isakannya.
Tunggu, kenapa Bu Lek membicarakan Selendang Putih? Apakah kematian Bimo ada hubungannya dengan organisasi kami?
Setelah cukup tenang, Bu Lek berbaring di kasur sambil terus menatapku dalam diam.
"Bimo kenapa, Bu Lek?"
"Anakku yang malang, dia harus menjadi korban, Le." lirih Bu Lek.
Korban?
"Bukannya Bimo meninggal karena kecelakaan?" aku berhati-hati saat mengucapkan itu, tapi sepertinya ada yang salah dengan pertanyaanku hingga menyebabkan Bulekku kembali menangis histeris.
"Mas, sampean di sini?"
Aku menoleh saat suara Andini, adik Bimo terdengar dari arah pintu. Ia masih berdiri dengan wajah pucat ambang pintu.
"Ayo, Mas, kita bicara di tempat lain saja, sepertinya Ibu butuh istirahat." Andini beranjak meninggalkan kamar, dan tentu saja aku langsung mengikutinya.
Andini duduk bersandar pada bangku panjang di belakang rumah sambil menerawang jauh ke arah kebun.
"Masmu kenapa, Ndin?" tanyaku setelah duduk di samping Andini.
"Semalam, Mas Bimo terbangun sekitar jam satu, dia lapar, tapi di rumah lauknya habis, mie instan juga habis, jadi dia nekat pergi untuk mencari nasi goreng di dekat alun-alun! Aku enggak bisa tidur karena nunggu Mas Bimo. Lalu tepat pukul tiga, beberapa orang datang membawa jasad Mas Bimo, dia..."
Andini menunduk dengan buliran air mata yang mengalir deras dari mata sayunya. Aku hanya bisa menepuk-nepuk pelan pucuk kepalanya untuk menenangkan gadis itu.
"Mas Bimo enggak kecelakaan, Mas! Masku dibunuh!"
Tubuhku membeku seketika mendengar ucapan Andini. Tanganku gemetar entah mengapa. Dibunuh? Saat itu juga, ucapan Bu Lek terngiang-ngiang di kepalaku.
"Pelaku pembunuhan Mas Bimo adalah anggota dari perguruan lain yang mempunyai masalah dengan Selendang Putih." imbuh Andini.
Sial.
Tubuhku langsung lemas seketika. Rasa amarah langsung merasukiku. Sudah menjadi rahasia umum jika antar perguruan masih saling menyerang hingga sekarang, tapi membunuh seseorang? Itu sudah melewati batas.
"Dari mana kamu tahu? Apa kamu tahu pelakunya dari perguruan mana? Apa kalian sudah melaporkan ini kepada pihak berwajib? Hei, katakan apa pun yang kamu ketahui, Ndin!" desakku.
Andini mencoba menahan air matanya, ia menatapku dalam diam. Tubuhnya bergetar, bibirnya terkatup rapat.
"Andini!" sentakku.
"TG melarang kami mengatakan ini kepada siapapun!" ucapnya sebelum kembali terisak pilu.
TG? Apa yang mereka lakukan?
Suara mesin motor-motor yang baru saja datang membuat percakapan kami terhenti. Sepertinya anggota Selendang Putih yang lain sudah mulai berdatangan.
"Tolong Mas Toni rahasiakan ini! TG meminta kami untuk merahasiakan ini agar tidak memicu perperangan antar perguruan! Mereka berjanji akan menyeret pelaku pembunuhan Mas Bimo ke hadapan kami lalu menjebloskan mereka ke penjara. Jadi sebelum itu terjadi, kita harus merahasiakan ini!" Andini terlihat panik.
Baiklah, sepertinya aku mulai memahami situasi ini. TG meminta mereka menutupi ini demi kebaikan semua orang, mencegah jatuhnya korban lainnya jika saja para anggota Selendang Putih mencoba membalas dendam dan menambah daftar pertikaian antar perguruan.
Tapi yang masih menjadi pertanyaan adalah, kenapa TG yang mengantar jasad Bimo? Apa mereka tahu siapa pelakunya? Dan mampukah mereka melakukan itu? Mereka pikir mereka itu siapa? Tidakkah lebih baik menyerahkan ini kepada pihak yang berwajib saja?
Oh, Sial!
"Jika ada kabar terbaru tentang TG, hubungi Mas! Kamu tenang saja, Mas tidak akan ceroboh, Mas hanya ingin memastikan mereka benar-benar menangkap pembunuh Bimo!" Aku menatap dalam-dalam manik mata Andini. Ia hanya bisa mengangguk lemah merespon ucapanku.
"Ya sudah, kamu kelihatan kurang sehat, beristirahatlah sebentar, setelah ini pasti banyak tamu yang datang, kamu harus kuat, Ndin!" Aku menepuk pelan lengannya sebelum beranjak pergi meninggalkan Andini.
Aku berjalan pelan menuju ruang tengah, kami lalu bersiap untuk melakukan sholat jenazah.
***
Dea yang kini sudah berdiri di sampingku hanya terdiam menatap makam Bimo, bahkan saat keluarga dan orang-orang yang melayat mulai meninggalkan tempat pemakaman, ia tidak bergerak sedikitpun dari tempatnya. Entah apa yang gadis itu pikirkan.
"Enggak pulang, hum?" Aku menoel pelan dagunya.
"Aku ngerasa ada yang aneh, Chang!" sahutnya pelan.
"Apa?"
"Pak Lek bilang, dia kecelakaan motor saat beli nasi goreng, tapi tadi waktu aku kebelakang buat nyuci tangan, aku lihat motor dia masih mulus tanpa goresan apapun, motor Pak Lek dan Andini juga baik-baik saja kulihat! Emang Bimo pakai motor siapa sih?"
Hum, bagaimana aku harus menjawabnya? Di jam segitu, sepertinya tidak masuk akal jika Bimo meminjam motor orang lain, jadi alasan itu tidak akan diterima oleh Dian.
"Udahlah, Ndut! Jangan memikirkan sesuatu yang enggak perlu! Sekarang doakan saja Bimo agar tenang di sana! Ikut tahlilan nanti malam! Kalau perlu, tujuh hari ikut terus!" Aku menarik lengan Dian yang sepertinya masih enggan beranjak dari makam Bimo.
Aku setengah menyeret gadis itu menuju parkiran dan mendudukannya dengan paksa di boncengan motorku.
"Mau ku antar pulang atau balik ke tempat Bimo?" tawarku.
"Ke tempat Bimo aja dulu, aku mau bantuin Andini bersih-bersih rumah dulu! Kasihan dia, Pak Lek sama Bu Lek pasti lelah kan, Chang!"
"Okay, makasih ya Ndut, udah mau bantuin Andini."
"Hush! Gak usah mellow kamu Chang!"
Seharusnya malam ini adalam malam bulan purnama, aku akan menemui TG, dan meminta mereka menjelaskan semuanya. Akan kupastikan mereka menepati janji mereka kepada keluarga Bimo.
"Woi! Kok malah bengong? Jadi pulang enggak?"