© WebNovel
New York City, Desember 2020
Napas seorang wanita muda terdengar menderu seiring degupan jantungnya. Kedua tangannya menutup mulut rapat untuk menjaga teriakan yang sedari tadi ingin keluar. Ketakutan meliputinya, tepat di seberang jalan seorang pria sedang menikam dengan ganas pria paruh baya yang sudah tidak berdaya. Darah segera mengucur, kontras dengan salju yang menutup hampir seluruh permukaan jalan.
Netra pria paruh baya yang telah meregang nyawa itu masih terbuka, seolah menatap si wanita meminta pertolongan. Namun, si wanita tak bergeming. Kengerian telah membuat sarafnya lumpuh.
Setelah beberapa saat, barulah wanita itu berani menelepon kantor polisi, "Po-poli-si, ada seorang pria tua tewas di depan bar Candy."
"Benarkah? Kamu melihat pembunuhnya?" tanya petugas yang menerima panggilan sembari memberi kode pada rekannya untuk menghubungi tim patroli yang bertugas di sekitar bar.
"Aku melihatnya tapi terlalu gelap. Satu-satunya yang aku lihat, dia memiliki mata biru. Pak Polisi, tolong, aku takut sekali," rengek wanita itu sembari matanya tak lepas mengamati situasi di seberang jalan. Rasa dingin yang sejak tadi menghantam, ditahannya.
"Baik kami a---."
Tut Tut Tut, sambungan telepon terputus. Wanita itu terpaksa memutuskan panggilan telepon, pasalnya dia tidak sengaja bersitatap dengan mata si pembunuh ketika sedang mengamati. Sejenak dia mematung, tapi ketika menyadari si pembunuh itu mungkin akan menyadari keberadaannya dia memutuskan lari. Dia terus berlari sampai kakinya terasa lemah. Malam ini malam paling sial baginya. Andai saja dia tidak memilih pulang sendiri, andai saja dia menuruti ajakan Sophia, mungkin kejadian mengerikan ini tidak akan dia alami.
Memang, sebelum berakhir di tempat itu, wanita itu dan teman-temannya mengadakan pesta malam perpisahaan untuknya. Dia hendak pindah ke North Carolina dan memulai hidup baru di sana. Sehingga, teman-teman terdekatnya mengadakan pesta di kafe yang letaknya tidak jauh dari lokasi pembunuhan. Saat pesta usai, teman-temannya berulangkali menawarinya tumpangan berhubung sudah malam dan bersalju. Namun, wanita itu ingin menikmati kota New York di malam hari untuk terakhir kalinya.
"Sial, aku betul-betul akan meninggalkan kota ini dan tidak akan kembali," isaknya.
Sementara itu, si pembunuh yang menyadari ada orang lain yang sudah melihat perbuatannya hanya mendengus, tidak berniat mengejar, "Rupanya, ada tikus kecil yang berani mengintip." Nada suaranya dingin.
"Dia bahkan berlari. Benar, kau harus lari dan memastikan dirimu selamat," pembunuh itu tersenyum miring saat memperhatikan sosok yang sedang berlari di kejauhan.
Sang pembunuh lalu memutar badannya pada sesosok mayat yang nyawanya dia renggut beberapa menit yang lalu. Dia mulai tersenyum lebar bahkan hampir tertawa. Mata birunya memancarkan kebahagiaan terdalam yang ia pendam di hatinya.
"Selamat tinggal orang tua," pamitnya sembari meletakkan payung di sebelah mayat.
Sang pembunuh kelihatan ingin mengucapkan beberapa kata lagi, tapi suara sirine mobil patroli membuatnya mengurungkan niat dan berlalu masuk ke dalam kegelapan.
"Bukankah itu Pak Remus, anggota parlemen kota New York yang belum lama dilantik?" ujar seorang petugas patroli pada rekannya sesaat setelah mereka sampai di lokasi.
"Kamu benar. Ini sungguh mengejutkan," balas rekannya.
Salah satu petugas berambut cokelat mulai mengamati mayat di depannya dengan seksama, "Ia ditikam tepat di jantungnya."
Petugas lain ikut mengamati, "Kamu benar. Tapi pisaunya bahkan dicabut, sehingga darah mengalir keluar tanpa henti, sangat kejam."
"Hei, bukankah ini payung merah yang unik," sambungnya ketika menyadari keberadaan payung merah yang terletak tepat di samping tubuh mayat.
"Iya, sepertinya kita harus segera melapor," kata petugas berambut cokelat.
Sepuluh menit kemudian, lokasi tersebut sudah ramai oleh beberapa petugas polisi, tim forensik, dan agen FBI.
"Nasib Pak Remus sangat malang, dia baru dilantik," tutur seorang wanita agen FBI.
"Aku tidak heran, latar belakang pak Remus gelap, wajar banyak orang mengincar nyawanya," balas agen FBI lainnya.
"Payung merah itu, tidak sembarang orang memilikinya," ujar petugas polisi paruh baya.
Wanita agen FBI tersenyum dan menanggapi, "Anda benar pak kepala, pasti ini ada hubungannya dengan organisasi mafia."
Polisi paruh baya yang tadi dipanggil sebagai kepala polisi terkekeh, "Sepertinya kasus ini akan menjadi menarik sekaligus sulit. Organisasi semacam itu sangat tertutup."
"Anda tidak perlu khawatir. Kami akan membantu penyelidikan semaksimal mungkin. Apalagi bila benar anggota organisasi payung merah terlibat. Kami sudah lama mengincar mereka," si wanita bersemangat.
"Aku menyangsikan kalau ini perbuatan payung merah. Pembunuh bahkan tidak meninggalkan sidik jari ataupun senjata pembunuhan. Namun, mengapa meninggalkan payung yang jelas akan mengarahkan tuduhan pada mereka," agen FBI lainnya menyatakan ketidaksetujuannya.
"Kamu betul, tapi, tidak ada salahnya memasukkan mereka dalam daftar. Siapa tahu mereka sengaja melakukan itu karena tahu bahwa kita akan berpikir sepertimu," agen wanita bersikukuh.
"Sudahlah, tidak perlu kita berdebat. Yang jelas tolong kerja samanya agar kasus ini cepat selesai. Pak Remus lumayan disukai masyarakat. Saya takut, bila kita tidak segera menemukan pelakunya, akan timbul keresahan dan ketidakpercayaan masyarakat pada kita," kepala polisi menengahi.
Mereka lalu mengangguk membenarkan perkataan kepala polisi. Beribu pikiran dan deduksi yang terus melintas, dipendam sampai adanya bukti yang kuat dan tak terbantahkan.
********
"Kenapa kau membiarkan seekor tikus kecil lolos," sebuah suara di kegelapan menegurnya.
Sang pembunuh hanya tertawa, dia menertawakan kebodohan rekannya.
"Kenapa kau hanya tertawa? Bagaimana kalau dia mengenalimu?"
"Itu lebih baik, jika dia mengenaliku." Suara sang pembunuh terdengar arogan.
Sosok di kegelapan mengerutkan keningnya. "Apa maksudmu?"
"Jangan banyak bertanya, segera kumpulkan seluruh CCTV yang ada di lingkungan ini sebelum polisi dan agen FBI mengambilnya. Kau akan tahu, apa gunanya melepas tikus itu," jelas sang pembunuh.
"Baiklah akan aku laksanakan. Sejujurnya sebelum kau mengatakannya aku sudah mengambilnya. Kau membuang waktu terlalu lama hanya untuk membunuh seekor tikus tua."
"Aku hanya ingin mengucapkan selamat tinggal," jawabnya.
"Kau merasa bersalah?"
"Bersalah? Itu bukan kata yang tepat untuk menggambarkannya. Seharusnya kau memakai kata bahagia. Aku sangat bahagia menyaksikan dia pergi untuk selamanya, untuk itu aku berpamitan," ungkap sang pembunuh.
"Astaga, ternyata kau cukup kejam dan berdarah dingin," puji sosok itu.
Sang pembunuh tidak menanggapi. Dia hanya tersenyum samar sembari melepas topeng dan atribut yang dipakainya.
"Lensa mata ini tidak terlalu buruk, aku suka," ujar sang pembunuh.
Saat lensa biru itu diterima oleh seseorang yang bersembunyi itu, dia memahami apa maksud sang pembunuh membiarkan tikus kecil melarikan diri.
"Kau memang sangat pintar," sekali lagi dia memuji sang pembunuh.
"Tentu saja. Baiklah, aku pamit. Segera bereskan semuanya," ucap sang pembunuh seraya berbalik meninggalkan orang yang sejak tadi berbicara dengannya.
******