Part belum di revisi.
Banyak typo.
Dan happy reading.
***
Satu tahun kemudian, keadaan Ellina tak banyak berubah. Hanya ada perbedaan kecil. Saat ini ia tak lagi ingin melukai dirinya. Pandangannya masih saja tetap kosong. Dengan lingkar mata yang dalam dan tubuh yang sangat kurus. Rambutnya sangat berantakan. Bekas air mata itu tetap terlihat di wajah tirusnya. Bibir ranumnya terlihat lebih baik. Tak ada luka di sudut bibirnya atau lidahnya. Ia hanya tak menyentuh makanan.
Di pergelangan tangannya masih terpasang selang infus. Ernest memastikan agar para perawat menyuntikkan nutrisi makanan agar tubuh Ellina tetap bertahan. Ia mulai memasukkan barang-barang seperti Tv, laptop, atau handphone. Meski Ellina tak tergerak untuk menyentuh itu semua. Namun Ernest sangat yakin, suatu saat barang itu masih berguna.
Seperti hari ini, Ernest memasuki kamar Ellina dan menarik tirai jendela kaca. Menampilkan salju yang tengah turun dengan hawa dingin yang membekukan. Ia tersenyum tulus, menatap Ellina yang sama sekali tak mempedulikan kehadirannya.
"Baiklah, hari ini musim dingin telah datang. Kau tahu, saat pertama kali kau datang ke villa ini, itu juga musim dingin yang baru saja datang. Kau lihat pemandangan di luar sana, bukankah indah?"
Ernest melirik Ellina yang masih menatap kosong. Menghela napas, ia mencoba mendekat, mencoba menyentuh tangan Ellina pelan.
Lembut.
Lalu saat melihat Ellina tak berteriak, ia meremas jari Ellina pelan. "Bukankah kau bosan? Mari duduk di kursi sudut kamarmu. Di sana ada jendela besar yang memperlihatkan salju tengah turun."
Tanpa menunggu jawaban Ellina, Ernest memanggil seorang perawat untuk membawakan infus Ellina. Sedangkan dirinya, dengan cepat menggendong tubuh kurus Ellina di depan tubuhnya. Meletakkan Ellina di sebuah kursi dan tersenyum.
"Lihat, sebentar lagi natal akan datang. Kau ingin hadiah? Apa yang kau inginkan? Keluargamu? Pacarmu?"
Tak menjawab, Ellina menatap lurus pada pemandangan di depan matanya. Melihat tumpukan salju yang memutih dengan bulir-bulir yang terus turun dan bertambah.
"Aku ingat, bukankah kau memiliki hubungan dengan anak keluarga Prinz? Apakah dia yang menyakitimu? Apakah kau ingin aku menghancurkannya?"
Masih tak bereaksi, Ernest sama sekali tak putus asa. Ia telah melakukan ini sangat lama. Lebih dari delapan bulan. Mencoba menjadi teman bagi Ellina agar menumbuhkan rasa percaya di hati Ellina. Lalu kemudian, dengan harapan tinggi, Ellina akan bangkit dan semua kembali seperti rencananya.
"Nero Zarions Prinz. Kau ingat dia?"
Sudut mata Ellina berkerut saat Ernest menyebutkan nama Nero. Tapi Ernest sama sekali tak memperhatikannya.
"Baiklah, aku akan hancurkan mereka. Kau setuju kan?" dua tangan Ernest menangkup wajah Ellina. Memposisikan wajahnya satu garis lurus dengan wajah Ellina. Ia menatap mata Ellina dalam. Tersenyun getir saat melihat tatapan luka yang dalam di mata Ellina. "Kau sangat tahu bahwa kau memiliki aku untuk bangkit dan hidup jauh lebih baik. Aku akan berikan segalanya, aku akan ada di sampingmu untuk melindungimu."
"Nero Zarions Prinz. Atau Lexsi Larissa? Aku hanya tahu kau dekat dengan mereka berdua. Kau ingin aku menghancurkan yang mana? Apakah anak keluarga Prinz? Dia yang membuatmu seperti ini kan? Baiklah, akan aku hancurkan hingga ke dasar!" ucap Ernest mantap.
Sebuah ketukan pintu membawa langkah yang lebar dan tenang. Lalu sesosok pria berjas rapi menundukkan kepalanya sesaat dan berdiri di belakang Ellina.
"Tuan, memanggilku?" sapa Zaccheo langsung.
Ernest berdiri dan memasukkan dua tangannya ke saku celananya. Senyumnya terkembang dan entah kenapa perasaan Zaccheo buruk setelahnya. "Berlianku tak menginginkan keluarga Prinz bahagia. Kau tahu maksudku kan?"
Zaccheo. "...." Ya Tuhan! Apa lagi ini. Dia ingin menghancurkan keluarga Prinz?
"Apakah Nona Ellina mengatakannya?" tanya Zaccheo hati-hati.
Ernest masih tersenyum dan menggeleng. Ia memiringkan kepalanya sedikit. Lalu Zaccheo bahkan tahu hal yang Tuannya pikirkan.
Persetan dengan semuanya. Apakah ini lelucon saat dia bosan? Nona, kumohon. Sadarlah. Atau Tuanku akan ikut gila!
"Kurasa, dia membencinya. Bukankah dia terlihat sedikit tampan dan sangat murahan?" tanya Ernest memberi asumsi.
Tuan, kumohon. Nona tak mengatakan apapun, Oke. Bagaimana bisa kau menghancurkan sebuah keluarga hanya karena kau bosan menunggu nona sadar? Ah, aku ingin menangis rasanya.
"Tapi, Tuan ...-"
"Dingin. Ayo kita masuk." tak mengindahkan perkataan Zaccheo, Ernest mengangkat tubuh Ellina dan membaringkannya di tempat tidur. Zaccheo dengan cepat membawakan infus Ellina dan menggantungnya.
Ernest masih tersenyum. Dan hal itu membuat perasaan Zaccheo kian rumit. "Baik, Tuan. Saya akan melaksanakannya."
"Bagus sekali! Pastikan rata dan mereka tak dapat bangkit lagi,"
Tak menjawab, Zaccheo hanya menundukkan kepalanya lalu pergi dari kamar Ellina. Menutup pintu kamar Ellina dan langsung terduduk di lantai.
"Kenapa dia selalu melakukan ini dengan tersenyum? Bukankah dia sangat kejam? Bagaimana mungkin dia melakukan itu dengan wajah tampannya?"
Lain lagi dengan Ernest. Ia hanya duduk tak jauh dari Ellina. Menekan remote tv dan memilih salah satu siaran secara acak. Tangannya lalu mengambil laptop yang ia sediakan untuk Ellina. Memeriksa pekerjaannya dan mulai tenggelam dalam dunianya.
Mata Ellina menatap lurus. Tak berkedip untuk beberapa saat meski suara tv mulai terdengar. Itu tak mengalihkan pandangannya. Ia tetap seperti pada dunianya dan tenggelam dalam waktu yang lama. Tepat saat acara di dalam tv menyebutkan nama Lexsi. Lalu tak lama wajah cantik Lexsi muncul dengan senyum yang memukau.
"Ini adalah bintang terpanas bulan ini. Memiliki paras yang cantik, karier yang gemilang dan calon suami yang tampan. Siapa lagi jika bukan Lexsi Larissa. Pemenang artis pendatang terbaik tahun ini," seru sang pembawa acara.
Tak lama wajah ayu Lexsi muncul. Ia melambaikan tangan dan menunduk memberi salam secara sopan. "Halo, saya Lexsi Larissa. Senang bisa ada dalam acara terbaik di negeri ini."
Sudut mata Ellina bergetar saat suara yang akrab itu terdengar. Kepalanya bergerak ke samping, menatap layar tv yang tengah menyala. Melihat sosok Lexsi yang tengah duduk anggun dengan senyum yang tak akan pudar. Tubuh Ellina bergetar, matanya menatap tak berkedip pada wajah itu. Membangkitkan ingatan dan kebencian yang mendalam.
"Nona Lexsi ada kabar bahwa anda akan menikah dalam tiga bulan ke depan. Apakah kabar itu benar?"
Wajah Lexsi tersipu malu dengan anggukan pelan.
Lalu sang pembawa acara terlihat antusias. "Lalu, tidakkah anda takut karier anda akan turun jika anda menikah? Apakah para penggemar anda tak akan kecewa?"
Masih dengan tersenyum, Lexsi berujar sangat jelas. Sebuah nada yang terdengar tenang dengan raut penuh kebahagian. "Aku telah menunggu waktu itu sangat lama. Dan kami merasa tak bisa menunggu untuk menjemput kebahagiaan yang sempurna. Seluruh hidupku akan lebih lengkap jika aku telah menjadi istrinya, istri dari Kenzie Alexis Reegan. Dan untuk penggemarku, terimakasih karena telah mendukungku selama ini. Aku tetap mencintai kalian semua."
Mata Ellina tak berkedip. Riak-riak ombak kecil berkecamuk di hatinya. Kata-kata Lexsi cukup membuatnya mengerti, bahwa semua hal yang ia miliki telah hilang. Dan adiknya mendapatkannya semuanya.
"Bahagia dan sempurna?" desis Ellina pelan. Tangannya mengepal erat dengan tatapan kilatan benci yang dalam. "Setelah menghancurkanku?"
Ernest yang mendengar itu menoleh. Tangannya berhenti menari di atas keyboard. Pandangannya terkunci pada ekspresi Ellina yang telah memiliki warna. Lalu matanya beralih, menatap tv yang tengah di tonton Ellina.
"Milikmu? Semua? Kau hanya meminjamnya dariku!" desis Ellina lagi.
Ernest langsung bergerak mendekat. Jantungnya berpacu cepat. Ini kejutan. Kejutan yang tak terduga dari yang pernah ia bayangkan. Berliannya kini mampu berekspresi hanya dengan menonton tv. Lalu penyesalan datang kemudian. Kenapa ia baru tahu cara ini sekarang? Kenapa ia tak tahu bahwa berliannya kini bisa bereaksi seperti yang ia harapkan. Selama ini, ia hanya melihat Ellina seperti boneka hidup.
"Kau bereaksi? Ellina, kau melihatku? Ayo katakan sesuatu?" sembur Ernest dengan menggebu. Ia mendekati Ellina dengan mata penuh harapan.
Ellina tak menjawab. Matanya menatap senyum Lexsi yang palsu dan penuh kebahagian. Hatinya seakan terengut. Saat satu persatu kata yang Lexsi ucapkan menggores luka di hatinya. Merengut semua titik fokusnya dan mengembalikan jiwanya dengan penuh rasa benci. Hidupnya, takdirnya, dan semua miliknya. Telah di atur sedemikian rupa dan Lexsi lah yang turut ambil andil dalam kesengsaraannya.
Kini saat melihat senyum bahagia adikknya, hatinya seakan di rengut. Ia merasakan perih yang datang menghantam jiwanya. Meremukkan ingatannya dan membangkitkan rasa dendamnya. Ia mencaci, dalam pikiran dan saraf yang tak terhitung jumlahnya. Mengingat semua ingatannya dari awal hingga hari ini. Satu persatu bayangan wajah itu terlihat. Dan senyum tipis melintas. Membuat sudut bibirnya terangkat sedikit. Sangat sedikit hingga Ernest terperanjat mundur.
"Ka-kau tersenyum?" tanyanya tak percaya. Namun dia bukanlah orang yang bodoh. Ia melihat dengan jelas senyum tipis itu, tatapan itu dan semua kilatan yang berganti di mata jernih itu. Jantungnya berdesir, namun rasa waspada lebih menguatkan instingnya.
Kenapa aku merasa seolah ada hal buruk yang akan terjadi saat melihat senyumnya?
Ernest mundur selangkah. Tangannya dengan cepat menghubungi dokter yang ia pekerjakan. Meski dalam satu rumah yang sama, ia merasa tak ingin meninggalkan Ellina dan membuang waktunya untuk memanggil dokter suruhannya.
"Dia sadar! Cepat periksa!"
Perintah Ernest membuat mata Ellina bergerak pelan. Kedipan yang sangat halus dan gerakan kepala yang sangat pelan untuk melihat suara yang baru saja terdengar. Seakan udara di sekitar mereka menyusut, Ernest menahan napasnya saat mata mereka beradu. Dia membeku. Tak bergerak ataupun menyapa. Hingga kedipan kedua dari mata Ellina membuatnya sadar.
"A-aku bukan orang jahat. A-aku," pintu kamar terbuka dengan lebar. Ernest menghela napas lega saat dua orang dokter masuk dan mendekati Ellina. "Bagus. Cepat periksa dia. Apakah dia baik-baik saja? Apakah ada syarafnya yang terluka? Dia bereaksi sangat natural meski tatapannya sedikit mengerikan."
Ellina bergetar. Merasakan tangannya di periksa dengan cepat. Ia menatap pria asing yang tengah menunggu hasil pemeriksaannya. Lalu pada seisi ruangan yang terlihat hangat meski badai salju tengah bergejolak di luar sana. Dokter-dokter itu sama sekali tak membuatnya takut. Ia seperti telah mengalami hal ini sejak lama. Seoalah tubuhnya telah terbiasa.
"Bagaimana?"
Ellina menoleh lagi. Menatap pria yang lebih terlihat waswas dari dirinya.
"Tuan, dia baik-baik saja. Ini keajaiban. Nona dalam keadaan baik dan semua rasanya telah kembali normal."
"Kau tidak bercanda kan? Apakah kita perlu melakukan pemeriksaan lebih? Apakah kita harus memeriksanya melalui scan? Apakah--"
"Aku butuh waktu sendiri," potong Ellina membuat Ernest terdiam.
Tertegun, Ernest seakan tersihir. Ia mengangguk dan menatap dokter-dokter di sampingnya. Memerintahkan semua dokter keluar dengan pandangan matanya. Ada riak tak menentu di mata Ernest saat melihat wajah Ellina yang menunduk. Ia bahkan melangkah dengan sangat pelan untuk menarik perhatian Ellina. Namun sayangnya gadis itu sama sekali tak mempedulikannya.
"Ka-kau bisa hubungi aku jika butuh sesuatu. Atau kau bisa turun dan memanggilku. Aku akan ada di bawah. La-lalu, aku telah menyiapkan semua hal yang kau--"
"Aku tahu," potong Ellina terdengar lembut.
Lagi-lagi Ernest membeku. Ia berdiri di tengah pintu dengan mata menatap Ellina dalam. Ia tak menyangka bahwa Ellina benar-benar merespon kata-katanya. Merasa lega, ia tersenyum samar saat tangannya menutup pintu kamar gadis itu.
Ah, berlian perusahaanku telah kembali. Sebentar lagi. Dia akan membuatkanku dunia baru yang tak pernah aku bayangkan.
***