Kensky terdiam. Ia hanya bisa melihat tubuh Dean yang berjalan keluar dari kamar. "Ya Tuhan, kenapa bisa jadi seperti ini? Mom, aku harus bagaimana?" lirihnya pelan.
Karena merasa urusannya tidak akan digubris oleh Dean, Kensky pun langsung keluar dari kamar itu dan pulang. Ia harus mencari Tanisa dan berbagi kesedihan itu bersama sabahatnya.
Sementara Dean yang tadi keluar kamar, ternyata pergi mengambil minunan untuknya dan Kensky. Sekarang ia kembali lagi dan kamarnya sudah kosong.
"Sky!" Ia terkejut saat melihat kamar itu sudah tidak ada siapa-siapa. "Sky!" panggilnya sambil menyusuri seluruh kamar, "Sky, kau di mana?"
Dean melepaskan dua kaleng soda yang masih dingin di atas nakas kemudian berlari keluar untuk mengejar Kensky. "Sky?!" pekiknya seraya menuruni tangga, "Sky?!"
"Ada apa, Bos?" tanya Matt begitu Dean keluar pintu kamar.
"Apa kau melihat Kensky? Tadi dia bersamaku di kamar, tapi tiba-tiba dia menghilang."
"Nona Kensky baru saja pergi, Bos," jawab Matt.
"Pergi?!" Dengan cepat Dean berlari keluar mansion. Ia terus berlari menyusuri panjangnya halaman menuju pintu gerbang sambil berteriak. "Kensky!"
Matt juga ikut berlari mengikuti Dean. "Bos! Nona Kensky sudah pergi naik taksi."
Teriakan Matt membuat langkah Dean terhenti. "Apa?!"
"Nona Kensky sudah naik taksi, Bos. Tadi saat keluar dari dalam, Nona Kensky memintaku untuk mencarikan taksi. Taksi itu baru saja pergi."
"Brengsek! Dia pasti marah padaku," katanya dengan napas terengah-engah.
***
"Aku bingung harus bagaimana, sementara aku tidak mau perusahan ibuku jatuh ke tangan orang lain," kata Kensky sedih. Saat ini ia sudah berada di apartemennya Tanisa.
"Saranku, ya. Sebaiknya kau menerima saja tawaran Dean. Sudah baik, tampan, CEO lagi," kata Tanisa yang kini muncul sambil membawa dua kaleng kopi dingin. Satunya diberikan pada Kensky, "Toh kalau misalnya kalian memang menikah, itu berarti Kapleng Group tidak akan jatuh ke tangan orang lain. Perusahan itu akan tetap menjadi milikmu. Dan yang lebih bagus lagi, suadara dan ibu tirimu tidak akan macam-macam kalau perusahan itu di bawah naungan Dean."
Kensky menatap Tanisa dengan mimik wajah sedih. "Sebenarnya ada hal yang belum aku ceritakan padamu," katanya lemas, "Sebenarnya aku ingin sekali bertemu denganmu dan menceritakan semuanya, tapi waktuku yang tidak bersahabat."
"Sekarang kau punya waktu. Ceritakanlah."
Kensky mengeluarkan ponsel canggihnya dari dalam tas dan Tanisa melihatnya.
"Cie, yang handphone baru," ledek Tanisa saat melihat ponsel itu.
"Aku tidak membelinya, tapi handphone ini pemberian seseorang yang tidak aku kenal."
Mata Tanisa terbelalak. "Serius? Kapan? Siapa dia? Pasti dia orang kaya."
"Kau ingat kan saat aku datang padamu dengan tubuh yang basah kuyup tempo hari?"
"Ya, aku ingat. Terus?" Tanisa menyesap kopinya seraya menatap Kensky.
"Malamnya aku dapat kiriman kotak tanpa nama. Aku pikir isinya apa, ternyata ini." Ia memperlihatkan benda itu pada Tanisa.
Temannya itu pun mengambil ponsel itu kemudian memeriksanya. "Kau beruntung, Sky. Sangat jarang ada orang yang memberikan hadiah pada orang asing dengan harga beli semahal ini." Tanisa menatapnya. "Tapi aneh, kalau dia tidak mengenalmu masa dia mau memberikanmu handphone secanggih ini, apalagi hari itu ponselmu rusak. Atau jangan-jangan dia tahu kalau ponselmu rusak?"
"Ya, dia tahu."
"Oh, my God! Sungguh? Berarti dia sering memantaumu? Siapa dia, Sky?"
"Aku baru tahu hari ini. Orang yang memberikan ponsel ini ternyata lelaki yang dipilih ibuku untuk menjadi calon suamiku."
Tanisa terkejut. "Calon suami? Lalu Dean bagaimana? Bukannya dia juga adalah calon suami pilihan ayahmu?"
Kensky membuang napas panjang. "Itulah yang membuat aku bingung, Tan. Di satu sisi aku ingin menyutujui permintaan Dean demi Kapleng Group, tapi di satu sisi lagi aku sudah punya lelaki yang dipilih oleh ibuku. Aku jadi penasaran, apakah lelaki pilihan ayahku sama dengan lelaki pilihan ibuku?"
"Jika pria pilihan ibumu yang memberikan ponsel ini, kenapa kau tidak mengajaknya bertemu saja. Nanti di situ kau bisa melihat, apakah pria itu Dean atau bukan."
"Kalau Dean aku rasa tidak. Dia tidak mungkin mengenal ibuku. Sementara kalau dari pengakuannya bila mana ayahku menjodohkan kami, itu sedikit masuk akal karena ayah punya hutang padanya."
"Kalau begitu kau pilih siapa?"
Kensky sedih. "Entalah, aku bingung."
"Kenapa kau harus bingung? Sky, soal Dean aku rasa kau tidak usah ragu lagi. Sementara pria pilihan ibumu ... Kau sendiri belum bertemu dengannya, kan. Yah, kalau jadi kamu aku pilih Dean. Kenapa? Karena dia CEO di perusahan Eropa dan Amerika. Dia bahkan bisa membelikanmu handphone sejenis ini dalam jumlah banyak."
Kensky membulatkan matanya. "Pria misterius ini juga seorang CEO, Tan."
Mata Tanisa terbelalak. "Oh, iya? Kau tahu dari mana dia CEO?"
Kensky tersenyum saat mengingat kembali waktu pertama kali ia menghidupkan ponsel itu yang sudah terdapat satu kontak bernama Ceo. "Awalnya aku memang sudah curiga saat wallpaper ponsel ini adalah foto ibuku. Tapi aku tidak berpikir kalau dia adalah lelaki yang dipilih mommy untuk dijodohkan denganku. Aku pikir dia hanya kerabat atau keluarga ibuku. Tapi setelah aku membuka kotak yang tempo hari mom berikan padaku sebagai hadiah ulang tahun, ternyata di dalam kotak itu ada foto ibuku yang masih muda sedang duduk sambil tertawa bersama bocah laki-laki. Bocah itu adalah pria yang membelikanku ponsel ini. Namun di foto itu usianya sekitar delapan tahunan kalau tidak salah."
Alis Tanisa berkerut. "Dari mana kau bisa tahu kalau itu benar-benar dia?"
Kensky menarik napas panjang. "Di dalam kotak itu terdapat satu lembar foto di mana ibuku dan dia, serta buku harian kecil milik ibuku. Di dalam buku itu terdapat kata-kata yang sama persis dengan pesan yang dikirimkan pria itu saat pertama kali aku menyalakan ponsel ini. Saking penasaran, aku segera menghubunginya. Aku bertanya soal kotak dan fotonya bersama ibuku. Dan tanpa basa-basi, dia pun langsung mengaku bahwa itu benar kalau dalam foto itu adalah dia dan ibuku. Bahkan dia bilang itu foto terakhirnya bersama mommy."
Tanisa berdecak. "Tapi kan bisa saja dia mengada-ngada."
Kensky menggeleng. "Tidak, Tan. Aku rasa dia berkata jujur. Bahkan saat aku menanyakan soal kebenaran bahawa dia adalah calon suami pilihan ibuku, dia malah balik bertanya soal kotak itu. Kalau memang dia hanya mengada-ngada, mana mungkin dia tahu soal kotak itu, sementara aku tidak membahas soal kotak."
"Iya juga, sih. Terus sekarang dia di mana? Apa kalian tidak punya janjian akan bertemu atau kencan di mana, gitu?" ledek Tanisa kemudian menyesap kopinya lagi.
Kensky menggeleng pelan. "Dia bahkan tidak mau menyebutkan namanya. Mom juga tidak mencantumkan nama dan alamatnya. Tapi tadi saat aku hendak bertanya apa hubungannya dengan ibuku, ponsel ini tiba-tiba mati. Aku hubungi lagi saat perjalanan menuju mansionnya Dean, tapi nomornya sudah tidak aktif." Kensky berdesis. "Aku bingung, Tan. Menurutmu sebaiknya aku pilih siapa?"
"Menurutmu yang paling penting siapa?"
"Keduanya."
Tanisa tersenyum. "Bisa kau jabarkan padaku sepenting apa mereka berdua di matamu?"
"Karena keduanya bersangkutan dengan ibuku. Kalau soal pria yang memberikanku ponsel ini, sudah jelas dia memang pilihan mommy. Sementara Dean__ meski dia lelaki pilihan Daddy__ tapi dia orang yang akan memegang Kapleng Group jika aku tidak bisa melunasi hutang daddy."
Tanisa melepaskan kalengnya di atas meja kemudian melipat kedua kakinya hingga duduk bersilang. "Aku paham maksudmu. Hmm, sekarang kita bicara menyangkut perasaan, ya? Menurut kata hatimu saja, siapa di antara mereka berdua yang paling kau sukai?"
Drtt... Drtt...
Getaran ponsel dari samping mengejutkan Tanisa. Ia mengambil ponsel itu dan melihat layarnya.
"Siapa, Tan?" tanya Kensky.
"Ceo," jawab Tanisa seraya menyodorkan ponsel itu pada Kensky, "Siapa dia?"
"Pria pilihan mommy." Kensky pun dengan cepat menyambungkan panggilannya. "Halo?" sapanya dengan wajah bersemu merah.
"Halo, Sayang. Apa aku mengganggumu? Atau kau sedang sibuk?"
"Tidak, Kok. Hanya saja aku sedang bersama sahabatku di apartemennya."
"Di mana?" Kensky menyebutkan alamatnya. "Ya sudah, kalau begitu nanti kabari aku kalau sudah pulang, ya?"
"Iya."
Tut! Tut!
Tanisa berseru girang. "Apa yang dia katakan sampai wajahmu merah begitu, Sky?"
"Dia hanya tanya kalau aku ada di mana. Mungkin dia ingin bicara soal pembahasan kita yang sempat terputus."
"Ya ampun, Sky, aku tak bisa membayangkan bagaimana reaksi Dean saat kau tolak dengan alasan sudah punya calon suami. Begitu juga sebaliknya. Tapi kok namanya Ceo?" Tanisa terkikik membayangkannya.
"Itu karena di CEO, Tan."
Ting! Tong!
Bunyi bel pintu mengejutkan mereka. "Sebentar, ya," kata Tanisa seraya beranjak dari sofa.
Kensky sendiri masih tetap di posisinya sambil menikmati kopi. Namun saat melihat jendela yang terbuka, ia pun beranjak untuk mengintip keluar.
Dilihatnya pemandangan kota yang begitu ramai sambil berkata, "Mom, aku harus bagaimana?" lirihnya.
"Sky, ada yang mencarimu."
Kensky menoleh. "Siap ... Dean?!"
Continued___