"Kamu mau pergi kencan ya?"
Pertanyaan itu sebenarnya berasal dari teman kantornya Elza.
Ia sebenarnya sudah curiga dari pagi.
mendapati Elza itu memakai pakaian yang tidak seperti biasanya, ia nampak sangat menyukai ini bahkan dandanannya juga berbeda, namun Ia berpikir lain mungkin saja Elza begitu karena diomeli oleh mamanya, tapi siapa yang menyangka kalau kecurigaan itu akhirnya makin membesar yaitu ketika siang ini sebelum waktu istirahat beberapa menit lagi. Gadis itu nampak sibuk dengan make up-nya sebab ia ingin tampil baik.
Elza pun langsung menggeleng sambil berusaha untuk menjaga ekspresi wajahnya.
"Enggak tuh, biasa aja, ini pakaian sehari-hariku" sahutnya santai.
Jika memang benar itu adalah pakaian sehari-hari yang suka ia pakai, yang seakan-akan pasti sebagai teman satu ruangannya akan menyadari hal itu, namun Ini benar-benar pertama kalinya ia melihat Elza berpakaian seperti itu.
"Jangan bercanda, ini sudah lama kupakai" kilahnya lagi.
Tapi bukan hanya itu saja yang membuatnya makin ketara perbedaannya. Yaitu ketika Elza terus menerus melihat jam di tangannya.
"Kita istirahat jam berapa sih? Kok lama ya," gumam Elza tanpa sadar malah terdengar seperti tengah mengerutu.
Temannya yang tadi hanya menggeleng pelan.
"Kalau ditunggu waktu memang sering lama mutarnya," sahutnya.
"Yang nunggu siapa?" kilah Elza.
"Mungkin rumput," sahut yang lain lagi sebab daritadi memerhatikan kedua teman itu.
Sementara itu, Arvin sendiri tengah sibuk dengan pekerjaannya, ada banyak pasien hari ini. Mulai dari yang mau memeriksan gigi secara berkala, ada yang mau menambal gigi berlubang, sampai yang paling membuat Arvin agak lelah ada seorang nenek-nenek yang sukar sekali diajak kompromi. Bahkan anaknya sendiri malah kewalahan.
Giginya mau ditambal, tapi dia sudah ketakutan duluan.
Arvin sendiri sudah mengatakan padanya rasanya tak sakit sama sekali dan prosesnya juga cepat. Namun Nenek itu masih enggan untuk membuka mulutnya.
"Maaf ya Dok, nenek saya kadang memang suka begini, padahal di rumah terus-menerus mengeluhkan giginya sakit dan mau ditambal tapi sampai di sini malah enggan," ucap seorang wanita yang Arvin ketahui itu adalah cucu dari sang nenek.
Lansia tingkahnya memang kadang tak bisa ditebak, sama halnya seperti kebanyakan lansia pada umumnya, semakin tua seseorang, maka semakin menjadi-jadi juga tingkahnya yang nanti akan mirip dengan kelakuan anak kecil.
Arvin masih berusaha membujuknya. Memang agak sulit, ia sudah banyak membujuk anak-anak yang menangis, tapi kali ini untuk nenek-nenek ia masih belum berhasil.
Sang cucu juga nampak tidak enak, karena sekarang sudah seharusnya dokter itu istirahat.
"Oh iya, mungkin anda bisa beli sesuatu untuk nenek? Makanan kesukaan dia, biar dia di sini sama saya," kata Arvin pada cucu nenek yang tadi.
Ia pun mengganguk, memberikan pengertian pada sang nenek lalu pergi sebentar.
"Cucu nenek ada berapa?" tanya Arvin padanya.
Nenek itu nampak masih santai, kini sudah berbaring menatap langit-langit ruangan.
"Sembilan orang."
"Itu tadi cucu yang keberapa?"
"Itu tadi yang paling kecil, umurnya baru 18 tahun, sedang kuliah semester 6, dari kecil sudah sama saya, soalnya orang tuanya sibuk," kata sang nenek menjelaskan, mendengarnya Arvin nampak takjub. Ia yakin yang tadi itu cucu kesayangannya.
"Kenapa? kamu suka cucu saya?" tanyanya dengan tatapan menyelidik. Hingga Arvin buru-buru mengelak.
"Saya punya seorang putri, umurnya baru mau masuk lima tahun, dia selalu mau punya nenek, tapi karena saya dia jadi tidak bisa bertemu dengan neneknya," ucap Arvin.
Nenek itu mulai menaruh perhatian pada Arvin.
"Siapa nama putrimu?"
"Kaira."
"Dia sekarang sama siapa?"
"Sama —" saat itulah Arvin ingat dengan janjiannya dengan Kaira. Melihat perubahan di wajah Arvin nenek itu lantas bertanya ada apa.
"Ah, saya menjanjikan sesuatu padanya siang ini," ujarnya.
Cucu dari nenek tadi datang dengan buru-buru, dia agak lama pergi karena antrian tadi cukup panjang.
"Dokter maaf saya datang agak lambat, nenek saya—"
Ucapannya langsung terhenti ketika mendapati sang nenek kini sudah duduk santai di sofa.
"Nek tidak jadi—"
"Nenek sudah tambal gigi, ayo kita pergi."
Dan kebetulan saat itu Arvin sudah bersiap-siap ingin pergi juga.
"Gigi Nenek anda sudah ditambal ya, nanti kalau ada apa-apa bisa hubungi nomor saya, oh iya saya buru-buru karena ada urusan, nanti sama asisten saya ya," katanya pamit.
cucu dari nenek itu mengucapkan terima kasih dan mengecek gigi neneknya, benar-benar sudah ditambal. Lalu dokternya itu pakai cara apa tadi untuk membujuknya.
Tapi terlepas dari hal itu, ia cukup senang karena neneknya bisa dibujuk juga.
Ia terlambat satu jam. Kini ia pergi menuju ke rumah dengan tergesa. Pasti Kaira akan marah padanya.