ดาวน์โหลดแอป
8.33% MENGEJAR CINTA MAS-MAS / Chapter 9: MCMM 8

บท 9: MCMM 8

Hai guys..

Ketemu lagi

Yuk kita lanjut

⭐⭐⭐⭐

Happy reading ❤

"Pak, jangan lupa nanti sebelum pulang kita mampir dulu di toko kue yang ada di dekat rumah ya. Saya mau ambil pesanan." Perintah Gladys pada pak Dudung.

"Siap Non!"

Setengah jam kemudian mobil Gladys memasuki halaman rumahnya yang luas. Tampak beberapa mobil sudah terparkir rapi. Dahi Gladys berkerut saat melihat mobilnya terparkir di luar, bukan di dalam garasi seperti biasa. Siapa yang habis pakai mobilku? tanyanya dalam hati.

"Pak, tadi mobil saya dikeluarin dari garasi?"

"Nggak, non. Tadi pagi saya cuma manasin mesin aja. Nggak dikeluarin. Memangnya kenapa, non?"

"Kok itu ada di luar?"

"Mungkin habis dipakai sama mas Ghiffari, non."

"Nggak mungkin. Bang Ghif kan nggak suka pakai mobil itu. Kegedean katanya. Bang Gibran juga nggak bilang mau pinjam. Atau papi habis pakai?"

Saat Gladys keluar dari mobil matanya menatap kepada seseorang yang baru saja keluar dari mobilnya. Gladys mengucek mata tak percaya melihat orang tersebut. Ini gue nggak mimpi kan? Itu beneran si tukang kritik? Ngapain dia keluar dari mobil gue?

"Kak, ini kuenya langsung Endah kasih ke mbok Parmi ya." Bukannya menjawab pertanyaan Endah, Gladys malah melangkah menghampiri seseorang yang kini sedang menurunkan kotak-kotak air mineral dari bagasi mobilnya.

"Ngapain lo disini? Kok seenaknya aja elo pake mobil gue nggak bilang-bilang?! Jangan bilang papi yang nyuruh elo pake mobil gue!" Serang Gladys sambil menghalangi langkah Banyu yang sedang mengangkat dua kotak air mineral.

"Bisa permisi? Aku mau taruh kotak-kotak ini dulu di dapur." Bukannya menjawab, Banyu malah bertanya balik. Gladys menatap galak lelaki tersebut.

"Jawab dulu pertanyaan gue."

"Boleh nanti aja aku jawabnya setelah tugasku selesai? Itu pun kalau kamu mau menunggu." Jawab Banyu tanpa meletakkan bawaannya. Terlihat otot tangannya yang mengencang akibat membawa beban yang tidak ringan itu.

Seksi, kekar, tanpa sadar Gladys memperhatikan tangan Banyu. Sadar Dys sadar, masa liat tangan doang lo bilang seksi, protes otaknya. Tapi memang seksi, kali ini hatinya yang bicara. Akibat terlalu sibuk dengan kata hati dan otaknya yang berdebat, Gladys tak menyadari kini Banyu berdiri begitu dekat dengannya dan berbisik di telinganya.

"Jangan bengong. Nggak usah terlalu kagum begitu ngeliatin orang bawa beban. Aku tau aku ganteng, tapi seharusnya kamu kontrol wajah kamu biar nggak keliatan kayak hyena liat daging segar."

Gladys terjengit mendengar ucapan Banyu. Refleks dia mendorong tubuh Banyu. Akibatnya Banyu jatuh dan kotak-kotak itu menimpa kaki Gladys.

"Aaaah.... sakiiit!!" Jerit Gladys kencang sehingga membuat orang-orang keluar dari dalam rumah. Banyu buru-buru bangkit untuk mengangkat kotak yang menimpa kaki Gladys. Ia tak perdulikan tangannya yang lecet dan berdarah akibat jatuh tadi.

"NJIR..... ELO BISA NGGAK SIH LEBIH HATI-HATI LAGI?!😡. SAKIT TAU!!" Omel Gladys dengan galak.

"Sayang, kamu kenapa?" Cecile tergopoh-gopoh keluar setelah mendengar jeritan anak bungsunya.

"INI NIH MI, SI TUKANG KRITIK MENJATUHKAN KOTAK BERAT INI KE KAKI AKU!! SEKARANG KAKI AKU JADI SAKIT!!" Dengan cepat Gladys merubah ekspresi marahnya menjadi ekspkresi kesakitan dan akan menangis.

"Lho, kamu siapa? Kenapa kamu mencelakakan anak saya?" Cecile ikut emosi melihat anak kesayangannya kesakitan.

Banyu bingung harus menjawab apa. Memang sejak tadi dia belum bertemu Cecile, sehingga Cecile tidak mengetahui bahwa Banyu membantu mbok Siti mengambil pesanan air mineral.

"Maaf bu, saya mau membawa kotak-kotak air mineral ini ke dalam. Tadi mbok Siti minta tolong saya untuk mengambil ke toko Terang Bulan."

"'Tunggu dulu.. kamu itu kan yang mendampingi Gladys di kawinannya Erick?" Tanya mami Cecile mulai mengenali Banyu. "Siapa nama kamu? Kamu siapanya mbok Siti kok sampai dimintai tolong?"

"Benar bu, saya yang waktu itu mendampingi non Gladys. Kebetulan saya kesini mengantarkan pesanan kue untuk acara hari ini." Jawab Banyu sopan sambil menahan nyeri yang mulai terasa.

"Mamiiiii... ngapain sih pake nanya-nanya segala. DIA ITU BUKAN ORANG PENTING. NGGAK USAH DITANYA-TANYA!!" Sentak Gladys karena merasa maminya tidak memperhatikan dirinya.

"Kamu tidak seharusnya berkata keras sama mami kamu," tegur Banyu tajam, yang membuat Cecile dan Gladys terpana karena alasan yang berbeda. "Beliau itu ibu kamu. Seharusnya kamu bicara lembut, bukannya ketus begitu."

"Tapi gara-gara elo kaki gue sakit dan sekarang gue nggak bisa jalan ke .... " Belum selesai Gladys bicara Banyu sudah mengangkat tubuhnya ala bridal dan berjalan masuk ke arah rumah.

"Maaf bu, saya bawa non Gladys ke dalam dulu. Ini tanggung jawab saya karena sudah membuat kakinya sakit." Cecile tidak berkata apapun, hanya menganggukkan kepala sambil masih terus terpana.

"Tunjukkan dimana kamar kamu, biar saya gendong kamu kesana." Ucap Banyu kalem tanpa memperhatikan wajah Gladys yang masih terkejut tak menyangka Banyu akan melakukan hal ini.

"Kamar gue di lantai atas, yang pintunya warna pink." Jawab Gladys pelan. Sementara itu jantung Gladys berdegup tak karuan. Hai jantung, please jangan bertingkah, omelnya dalam hati.

Dengan langkah mantap Banyu membawa Gladys ke kamarnya. Begitu masuk rumah banyak mata yang memandang mereka penasaran. Praditho yang mengenali Banyu, langsung mendekati Cecile yang mengikuti Banyu dari belakang.

"Diajeng, kenapa si Gladys? Kenapa digendong oleh Banyu?" Bisiknya kepada Cecile.

"Schatz, kamu kenal Banyu?"

"Iya, tadi selepas ashar kami bertemu di luar masjid. Dia kan teman SMA Gibran. Itu si Gladys kenapa?"

"Ceritanya nanti saja ya. Kita ikuti mereka saja dulu." Tanpa banyak cakap keduanya mengikuti Banyu dan Gladys.

Di depan pintu kamar, Endah yang sedari tadi mengikuti Gladys langsung membukakan pintu agar Banyu bisa masuk. Di dalam kamar Banyu mendudukkan Gladys di atas sofa yang ada di situ.

"Mbak, bisa tolong ambilkan es batu dan minyak urut?" Pinta Banyu kepada Endah yang langsung gerak cepat keluar kamar untuk mengambil apa yang Banyu minta.

"Kamu mau ngapain?" Tanya Gladys judes saat Banyu ikut duduk di sofa dan meletakkan kaki Gladys di atas pahanya.

Tanpa memperdulikan pertanyaan Gladys, Banyu memperhatikan kaki Gladys yang tertimpa kotak. Hmm... tidak ada luka, hanya memar sedikit. Mungkin besok akan sedikit membiru. Tak lama Endah datang membawa yang diminta. Banyu segera mengompres kaki Gladys.

"Iissh... DINGIN TAU!!" Awalnya Gladys mengomel saat es batu yang dibungkus kain itu mengenai kakinya. Namun akhirnya ia merasa nyaman dan mulai berhenti mengomel. Selama mengompres, tak sekalipun Banyu melihat ke arah Gladys. Tatapannya hanya fokus ke kaki.

Sementara itu Praditho dan Cecile tidak berbicara. Mereka hanya memperhatikan bagaimana Banyu merawat kaki Gladys yang sedikit bengkak.

Setelah beberapa saat mengompres kaki Gladys dan kemudian mengeringkannya, Banyu mengambil minyak urut dan membalurkannya ke kaki Gladys. Sentuhan yang mampu membuat jantung Gladys kembali mengkhianati pemiliknya. Tangan Banyu terasa panas di kaki Gladys yang dingin karena dikompres es batu tadi.

"Aaah.. sakiit..." Rengek Gladys saat Banyu mulai mengurut pelan kakinya. Sebenarnya sakitnya tidak seberapa, namun Gladys sengaja merengek untuk menutupi rasa malunya. Endah yang sedari tadi berjongkok di samping Gladys hanya bisa ikut meringis mendengar rengekan itu.

"Sabar ya, kak. Sakitnya pasti cuma sebentar. Iya kan, mas?" Tanya Endah pada Banyu yang terus menatap kaki yang sedang diurutnya. Banyu mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah katapun.

"Iya, tapi pijatnya pelan-pelan dong. Kaki gue kan sakit banget." Omel Gladys. Endah tersenyum mendengarnya. Kalau nona mudanya sudah mulai mengomel itu tandanya kakinya tidak terlalu sakit.

"Ini dari tadi juga pijatnya pelan-pelan. Kamunya aja lebay," gumam Banyu. Gumaman yang hanya bisa didengar Gladys dan Endah. Mendengar hal itu Endah sekuat tenaga menahan tawanya. Benar apa kata Banyu, nona mudanya ini memang lebay. Drama Queen.

Tiba-tiba Gibran tergopoh-gopoh masuk ke kamar Gladys. Wajahnya terlihat cemas. Namun begitu melihat situasi di kamar, wajahnya berangsur tenang. Walaupun sering mengganggu Gladys hingga menangis, sebenarnya Gibran sangat menyayangi adik semata wayangnya ini.

"Mi, adek kenapa?" Tanya Gibran pada mami Cecile yang masih berada di dalam kamar.

"Kakinya ketimpa kotak air mineral."

"Kok bisa? Dek, kamu lagi ngapain kok bisa kejatuhan kotak? Terus apa hubungannya sama Banyu?"

"Dia ini yang ngejatuhin kotak ke kaki gue, bang!" Jawab Gladys sengit.

"Nggak sengaja kok, tadi Endah li...." Endah langsung menutup mulutnya saat melihat kode dari Banyu untuk diam.

"Mau sengaja atau nggak tetap aja sakit. Jadi orang kok ceroboh banget sih!" Gladys tetap sengit. Sebenarnya Gladys malu bila orang lain mengetahui kejadian sebenarnya. Belum lagi badannya terasa panas dingin akibat sentuhan tangan Banyu di kakinya.

"Tapi kayaknya nggak seberapa sakitnya, dek. Buktinya elo bisa jalan kesini."

"'Tadi dia digendong oleh Banyu." Cecile memberitahu.

Tawa Gibran langsung meledak saat mendengar ucapan Cecile. Semua mata memandangnya bingung. Pradhito langsung memukul pelan lengan anaknya. Gibran langsung menutup mulutnya dengan tangan untuk menahan tawanya.

"Gendong kayak pengantin gitu, Mi?" Cecile mengangguk. Kembali Gibran tergelak.

"Papiiii... itu bang Gibran bisa disuruh diam gak sih? Nyebelin banget deh." Omel Gladys. Sebenarnya ia malu bila mengingat hal tersebut.

"Sudah. Mungkin besok kaki kamu akan memar dan sedikit bengkak. Istirahatkan dulu kakinya biar nggak tambah bengkak. Kalau ada parem kocok boleh dibalur. Kalau nggak ada kamu bisa balur pakai minyak ini." Ucap Banyu perlahan dan meletakkan kaki Gladys di sofa. Ia sendiri berdiri dari duduknya.

Saat itulah Endah melihat tangan Banyu yang terluka akibat jatuh tadi. "Mas, itu tangannya luka."

"Oh, gak papa. Luka kecil aja."

Gibran mendekati Banyu dan melihat tangannya yang luka. "Bro, luka lo lumayan tuh. Lo kenapa diam aja?"

Mami Cecile mendekat dan ikut melihat tangan Banyu yang terluka. "Ya ampuun, tangan kamu kenapa bisa luka? Kamu tadi jatuh ya makanya kotak yang kamu pegang ikutan jatuh dan menimpa kaki Gladys. Endah, buruan ambil kotak P3K."

"Ah, nggak papa bu. Cuma lecet sedikit." Tolak Banyu jengah dan buru-buru pamit. "Saya keluar dulu bu, mau lanjutin angkat kotak."

"Eh, nggak usah. Tadi sudah dilanjutin sama pak Gito dan pak Dudung. Kamu istirahat disini aja dulu, ditemani Gibran."

"Terima kasih bu, sudah mau maghrib. Saya mau ke masjid saja."

Lalu datanglah mbok Siti dan membisikkan sesuatu ke telinga mami Cecile. "Ya ampuun Banyu, kamu itu kesini buat antar kue? Kenapa nggak bilang dari tadi. Maaf ya tadi tante malah marahin kamu. Jangan pulang dulu, tante ambil dulu uangnya."

Ooh dia tukang kue tho, bisik Gladys dalam hati. Sangkain pengusaha, nggak taunya cuma tukang kue. Gayanya kayak orang berpendidikan aja, omel Gladys dalam hati. Tukang kue kok berani-beraninya mengkritik gue, putri bungsu Pradhito Hadinoto, pengusaha batik terkenal. Dasar nggak tau diri!

"Badan kamu keliatannya kecil, tapi ternyata berat juga ya," bisik Banyu sebelum beranjak dari sofa. Gladys sudah siap mengomel kalau saja Banyu tidak buru-buru keluar kamar.

⭐⭐⭐⭐


next chapter
Load failed, please RETRY

สถานะพลังงานรายสัปดาห์

Rank -- การจัดอันดับด้วยพลัง
Stone -- หินพลัง

ป้ายปลดล็อกตอน

สารบัญ

ตัวเลือกแสดง

พื้นหลัง

แบบอักษร

ขนาด

ความคิดเห็นต่อตอน

เขียนรีวิว สถานะการอ่าน: C9
ไม่สามารถโพสต์ได้ กรุณาลองใหม่อีกครั้ง
  • คุณภาพงานเขียน
  • ความเสถียรของการอัปเดต
  • การดำเนินเรื่อง
  • กาสร้างตัวละคร
  • พื้นหลังโลก

คะแนนรวม 0.0

รีวิวโพสต์สําเร็จ! อ่านรีวิวเพิ่มเติม
โหวตด้วย Power Stone
Rank NO.-- การจัดอันดับพลัง
Stone -- หินพลัง
รายงานเนื้อหาที่ไม่เหมาะสม
เคล็ดลับข้อผิดพลาด

รายงานการล่วงละเมิด

ความคิดเห็นย่อหน้า

เข้า สู่ ระบบ