Happy Reading ❤
"Schatz, barusan ada telpon dari mas Robert. Dia kasih tau kalau penyakit jantung mami kumat. Tadi pagi dibawa ke rumah sakit oleh pak Joko dan mbok Ginem." Lapor Cecile pagi itu pada Praditho yang baru saja duduk hendak menikmati sarapan.
"Diajeng mau ke rumah sakit pagi ini?"
"Iya schatz. Nanti aku minta antar sama pak Dudung."
"Nggak papa diajeng hanya diantar sama pak Dudung?"
"Nggak papa, schatz. Lagipula kamu pagi ini ada meeting sama orang Kementrian Pariwisata kan?" Praditho memgangguk. "Nanti aku kabari kondisi mami dari rumah sakit. Semoga sakitnya mami nggak terlalu serius."
"Kamu ajak Gladys buat menemani, ya." Cecile mengangguk lemah. Pikirannya saat ini benar-benar tidak fokus mendengar berita tersebut. Tangannya terlihat gemetar saat mengambilkan sarapan untuk suaminya. Praditho melihat tersebut. Dengan lembut diraihnya tangan Cecile dan diciumnya. Kemudian ditariknya tubuh Cecile ke dalam pelukannya.
"Diajeng yang sabar ya. Doakan saja Allah memberikan yang terbaik buat mami." Cecile mulai terisak di dalam pelukan sang suami. "Insyaa Allah mami kuat. Kamu ingat nggak, mami pernah bilang kalau dia nggak akan pergi sebelum si adek menikah?"
"Aku ingat, tapi aku juga khawatir, schatz. Kamu lihat kan adek sampai sekarang masih asyik menjomblo. Aku khawatir mami keburu pergi sebelum adek menikah."
"Hei... jangan pesimis ah. Doain yang baik-baik saja. Jangan khawatir, aku yakin sebentar lagi adek akan bertemu dengan jodohnya." Praditho menenangkan istrinya yang masih sesenggukan di dalam pelukannya.
"Mami papi ngapain pagi-pagi sudah mesra-mesraan?" tanya Gibran yang baru saja masuk ke ruang makan. Tampaknya pagi ini dia sudah siap berangkat ke kantor. "Lho, Mami kenapa nangis? Hayoo.. papi apain si mami sampai nangis kayak gitu. Papi selingkuh ya?"
Bukannya menjawab, Praditho malah memelototi anak keduanya. Gibran mengurungkan niatnya meledek sang papi saat dilihatnya wajah Praditho yang tampak serius. Tanpa banyak bicara Gibran duduk dan mulai sarapan.
"Gib, eyang Tari masuk rumah sakit," ucap Cecile setelah tangisnya mereda. "Mami khawatir eyang nggak bisa bertahan."
"Mami jangan negatif thinking dulu ah. Eyang Tari itu salah satu wanita terkuat yang Gibran pernah temui. Gibran yakin kali ini eyang pasti bisa bertahan." Gibran menguatkan Cecile. "Mami mau ke rumah sakit? Sama papi?"
"Papi nggak bisa menemani mami. Mungkin nanti mami ditemani sama Gladys saja. Kamu juga pasti lagi banyak kerjaan kan?"
"Iya Mi, Gibran lagi ngurusin merger perusahaan. Maaf ya Gibran nggak bisa menemani mami. Insyaa Allah pulang kantor nanti Gibran dan Vania akan mampir."
"Bang, kamu sudah ada planning untuk menikah dengan Vania?" Tanya Cecile. "Kalian sudah cukup lama juga pacarannya kan?"
"Planning sih ada, Mi. Tapi kayaknya belum dalam waktu dekat. Vania mau menyelesaikan spesialisnya dulu. Mungkin dalam waktu 1 atau 2 tahun lagi." Cecile manggut-manggut. Vania, pacar Gibran, adalah seorang dokter yang sedang mengambil spesialis anak.
"Bang, mami khawatir. Eyang Tari pernah bilang pengen lihat Gladys menikah sebelum dia meninggal. Mami khawatir umur Eyang nggak lama lagi."
"Diajeng jangan negatif thinking gitu dong. Nanti kamu malah stress dan jatuh sakit gara-gara mikirin masalah itu."
"Tapi schatz, ini sudah yang kesekian kalinya mami kena serangan. Usia mami juga sudah nggak muda lagi. Aku takut kalau mami...."
"Mami jangan terlalu khawatir ya. Untuk urusan adek, nanti malam kita coba ajak dia ngomong baik-baik." Gibran berusaha menenangkan Cecile. "Paling tidak nanti kita bicarakan supaya dia punya pasangan dulu. Urusan menikah bisa dibicarakan kemudian."
"Kamu tahu kan kalau adikmu itu cucu kesayangan eyang."
"Iya, Mi. Gibran ngerti itu. Sekarang mami tenang aja. Suruh Minah bangunin Adek biar dia bisa menemani mami ke rumah sakit."
⭐⭐⭐⭐
"Dys, mami mau bicara serius sama kamu." Cecile membuka percakapan saat mereka dalam perjalanan menuju rumah sakit.
"Soal apa Mi?" tanya Gladys tanpa melepaskan pandangan dari hpnya.
"Taruh dulu hpnya. Lihat mami." Gladys menuruti permintaan Cecile.
"Ada apa sih, Mi? Kok dari tadi pagi kayaknya mami serius banget."
"Adek tau kan kalau eyang Tari sayang banget sama kamu? Adek tahu berapa umur Eyang sekarang?"
"Tau dong. Kalau nggak salah bulan lalu itu eyang baru saja ulang tahun yang ke 79. Benar kan, Mi?" Cecile mengangguk.
"Kamu sayang sama eyang?" Gladys mengangguk tapi pandangannya menyelidik.
"Mami kenapa sih? Kok hari ini aneh banget. Eyang baik-baik saja kan, Mi?"
"Mami nggak tau, dek. Mami khawatir dengan kondisi eyang. Bukan baru sekali ini eyang kena serangan jantung. Apalagi usia eyang juga sudah nggak muda lagi. Mami takut eyang akan segera pergi meninggalkan kita."
"Mami jangan ngomong begitu dong. Eyang itu kuat lho."
"Eyang pernah cerita nggak sama kamu apa keinginannya terhadap kamu?" Gladys menggeleng bingung. "Eyang punya keinginan khusus. Beliau kepengen banget lihat kamu menikah."
"Ah, mami mah ngadi-ngadi. Nggak usah bawa-bawa eyang segala deh kalau memang mami pengen adek cepat-cepat menikah." Cecile hanya menghela nafas kesal saat mendengar ucapan anak bungsunya ini.
"Kalau kamu nggak percaya, nanti kamu tanyakan langsung pada eyang."
"Mi, Gladys tuh masih muda. Gladys masih belum ingin terikat dalam yang namanya pernikahan. Gladys belum sanggup menjadi seorang istri seperti mami. Kemana-mana harus ijin suami. Kalau pergi nggak bisa bebas karena di rumah ada yang menunggu. Pokoknya Gladys belum siap deh."
"Dulu saat mami seumuran kamu, mami sudah menikah sama papi kamu. Saat itu mami sudah dianggap telat menikah karena teman-teman mami sudah menikah sejak usia mereka 19 tahun. Bahkan ada yang menikah di usia lebih muda dari itu."
"Itu kan jaman baheula, Mi. Jangan samain dengan jaman sekarang dong. Lagipula mami kan tahu kalau adek nggak punya pacar. Mau disuruh kawin sama siapa? Masa kawin sama satpam komplek." Gladya bergidik sendiri saat membayangkan menikah dengan satpam.
"Dek, bukan cuma eyang yang pengen lihat kamu menikah. Mami juga pengen lihat adek nikah."
"Mami selalu deh mendesak adek untuk nikah. Kalau cuma pengen punya cucu, kan sebentar lagi bang Ghif sudah mau menikah dengan Khansa. Beres kan? Mami nggak usah kejar-kejar adek buat nikah."
⭐⭐⭐⭐
Suasana ruang perawatan VIP yang ditempati eyang Tari tampak lengang. Hanya ada pak Joko dan mbok Ginem yang menemani. Eyang Tari tampaknya sedang tidur saat Cecile dan Gladys tiba.
"Mbok, mas Robert belum kesini?" tanya Cecile kepada mbok Ginem.
"Sudah non. Tadi den Robert mampir kesini sebelum ke kantor. Katanya nanti siang balik lagi kesini." jawab mbok Ginem.
"Mbok Ginem dan pak Joko balik aja dulu ke rumah. Biar saya dan Gladys yang jagain eyang. Mbok balik lagi nanti malam. Ajak si Yayuk, biar mbok nggak terlalu capek," ucap Cecile.
Menjelang dzuhur eyang Tari terbangun. Wajahnya terlihat lebih segar.
"Eyang," Gladys langsung mendekati eyang Tari dan mencium tangan dan pipinya.
"Eh, ada cucu kesayangan eyang. Sama siapa kesininya Ndhuk?"
"Sama mami, eyang. Tapi mami lagi keluar sebentar untuk pesan makan siang."
"Dys, eyang mau ngomong serius sama kamu." Perasaan Gladys mulai was-was. Eyang Tari adalah salah satu orang yang sering mendesaknya untuk segera menikah.
"Eyang kan lagi sakit. Harus banyak istirahat. Jangan mikir yang berat-berat dulu."
"Anak kecil nggak usah ngatur!" tegas eyang Tari. "Eyang mau kamu menikah dalam waktu enam bulan ini, setelah Ghiffari."
Gladys terdiam mendengar ucapan eyang Tari yang seperti ultimatum yang akan sulit untuk dilawan. Semua anggota keluarga besar Van Schuman tahu bahwa keputusan eyang Tari adalah keputusan final. Tak lama Cecile masuk ke ruangan bersama Robert van Schuman. Mereka langsung merasakan telah terjadi sesuatu di situ. Wajah eyang Tari yang terbaring lemah, namun penuh tekad. Sementara itu wajah Gladys terlihat bingung.
"Eh, ada Gladys tho. Kamu lagi nggak banyak kerjaan, Sayang?" tanya Robert seraya mengacak rambut Gladys.
"Kebetulan lagi agak lowong om. Tadi sudah kasih tau butik kalau aku jenguk eyang. Lagipula kalau ada yang mendesak bisa dihandle dari sini om."
"Ada hal lain yang lebih mendesak yang harus dikerjakan oleh Gladys daripada memikirkan pekerjaan." ucap eyang Tari dengan suara tegas. "AKU MAU GLADYS SEGERA MENIKAH."
"Mami.... " Robert tak melanjutkan ucapannya saat melihat wajah eyang Tari yang penuh tekad.
"Eyang, nggak mungkin dong Gladys harus menikah dalam waktu 6 bulan lagi. Eyang kan tahu kalau Gladys nggak punya pacar."
"Makanya cari dong."
"Eyang, cari pacar itu bukan kayak beli kacang. Apalagi ini cari calon suami yang akan menjadi pendamping seumur hidup. Eyang nggak mau kalau nanti di tengah jalan kami bercerai, kan?" tanya Gladys.
"Kalau kamu nggak bisa mencari calon, biar eyang yang pilihkan buat kamu."
"Nggak! Biar Gladys cari sendiri. Kalau eyang yang cari nanti dipilihin yang sudah tua lagi." jawab Gladys berani.
Di antara cucu-cucunya, hanya Gladys yang berani bersikap seperti ini kepada eyang Tari. Mungkin inilah yang membuat eyang Tari sangat sayang kepadanya. Menurut eyang Tari, sifat Gladys ini paling mirip dengan dirinya saat muda.
"Gladys, jangan begitu dong ngomongnya sama eyang." ucap Cecile khawatir eyang Tari akan tersinggung.
"Pokoknya eyang mau kamu menikah sebelum eyang meninggal. Dan eyang nggak tahu apakah Eyang masih bisa hidup lebih lama dari 6 bulan ini."
"Mami, jangan ngomong kayak gitu dong. Mami pasti sehat lagi," Ucap Robert.
"Memangnya kamu Tuhan?" sarkas Eyang Tari. "Kalian jangan coba-coba membantahku. Kalau dalam waktu 6 bulan ini Gladys belum mendapatkan calon suami dan aku masih hidup. Maka aku yang akan mencarikan calon untuk dia dan DIA HARUS MENERIMA CALON YANG KUPILIHKAN"
"Eyaaaaang..... "Gladys mulai kesal tapi ia tak berani melanjutkan karena melihat tatapan Robert.
"Mi, biar nanti Cecile dan Gladys bahas di rumah. Cecile yakin Gladys pasti setuju untuk segera menikah." Cecile berusaha meyakinkan eyang Tari yang sudah mulai terlihat gusar. "Sekarang mami makan siang dulu, shalat, minum obat dan istirahat. Nanti Cecile dan Gladys ijin pulang ya. Gantian Robert yang jaga mami."
"Mami.... "
"Sudah, nggak usah dibahas lagi." Ucap Cecile tajam. "Nanti malam kita bahas di rumah."
⭐⭐⭐⭐
"Kacau.. kacau.. kacau..." Gladys mengomel-omel sendiri sambil berjalan mondar mandir di ruang kantornya. Tatiana yang sedari tadi berdiri di situ tak berani mengganggu kegiatan bosnya yang sedang kalut.
"Emangnya gampang... Mbak, apa mungkin dalam waktu 6 bulan gue bisa dapat calon suami? Ini mencari pendamping hidup lho. Bukan sekedar teman kencan sehari dua hari. Bayangin aja mbak, 6 bulan... 6 bulan gue harus dapat pasangan hidup. Kalau bisa cari pake aplikasi belanja buat cari calon suami, pasti hidup gue lebih mudah."
"Kok eyang tega banget sih sama gue. Kenapa juga gue yang harus dikejar-kejar buat cepat kawin. Kenapa bukan bang Gibran atau Geraldine yang dikejar-kejar?"
Tatiana tak berkomentar sedikitpun. Karena ia tahu kalau bosnya tidak membutuhkan bantuan untuk menjawab itu semua. Yang terpenting adalah saat ini ia harus menjadi pendengar yang baik saat bosnya yang cantik ini curhat.
"Mbak, gue harus buktikan sama eyang kalau gue bisa cari jodoh sendiri. Tapi, gue kan belum mau nikah. Menikah itu ribet, bikin lelah lahir batin." Gladys sibuk bermonolog sambil mondar mandir.
⭐⭐⭐⭐