ดาวน์โหลดแอป
100% MEGABOT / Chapter 7: Tangisan Di Atas Pohon

บท 7: Tangisan Di Atas Pohon

Saat Erwin berjalan pulang di trotoar yang penuh dengan suara bising alat-alat pembangunan, rasa kecewa masih menghantui pikirannya. Dia melihat banyak pekerja yang sibuk membangun ulang bangunan-bangunan yang rusak akibat pertempuran beberapa bulan yang lalu. Setiap denting palu dan suara mesin yang berderak seolah menjadi pengingat keras bagi Erwin bahwa dunia tidak akan menunggu siapa pun. Dia harus cepat bangkit dari kegagalannya.

Namun, di tengah keramaian itu, tiba-tiba telinganya menangkap suara yang aneh. Suara itu terdengar samar di antara deru mesin yang menyala, seperti tangisan kecil yang pelan namun putus asa.

Karena penasaran, Erwin menghentikan langkahnya. Dia menajamkan pendengaran dan mencoba mencari dari mana asal suara itu. Suara itu semakin jelas, terdengar seperti suara anak kecil yang menangis. Tidak menunggu lama, dia memutuskan untuk mengikuti suara tersebut.

Dengan perlahan, dia berjalan ke arah yang dia yakini menjadi sumber suara yang di dengarnya. Jalanan yang tadinya ramai mulai terasa semakin sepi saat dia menjauh dari kerumunan pekerja. Suara tangisan itu semakin terdengar nyaring, sehingga membuat Erwin mempercepat langkah kakinya. Setelah beberapa menit menyusuri jalan, dia akhirnya tiba di sebuah taman kecil yang sedikit tersembunyi di antara bangunan-bangunan tinggi.

Lalu, Erwin melihat ke sekelilingnya, mencoba mencari dari mana tangisan itu berasal. Lalu, pandangannya tertuju pada sebuah pohon besar di sudut taman. Di atas dahan tertinggi pohon itu, dia melihat seorang anak kecil yang sedang terjebak, dan sedang menangis dengan suara yang tersendat-sendat. Anak itu berpegangan erat pada dahan pohon sambil terlihat sangat ketakutan.

"Tolong... tolong aku!" suara anak kecil itu terdengar samar, diselingi tangisan yang membuat kata-katanya terdengar terpotong-potong. "Aku... aku gak bisa... gak bisa turun..."

Erwin segera menyadari situasinya. Anak itu tampaknya terlalu kecil untuk bisa memanjat turun sendiri ke bawah. Dengan cepat, dia menghampiri pohon tersebut dan melihat ke atas untuk memastikan posisi dari anak itu.

"Heh, jangan khawatir! Aku akan segera menolongmu," kata Erwin dengan suara tenang, meskipun dia sendiri juga merasa khawatir. Pohon itu sangatlah tinggi, dan anak kecil itu berada di salah satu dahan yang paling rapuh.

Setelah memastikan anak itu tidak bergerak terlalu banyak, Erwin memutuskan untuk memanjat pohon tersebut. Pohon itu memiliki batang yang besar dan kuat, namun dahan-dahan di bagian atasnya semakin tipis dan rapuh. Erwin harus berhati-hati. Setiap langkahnya terasa berat, karena dia tidak ingin membuat kesalahan yang bisa saja membuat anak itu jatuh.

Saat dia mendekati anak itu, tangisan anak tersebut semakin keras. "Aku takut... aku takut... Aku mau pulang...," kata anak itu dengan suaranya yang terdengar sangat ketakutan dan kacau.

Lalu Erwin mengangguk, meskipun anak itu mungkin tidak bisa melihatnya dengan jelas. "Tidak apa-apa, aku sudah dekat. Aku akan membantumu untuk turun."

Akhirnya, setelah beberapa menit yang terasa sangat menegangkan, Erwin berhasil mencapai dahan tempat anak itu berada. Dia dengan lembut menyentuh bahu anak itu, mencoba menenangkan si kecil. Anak itu tersentak sedikit, tetapi perlahan-lahan menoleh dan melihat Erwin.

"Aku... aku mau pulang...," ulang anak itu dengan suaranya yang masih bergetar.

"Kita akan pulang. Tapi pertama-tama, kita harus turun dari sini terlebih dahulu. Kau pegang erat-erat padaku, ya? Aku akan memastikan kau aman."

Anak itupun mengangguk dengan ragu, lalu perlahan-lahan melepaskan pegangan pada dahan pohon dan memeluk leher Erwin dengan erat. Erwin merasa napas anak itu hangat di pundaknya, napas yang masih tersengal-sengal karena ketakutan.

Dengan hati-hati, Erwin mulai menuruni pohon tersebut sambil memastikan setiap pijakan yang di ambilnya aman. Setiap kali dahan yang menjadi pijakan berderit, anak itu memeluknya lebih erat, tetapi Erwin terus memberikan kata-kata penenang agar anak itu tetap merasa aman.

Setelah beberapa menit yang penuh ketegangan, akhirnya Erwin berhasil mencapai tanah dan anak itu segera melepaskan pelukannya, lalu duduk di atas tanah sambil menangis pelan, tetapi kali ini tangisannya lebih ringan, seolah-olah beban besar telah terangkat dirinya.

"Terima kasih, Kak...," kata anak itu dengan suara pelan sambil menatap Erwin dengan mata yang masih berair.

Kemudian Erwin berjongkok di sampingnya, untuk memastikan anak itu baik-baik saja. "Sama-sama. Kau tidak terluka, kan?"

Anak itu menggeleng sambil mengusap air mata dari wajahnya. "Aku... aku gak bisa nemuin jalan pulang... Aku tersesat..."

Mendengar hal itu, Erwin menatap anak itu dengan lembut. "Baiklah, kalau begitu aku akan mengantarmu pulang. Di mana rumahmu?"

Anak itu terlihat bingung sejenak, seolah-olah dia sedang berusaha mengingat-ingat rumahnya. "Di... di jalan besar... ada rumah... ada bendera biru di depan rumahnya...," jawabnya dengan bahasa yang terpotong-potong, karena masih sulit untuk berbicara dengan jelas.

"Oke, kita akan mencarinya bersama-sama."

Mereka berdua kemudian mulai berjalan keluar dari taman itu. Sambil berjalan, Erwin sesekali bertanya kepada anak kecil itu tentang petunjuk lain mengenai rumahnya. Setiap kali anak itu memberikan informasi, Erwin mendengarkan dengan seksama, sambil mencoba membayangkan rute yang harus mereka tempuh.

"Jadi, rumahmu di dekat jalan besar? Apa ada gedung tinggi di sekitarnya?" tanya Erwin dengan nada lembut, berharap bisa mendapatkan gambaran yang lebih jelas.

"Iya... gedung tinggi... terus belok kanan... nanti ada... ada toko permen..."

Erwin tersenyum setelahnya, akhirnya merasa memiliki gambaran tentang lokasi yang mereka tuju. "Oke, aku tahu tempatnya. Ayo, kita akan segera sampai."

Perjalanan mereka memakan waktu beberapa menit, melewati jalan-jalan kecil yang semakin sepi seiring malam yang semakin larut. Di sepanjang perjalanan, anak kecil itu semakin tenang, dan Erwin bisa merasakan bahwa anak itu mulai merasa nyaman di dekatnya. Mereka melewati beberapa gedung tinggi dan akhirnya sampai di jalan besar yang penuh dengan toko-toko kecil, seperti yang anak itu gambarkan.

"Apakah ini tempatnya?" tanya Erwin sambil menunjuk ke arah jalan yang penuh dengan lampu-lampu neon yang berkilauan di malam hari.

Kemudian, anak itu mengangguk dengan penuh semangat. "Iya, iya! Itu rumahku!" Anak itu menunjuk ke sebuah rumah kecil di sudut jalan, dengan bendera biru yang berkibar di depannya.

"Akhirnya kita sampai."

Setelahnya, anak kecil itu segera berlari ke pintu rumahnya dan mengetuknya dengan keras. Tidak lama kemudian, pintu tersebut terbuka dan seorang wanita keluar dari dalamnya, tampak panik. Begitu melihat anaknya, wanita itu langsung memeluknya dengan erat.

"Oh, Nak! Kamu ke mana saja? Ibu sangat khawatir dengan keadaan mu!" Wanita itu berkata dengan suara penuh kelegaan, air mata kebahagiaan mulai mengalir di pipinya.

Dari jarak yang cukup jauh, Erwin tersenyum melihat pertemuan itu dari kejauhan. Dia merasa puas karena bisa membantu anak kecil itu pulang dengan selamat. Namun, sebelum dia bisa pergi, wanita itu menoleh ke arahnya.

"Terima kasih banyak sudah menolong anak saya," kata wanita itu dengan nada penuh rasa syukur. "Saya tidak tahu apa yang akan terjadi kalau Anda tidak menemukannya."

"Tidak masalah, Bu. Saya senang bisa membantu."

Wanita itu memeluk anaknya sekali lagi sebelum mengundang Erwin masuk untuk sekadar minum teh sebagai tanda terima kasih. Namun, Erwin menolaknya dengan sopan, merasa hari ini sudah cukup panjang dan dia hanya ingin pulang.

Setelah berpamitan, Erwin kembali melanjutkan perjalanannya. Meskipun dia gagal mendaftar di akademi hari ini, setidaknya dia telah melakukan sesuatu yang baik.

Rasanya kegagalan tadi tidak lagi seberat sebelumnya. Langit malam Jayapura nightwolf tampak tenang, dengan bintang-bintang yang bersinar di atas kepalanya. Dan Erwin tahu, hari ini bukanlah akhir dari segalanya. Dia masih punya banyak waktu dan kesempatan untuk membuktikan bahwa dia layak menjadi seorang pilot MegaBot.

Sambil melangkah pulang, hatinya terasa sedikit lebih ringan. Erwin merasa bahwa hari esok selalu memberikan kesempatan baru, dan dia siap untuk menyambutnya dengan lapang dada.


next chapter
Load failed, please RETRY

ตอนใหม่กำลังมาในเร็วๆ นี้ เขียนรีวิว

สถานะพลังงานรายสัปดาห์

Rank -- การจัดอันดับด้วยพลัง
Stone -- หินพลัง

ป้ายปลดล็อกตอน

สารบัญ

ตัวเลือกแสดง

พื้นหลัง

แบบอักษร

ขนาด

ความคิดเห็นต่อตอน

เขียนรีวิว สถานะการอ่าน: C7
ไม่สามารถโพสต์ได้ กรุณาลองใหม่อีกครั้ง
  • คุณภาพงานเขียน
  • ความเสถียรของการอัปเดต
  • การดำเนินเรื่อง
  • กาสร้างตัวละคร
  • พื้นหลังโลก

คะแนนรวม 0.0

รีวิวโพสต์สําเร็จ! อ่านรีวิวเพิ่มเติม
โหวตด้วย Power Stone
Rank NO.-- การจัดอันดับพลัง
Stone -- หินพลัง
รายงานเนื้อหาที่ไม่เหมาะสม
เคล็ดลับข้อผิดพลาด

รายงานการล่วงละเมิด

ความคิดเห็นย่อหน้า

เข้า สู่ ระบบ