Luca menghela nafas panjang. Peluh membasahi keningnya. Ternyata pindah ke tempat baru itu benar-benar melelahkan. Namun, semua harus dilakukan, jika ingin melepaskan diri dari masa lalu yang menyakitkan.
"Kak!!!" panggil seorang gadis yang lebih muda darinya. Seulas senyum tersungging di wajah mungilnya.
"Ayo istirahat dulu!"
Segera lelaki itu mengangguk dan meneguk segelas es teh manis yang dibawa oleh gadis itu.
"Kak, aku masih merasa takut. Kita bersembunyi di kota ini, tapi bagaimana jika orang-orang itu menemukan kita?" lanjut gadis berambut sebahu tersebut dengan wajah berubah pucat pasi.
"Reina, kamu tidak perlu takut, Kakak akan selalu melindungi kamu. Orang-orang itu tidak akan bisa mendekati kita," ucap Luca sembari merangkul bahu kurus adiknya itu.
Gadis bernama Reina itu hanya mengangguk. Namun, gurat kecemasan belum sepenuhnya hilang dari wajahnya.
'Aku justru cemas dengan mereka, Kak. Apa yang akan Kakak lakukan jika sampai ada yang menemukan kita? Aku takut membayangkannya.'
***
Usia pria itu sudah tak lagi. Uban telah menghias rambutnya yang dulu hitam. Tubuhnya tak lagi bugar. Namun, ia harus berlari untuk menyelamatkan diri. Tak jauh di belakangnya berdiri sosok yang sedang menghunus pisau. Orang yang mengejar itu tertawa saat melihat dia terjungkal jatuh.
"Ja-ngan! Ku-mohon maafkan aku!" pinta sang lelaki paruh baya tersebut. Namun, sosok berjubah hitam dengan penutup wajah yang berdiri di hadapannya hanya tertawa.
"Sudah terlambat untuk meminta pengampunan, karena ini adalah karma atas perbuatanmu!"
Kakek renta itu merangkak mundur. Ia tetap harus menyelamatkan diri. Namun, niat itu menghilang saat tusukan-tusukan tajam menghunjam tubuhnya berkali-kali. Kini, dia merasa lunglai. Cairan merah kental mengalir deras membasahi tanah di sekitarnya. Lalu, semua gelap dan menghilang.
***
Sabrina sedang menata ulang berkas-berkas kasus di mejanya, saat Kanaya datang menemuinya. Mengajak wanita berparas cantik itu pergi ke TKP pembunuhan setelah menerima laporan.
Sabrina dan Kanaya adalah detektif swasta yang bekerja menangani kasus-kasus pembunuhan. Kanaya adalah rekan sekaligus pembimbing Sabrina, karena wanita itu lebih tua dan berpengalaman dari Sabrina, yang sebelumnya menangani kasus kejahatan ringan, seperti pencurian atau perampokan. Karena kecerdasan wanita muda itu, kini dia dipercaya menangani kasus-kasus pembunuhan.
Tanpa buang waktu lagi, kedua wanita tersebut segera menuju ke TKP. Kesibukan terlihat jelas di daerah yang telah dipasang tali pembatas oleh polisi. Beberapa memeriksa rekaman CCTV dan kamera black box kendaraan yang terparkir sepanjang hari di daerah tersebut. Para petugas forensik juga sedang menyusuri dan memeriksa daerah itu. Berharap akan menemukan sidik jari atau petunjuk apa pun yang bisa membantu mengarahkan tentang sosok pembunuh berdarah dingin tersebut.
Kanaya dan Sabrina mendekat pada jasad korban yang masih tergeletak di tanah tempatnya ditemukan. Sosok pria paruh baya dengan bola mata yang dirusak oleh pelaku. Mungkin dengan paku atau semacamnya. Benar-benar keji dan sadis. Masyarakat yang berkerumun untuk menyaksikan penyelidikan ikut bergidik ngeri.
Sabrina menatap sosok lelaki yang tak bernyawa tersebut. Entah mengapa, ia merasa familiar dengan orang itu.
"Bukankah beliau pernah ke kantor kita?" tukas Kanaya tiba-tiba.
Sabrina terperanjat. Gadis itu kembali menatap korban.
'Benar! Tak salah lagi lelaki bertubuh sedang itu pernah datang ke tempat mereka.'
***
Beberapa hari sebelumnya ...
Seorang pria paruh baya datang ke kantor detektif tersebut. Penampilannya nampak parlente. Pakaian yang dikenakan juga terlihat mahal. Rambut kelabu campur putihnya disisir rapi ke samping. Namun, semua itu tak bisa menutupi ketakutan di wajahnya.
"Tolong lindungi aku! Ada orang yang ingin membunuhku!" ucapnya saat menemui kedua wanita itu.
"Tuan, kami tidak bisa melakukannya! Kami ini detektif, bukan bodyguard!" tegas Kanaya.
"Lagipula, bukankah sudah ada begitu banyak orang yang melindungimu?" timpal Sabrina.
Lelaki itu menggeleng.
"Kalian tidak mengerti. Orang yang ingin membunuhku itu bukan orang biasa. Para penjaga ini, mereka tidak akan bisa melindungiku."
Saat itu, Sabrina dan yang lain menganggap pria itu terlalu melebih-lebihkan. Dengan penjagaan yang begitu ketat, siapa yang bisa mendekati dan melukainya? Namun ternyata sekarang semua itu terbukti benar.
***
Beberapa wartawan terlihat hendak menerobos masuk. Tewasnya seorang pria kaya dan terpandang tentu menarik perhatian mereka. Para petugas sibuk menghalangi mereka. Kanaya menemui dan menjawab pertanyaan-pertanyaan dari orang-orang itu.
"Kami mendapat informasi bahwa Pak Jaya sempat datang ke tempat kalian untuk meminta perlindungan. Namun, kalian malah menolaknya. Bukankah itu artinya peristiwa ini adalah kesalahan kalian?" tanya salah seorang dari para pemburu berita itu sembari menyodorkan perekam yang ia bawa.
"Dengar, kami langsung menyelidiki saat mendapat laporan bahwa beliau diancam. Kesalahan kami adalah tidak bisa menemukan orang yang melakukan ancaman sebelum pembunuhan terjadi. Namun, untuk perlindungan, kami tidak bisa melakukannya, karena kami detektif yang menyelidiki kasus, bukan melakukan perlindungan pribadi pada seseorang. Itu di luar wewenang dan tugas kami," jelas wanita berambut ikal tersebut dengan suara tegas dan tidak bisa dibantah.
"Itu semua kesalahan kalian! Kenapa kalian tidak mau mengakuinya?" seru yang lain. Keributan nyaris terjadi. Para petugas yang siaga berjaga segera menenangkan mereka.
***
Mata Luca terpaku di layar televisi. Seulas senyum kecil muncul di bibirnya. Sesaat kemudian, Reina keluar dari dapur sembari membawa sepiring pisang goreng. Gadis manis itu tertegun melihat raut sumringah di wajah kakaknya.
"Ada apa, Kak?" tanyanya seraya menatap wajah lelaki tersebut.
"Hal yang menyenangkan telah terjadi. Kita seharusnya merayakan peristiwa ini."
Kata-kata tersebut membuat Reina terdiam. Ia terus melihat ke arah kakaknya. Rasa cemas menggelayut tanpa bisa ditepis lagi. Selalu seperti ini, dengan berlalunya waktu penyakit yang diderita orang yang ia sayang tersebut semakin parah.
Luca menoleh pada adiknya dan menatap tajam.
"Kenapa kamu melihatku seperti itu?"
Reina tak menjawab. Gadis muda itu malah mengalihkan perhatiannya pada layar televisi di depan mereka. Berita tentang kematian Pak Jaya masih disiarkan di layar. Pria yang duduk di sampingnya bergegas bangkit berdiri.
"Kau mau ke mana?" tanya gadis itu.
"Aku ingin membeli sesuatu. Bukankah ini patut untuk dirayakan?"
Pria itu sudah berjalan menuju pintu, saat Raina kembali memanggilnya.
"Kak, apa kau yang melakukan semua ini?"
Luca berbalik sembari menatap gadis itu, tapi dia tidak menjawab. Hanya seulas senyum miring menghias wajah tampan nan rupawan.
Raina diam tertegun dan membiarkan lelaki itu melangkah pergi, tapi rasa cemas masih menggelayut di hatinya. Apa mungkin memang kakaknya yang membunuh Pak Jaya? Hati kecilnya yakin Luca bisa melakukan hal mengerikan karena dendam yang selama ini dipendam dalam hati.
Luca melangkah ringan menuju ke sebuah minimarket. Siulan riang terdengar darinya. Hari ini memang sangat menyenangkan.