Pada jam 1 siang, Kim Daehyun dan aku duduk berhadapan di sebuah restoran mewah di tengah kota. Lokasinya cukup jauh dari perusahaan, dan sepertinya Kim Daehyun tidak keberatan sama sekali.
Awalnya, kupikir ia memintaku masuk ke ruangannya untuk sesuatu yang penting, dan nyatanya, ia hanya ingin memastikan bahwa aku adalah Park Chunghee yang iakenal. Jadi, setelah berbicara sesaat dan karena pekerjaan, aku meninggalkan ruangannya sesegera mungkin.
Sebenarnya, aku pergi dengan perasaan kesal karena ia memintaku untuk datang ke kantornya tanpa alasan yang jelas, tetapi aku hanya tidak ingin mengatakan apa-apa dan kembali bekerja setelah itu.
Saat istirahat, Daehyun mengajakku makan siang bersama, dengan alasan merayakan pertemuan kami setelah sekian tahun. Aku mengambil menu dan melihat deretan harga fantastis pada menu, berpikir bahwa ia telah membawaku ke restoran bintang lima di kota ini.
"Chunghee, wajahmu tidak berubah sama sekali. Masih seimut sebelumnya." Sambil berkata, Kim Daehyun menatapku dengan mata sensual yang bisa membuat lawan jenis tergila-gila.
Aku tersenyum kaku. Kata-kata itu seperti sanjungan untuk leluconnya yang menyebalkan, terdengar tidak berguna.
Bagaimana bisa tidak berubah? Sekarang, aku telah berumur tiga puluh dua tahun, sedangkan pertemuan terakhir kami sejak aku masih berumur delapan tahun.
Pertemuan ini membuatku merasa sedikit tidak nyaman selain rasa senang. Daehyun yang tampak berbeda dari sebelumnya membuatku merasa sedang berbicara dengan orang lain.
Karena sejak tadi aku hanya terdiam, jadi ia bertanya, "Chunghee, kau terlihat pucat, apa kau sakit?" Kim Daehyun bertanya dengan cemas.
Aku menatapnya dengan heran. "Hmm? Aku baik-baik saja."
"Tapi kau terlihat pucat." Ada kekhawatiran di matanya saat ia menatapku. "Aku melihatmu sejak di ruanganku tadi. Kau yakin baik-baik saja? Jangan biarkan dirimu pingsan, jika tidak, maka aku harus memberimu napas buatan. Aku tidak akan ragu untuk melakukannya."
Kim Daehyun sengaja membuat wajahnya lebih serius, dan aku bisa melihat bagaimana ia melakukan kepura-puraan itu hanya untuk membuat leluconnya terdengar serius. Tapi, itu menyebalkan.
"Apa yang kau katakan? Apa kau benar-benar ingin aku sakit? Kau ini tidak berperasaan."
Mendengar kata-kata itu, Kim Daehyun terkekeh. "Aku tidak serius. Aku hanya bercanda."
Aku hanya tersenyum. Sebenarnya, setelah apa yang aku alami selama beberapa tahun terakhir ini, membuat selera humorku semakin buruk. Semua kebohongan yang aku dapatkan memungkinkanku untuk menyembunyikan perasaanku sebagaimana Donghae menyembunyikan keburukannya.
Setelah pertengkaran besar kami sekitar tiga tahun lalu, di mana ia benar-benar kehilangan akal sehatnya saat itu, aku mencoba untuk patuh sekali lagi hingga saat ini. Tetapi, ia malah memanfaatkan kemurahan hatiku, bahkan selalu melakukannya.
Aku seperti seorang idiot yang terus berharap bahwa ia bisa kembali menjadi seseorang yang aku cintai untuk pertama kalinya di perguruan tinggi dulu. Tapi, apa yang harus aku lakukan? Jika aku meninggalkannya, aku tidak akan memiliki keluarga lagi dan akan membusuk sendirian.
"Chunghee, seperti yang kuduga, kau terlihat tidak sehat hari ini." Kata-kata Kim Daehyun membawaku dari kesuraman.
Aku pun mencoba untuk fokus dan mencoba memikirkannya baik-baik.
Setelah beberapa detik, sekarang aku mengerti. Aku kurang tidur karena banyak hal yang membuatku sulit memejamkan mata di hari-hari sebelumnya.
Tak lama kemudian, makanan kami pun diantarkan. Aku segera mengambil garpu dan sendok dan mencicipinya. Rasanya lumayan enak, sesuai dengan harga yang tertera.
Di tengah makan siang kami, aku memikirkan Lee Donghae. Dari lubuk hatiku, aku berharap Donghae-lah yang saat ini bersamaku saat ini. Aku ingin kami menjadi apa adanya sebelum ia sesibuk sekarang dan berubah.
Namun, karena aku bersama orang lain saat ini, aku mencoba mengalihkan pikiranku dengan membicarakan mengenai apa yang seharusnya aku keluhkan.
"Daehyun, soal asisten itu ...."
"Aku tidak peduli! Kau harus menjadi asistenku." Kim Daehyun menjawab dengan tegas.
"Tapi ..."
Aku baru saja hendak mengeluh, tapi Kim Daehyun segera menyela sebelum aku bisa mengatakan apa pun, "Chunghee, kumohon ...."
Harapan di matanya seperti sedang memaksaku. Itu licik. Aku seakan-akan hanya dihadapkan pada satu pilihan, jadi aku harus menyetujuinya.
Jika bukan karena aku mengenalnya cukup dekat, aku mungkin sudah mengundurkan diri.
Ia tersenyum. Kegembiraan muncul di wajahnya sekaligus dan keindahannya memancarkan kegembiraan di matanya.
Aku menghela napas berat dan segera mengganti topik pembicaraan. "Daehyun, kau pindah ke mana saat itu? Kau tahu, aku menangis saat tau kau meninggalkan kota."
Daehyun pun seketika tertawa begitu ia mendengar kata-kata itu. Ia mengatakan bahwa apa yang aku anggap serius itu adalah sesuatu yang berlebihan.
Ia terus tertawa sebelum mulai menceritakan secara ekspresif mengenai saat ia dan keluarganya meninggalkan Sokcho, dan aku juga menjadi pendengar yang baik untuknya.
Setelah makan siang, Daehyun memintaku untuk menghadiri sebuah pertemuan bersamanya. Namun, aku menolak dengan alasan masih banyak pekerjaan yang harus aku lakukan.
"Chunghee, ayolah. Tinggalkan pekerjaan itu." Kim Daehyun berbicara dengan sedikit memelas.
"Sudah kubilang aku belum siap hari ini," berhenti sejenak, aku mulai berpikir lalu kembali berbicara, "Minggu depan. Aku janji."
"Hah?! Aku bisa menunggu, tapi perkerjaan tidak," berpikir sejenak, ia pun melanjutkan, "Heh, oke, besok. Aku tidak mau tau alasan apa pun darimu. Mengerti?"
Mendengar keputusan itu, aku hanya bisa mengangguk. Meski masih terlalu cepat, keputusan itu telah mentolerir penolakanku. Ia lalu mengantarku ke perusahaan sebelum pergi ke pertemuan siang ini.
Aku bergegas ke ruanganku dan melanjutkan banyak pekerjaan di sana. Hingga sore hari, pekerjaanku itu belum juga aku selesaikan.
Aku meraih ponselku dan menatap layar. Donghae belum memberiku kabar apa pun.
Aku bermaksud untuk menghubunginya tetapi segera berubah pikiran karena khawatir akan mengganggu pekerjaannya, jadi aku memutuskan untuk hanya mengirim pesan kepadanya.