3
Dengan perasaan malas Aliya menemui Tasya untuk menyampaikan pesan Ibunya. Rasa enggan bertemu memenuhi pikirannya. Semua ia lakukan hanya karena amanah dari wanita yang melahirkannya.
"Kapan Ibu akan menyadari kekeliruannya ini!" keluh Aliya dan melangkah ke pintu utama rumah mewah kakak iparnya.
Tak lama setelah bersalam satu sosok muncul membukakan pintu dan membuat Aliya menyunggingkan senyum manisnya.
"Eh ... Non Aliya! Mau cari Ibu, Ya!"
Aliya menganggukkan kepalanya.
Pembantu tua itu segera mempersilahkan Aliya untuk masuk dan menunggu majikannya.
Aliya mengedarkan pandangannya keseliling sudut dalam rumah tersebut. Masih saja sama tak ada yang berubah. Kakak iparnya adalah salah satu wanita penyuka seni. Ia tak pernah membiarkan sedikitpun ruangannya berantakan.
"Aliya ....!" panggil satu suara di belakang gadis itu.
"Ada apa kamu datang kemari!" lanjut wanita muda itu sambil duduk manis memandang ke arah Aliya. Ia tak menyangka jika tamu sepagi ini adalah Adik iparnya.
"Aku hanya menyampaikan pesan dari Ibu! Beliau menginginkanmu untuk datang menemuinya!" ucap Aliya pelan.
Wanita itu tersenyum.
"Apa sekarang kamu jadi kacung Ibumu!"
"Kak Tasya ....!"
"Kacung atau bukan itu bukan urusanmu! Yang intinya aku hanya menyampaikan pesan itu!" imbuh Aliya dengan kemarahan yang di pendam. Tasya tak pernah berubah selalu pintar memancing emosi gadis itu.
"Itu sama saja, Bodoh!" kilah Tasya.
"Terserah Kakak saja! Aku tak ingin berdebat denganmu pagi ini!!" tandas Aliya lalu bersiap untuk pamit.
"Tunggu! Jangan terburu-buru, minuman dan camilannya belum tersedia! Aku masih rindu ngobrol denganmu!"
"Maaf, Kak! Aku harus ke kantor!" Aliya menolak halus permintaan kakak iparnya itu.
"Aku pergi dulu, Kak! Jangan lupa untuk datang, Ibu menunggu kedatanganmu!" pamit Aliya segera berlalu meninggalkan Tasya yang masih duduk termanggu.
Tasya menggelengkan kepalanya, sedari dulu Aliya tak pernah berubah. Selalu seperti itu, terkadang membuatnya kesal.
Tasya memijat kepalanya, setelah bertengkar hebat dengan Ahmar, kini pria itu jarang pulang ke rumah.
"Aku harus bisa membawanya pulang lagi! Aku tak ingin berpisah dengannya!" Iapun segera bersiap untuk memenuhi permintaan mertuanya.
"Pasti perempuan tua itu, akan mengajakku shoping lagi!" gumamnya dengan senyum simpul.
Beberapa menit kemudian Tasya keluar dengan mengendarai mobil pribadi untuk ke rumah mertuanya.
****
Setelah mengantar putrinya ke sekolah, Aini menyempatkan diri untuk singgah ke sebuah pasar. Ingatannya kembali mengenang saat pertemuan dengan Ahmar terjadi di pasar ini. Pertemuan yang akhirnya menyisakan sebuah duka hingga saat ini masih terasa.
"Ah, untuk apa aku mengingatnya! Semua telah berlalu, Ahmar sudah bahagia dengan wanita pilihan Ibunya!" lirih Aini dengan mengusap beningan kristal yang sempat menggenangi pinggiran kelopak matanya.
Dengan senyum yang dipaksakan ia segera masuk ke dalam pasar itu. Satu persatu sayuran telah memenuhi keranjang belanjaannya. Ia tak menyadari jika sedari tadi ada sepasang mata yang mengawasinya dengan perasaan penuh kebencian dan dendam.
"Jadi, kau telah kembali ke Kota ini!" ucap pemilik mata yang sejak tadi mengawasi gerak-gerik Aini.
"Tak akan aku biarkan, kamu merebut kebahagiaanku!" ucapnya lagi dan segera menggunakan kacamatanya lalu pergi meninggalkan tempat itu.
Aini masih sibuk berkutat dengan barang belanjaannya, ia tak merasa lelah meskipun dua keranjang membebani kedua tangannya.
"Kita akan makan besar hari ini!" kekehnya. Lalu mencari sebuah ojek untuk mengantarkan ia pulang.
*****
Sedang di kantor Ahmar masih sibuk dengan pekerjaannya, ia tak ingin semua masalah dalam hidupnya saat ini dapat mengganggu pekerjaan yang menyebabkan ia rugi besar. Namun lagi-lagi ia tak mampu menepis semua kegalauan yang melanda hatinya.
Belum lagi pertengkaran dengan Tasya kemarin sedikit menguras emosi. Ingin rasanya ia mengakhiri pernikahan sepihak itu. Tapi bagaimana dengan nasib Arya, putranya yang masih kecil itu. Anak itu pasti akan menderita bila mengetahui semua.
Ahmar memijat kepalanya yang semakin pening. Hidupnya benar-benar kacau saat ini.
"Apa aku salah, masih merindukannya dan berharap dapat hidup bersamanya!" Ahmar menangkupkan kedua tangannya ke wajah. Ia begitu gusar, ia tahu merindukan masa lalunya adalah sebuah hal yang salah karena saat ini ia sudah beristri.
"Andai dulu aku memperjuangkanmu! Mungkin kita tak akan terpisah saat ini!"
Ahmar semakin jauh meratapi hidupnya yang seakan tiada arti tanpa kehadiran Aini, wanita yang pernah mengisi hari-harinya dulu.