🌹🌹🌹
Sinta yang melihat wajah lesu suaminya semakin dibuat gelisah. Ingin bertanya namun ketakutannya lebih besar, ia hanya bisa menunggu sampai suaminya mau menceritakan sendiri.
"Maafkan aku, Sin!" ucap Rehan pelan sambil menangkupkan tangannya ke wajah.
"Ada apa, Mas? Kenapa harus meminta maaf!" Sinta mendekati suaminya dan mengelus lembut punggung Rehan.
"Aku dipecat dari kantor!" sendu Rehan dengan wajah putus asa.
"Ada masalah apa, Mas!" kejut Sinta tak menyangka suaminya di pecat dari pekerjaan yang selama ini membuatnya hidup bahagia tanpa kekurangan sesuatu apapun.
"Aku tidak tahu, Sin! Tiba-tiba kepala kantor memanggilku dan memberikan surat pemecatan ini! Aku tidak tahu apa kesalahan yang telah aku lakukan!"
"Kamu bisa menuntutnya, Mas! Bosmu tidak bisa melakukan semua ini,"
"Untuk apa, Sin! Sekalipun aku menang, tidak mungkin aku akan kerja kembali di kantor itu!" kilah Rehan dan meraih tangan Sinta.
"Aku mohon kamu mengerti, Ya! Aku akan berusaha cari pekerjaan lain!"
Sinta menarik nafas dalam, dan akhirnya mengangguk.
"Mungkin saat ini Allah sedang menguji kita, Mas! Jangan pernah mengeluh untuk semua beban ini!" lirih Sinta memberi penguatan pada suaminya.
Rehan merasa lega dan ia bersyukur memiliki istri seperti Sinta yang tak pernah banyak menuntut ini itu, bahkan Sinta adalah wanita yang selalu mendukung disetiap langkahnya.
"Terima kasih, Sayang!" Rehan memeluk lembut istrinya.
****
Aini segera kembali ke rumahnya, setelah seharian keliling untuk mencari kerjaan. Namun tak satupun ada lowongan. Ia memijat keningnya yang terasa begitu pening.
"Apa yang harus aku lakukan! Aku tak ingin merepotkan kak Sinta,"
Aini duduk merenung di teras rumah sambil melihat Ruhi dan Mila yang sedang bermain bersama.
"Ibu, jangan melamun! Nanti cantiknya hilang, loh!" ledek Ruhi dengan gaya lucunya. Tak urung membuat Aini tersenyum simpul.
"Siapa yang mengajarimu untuk pandai merayu," tanya Aini seraya mencubit lembut pipi anaknya.
Ruhi terkekeh mendengar pertanyaan ibunya.
"Ruhi belajar dari teman jahilnya, Tan!" seru Mila dari kejauhan.
"Benarkah?" Aini tersenyum seolah tak percaya.
"Maksudmu siapa, Kak!" dengkus Ruhi dengan tatapan menyelidik ke arah Mila.
"Kamu pura-pura lupa, Ya!" ledek Mila sambil tertawa cekikikan dan itu membuat Ruhi semakin memanyunkan bibirnya.
"Kalian membuat aku kesal!" sungut Ruhi lalu duduk memangku tangan.
Mila dan Aini semakin tertawa lebar.
"Anak Ibu ternyata pandai juga merajuk!" Aini berjalan mendekati putrinya lalu memeluk dengan penuh kasih sayang.
Ruhi tersenyum lalu membalas pelukan ibunya.
"Dasar manja!" cibir Mila
"Apaan sih, Kak!"
Mereka tertawa, semua yang terjadi di halaman rumah itu tak luput dari perhatian Rehan. Pria itu meremas dadanya yang tiba-tiba terasa sakit. Bagaimana jika anaknya tahu tentang keadaan saat ini yang melilitnya.
"Ayo kita temui mereka, Mas!'' ajak Sinta saat melihat suaminya hanya terdiam di depan pintu.
Rehan segera mengangguk mengiyakan.
"Wah kalian mainnya seru banget, Ya!"
Aini dan anak-anak tersenyum dan memberi tempat untuk Sinta duduk.
Aini melihat raut wajah kakaknya masih begitu nampak kesedihan, bahkan wajah cantik itu semakin terlihat muram. Perlahan Aini memegang lembut tangan Sinta. Ia tahu beban wanita di hadapannya ini begitu berat.
"Yang sabar ya, Kak! Percayalah semua akan ada hikmahnya!" ucap Aini lembut.
"Entahlah, Aini! Saat ini beban Kakak semakin bertambah,"
"Maksud, Kakak?" Aini mengerutkan keningnya.
Sinta menarik nafas panjang.
"Mas Rehan dipecat dari kantor, tanpa diberikan penjelasan dan uang pesangon!" lirih Sinta dengan air mata yang mulai menggenang.
Aini terkejut mendengar penuturan dari kakaknya. Ia mulai berpikir lagi, pasti ini ada hubungannya dengan ancaman dari mertuanya itu. Aini mulai berpikir keras, ia tak ingin semakin membuat keluarga Sinta jatuh terpuruk karenanya.
"Apa yang kau pikirkan, Aini?" Sinta menepuk punggung adiknya yang terlihat melamun.
"Aku baik-baik saja, Kak! Hanya aku rasa mungkin lebih baik aku tinggal di desa aja lagi!" putus Aini dengan mantap.
Sinta menatap adiknya tak percaya, ia tidak akan mengijinkan apa yang dipikirkan adiknya itu terjadi.
"Aku tak akan mengijinkanmu! Kita akan bangkit bersama, jangan pernah berpikir untuk lari!"
"Tapi, Kak! Aku tak ingin menjadi beban untukmu!"
"Tidak ada beban untukku, kita harus bangkit bersama, jangan pernah menyerah!" Sinta memeluk Aini, ia tak ingin kehilangan adik semata wayangnya itu. Selama ini Aini sudah berjuang sendiri untuk kehidupan pahitnya.