🌹🌹🌹
Keputusan Aini sudah bulat, ia tak ingin melanjutkan lagi kerjanya. Ia segera berberes dan meninggalkan tempat itu. Dengan berat hati pemilik kedai itu mengijinkan Aini untuk berhenti.
"Kenapa hidupku seperti ini, Tuhan! Baru juga dapat kerja sudah berhenti lagi!" keluh Aini
Aini melangkah pelan meninggalkan kedai.
Perlahan ia merenungi jalan hidup yang tak adil padanya. Dengan menggunakan sebuah ojek Aini tiba di rumah dan langsung di sambut oleh Ruhi dan Mila.
"Hore ... Ibu sudah pulang!" teriak Ruhi dengan girangnya.
Aini tersenyum dan segera memeluk kedua anak kecil itu.
"Ibu, aku menunggumu tadi, di sekolah!"
"Iya Tante, kita kelaparan deh!" Mila ikut mengiyakan ucapan Ruhi.
"Maafkan Ibu, Sayang! Terus yang menjemput kalian siapa! Maaf Tante lupa menyempatkan waktu!" sendu Aini dengan wajah sedi hnya dan memeluk kedua gadis cilik itu.
"Tadi ada om-om yang nganterin kita, Tante!"
"Iya, Bu! Om itu baik banget deh!"
"Om-om ...?" Aini mengerutkan keningnya. Siapa yang dimaksud dengan kedua anak ini. Tidak biasanya mereka mau diberi tumpangan oleh siapapun.
Kedua anak itu segera mengangguk,
"Kalian mengenalnya?" tanya Aini meyakinkan.
Mereka menggeleng
Aini segera mempererat pelukannya.
"Lain kali kalau tidak kenal sama seseorang, kalian jangan mau ya, diberi tumpangan! Ini kota besar, Sayang. Jangan sampai kalian diculik gimana?" tutur Aini begitu khawatir dan ketakutan menyelimuti hatinya.
"Om itu baik kok, Bu!" sanggah Ruhi
"Iya, Tante. Om itu kasihan melihat kita hanya tinggal berdua, terus itu om awalnya mau menjemput anaknya juga, tapi sudah pulang!" Mila menjelaskan keraguan Aini. Dan akhirnya wanita itu menarik nafas lega.
"Mbak Aini kok sudah pulang!" tegur Mbok Ijah saat melihat Aini sudah ada di rumah saat masih jam kerja.
Aini menoleh dan tersenyum
"Iya, Mbok! Aku kangen sama anak-anak dan kepikiran mereka!"
"Memangnya kenapa sih Mbak, harus kerja segala. Kan, di rumah jaga anak-anak malah lebih enak!" celetuk Mbok Ijah.
"Cari pengalaman, Mbok!" sahut Aini cepat dan ia segera meminta anak-anak untuk masuk ke dalam.
Aini segera membantu Mbok Ijah untuk memasak makan malam. Sebenarnya ia masih kepikiran tentang pertemuannya dengan Ahmar. Pria yang selama ini masih selalu di hatinya dan tak akan tergantikan.
"Mungkin kita memang tidak bersama, Mas! Biarlah semua tinggal kenangan!" lirih Aini dan segera menghapus air mata yang menggenang di pelupuk matanya.
"Ibu menangis?" tanya Ruhi tiba-tiba muncul di tempat itu dan memperhatikan wajah ibunya.
"Hah ... Menangis! Ibu hanya kelilipan, kok!" jawab Aini cepat tak ingin anaknya banyak tanya lagi.
Ruhi mempoutkan bibirnya, pasti wanita yang telah melahirkannya ini menyimpan sesuatu. Ruhi adalah anak yang cerdas dan cepat tanggap.
"Baiklah ... Jangan bersedih ya, Bu! Ruhi akan selalu ada untukmu!" ucap gadis cilik itu, Aini segera mencubit pipi anaknya yang terasa begitu lucu.
"Anak ibu sekarang makin pintar, Ya!"
"Iya dong, Bu! Anak ibu harus pintar!" kekeh Ruhi dengan senyum manis dan gaya manjanya.
Aini semakin gemas lihat kelakuan Ruhi.
"Terima kasih, Tuhan! Engkau telah memberikan putri secantik dan secerdas Ruhi!" ucap Aini dengan penuh rasa syukur dan segera memeluk putri semata wayangnya.
****
Ahmar tiba di kedai tempat kerja Aini dan menunggu wanita itu pulang, namun hingga petang hari Aini tak keluar-keluar juga.
"Apa mungkin Aini tidak pulang!" gumam Ahmar dengan perasaan gelisah.
"Akankah aku kehilangan kesempatan lagi!" desisnya dan memutuskan untuk pulang.
Dengan wajah kusut Ahmar tiba di rumah, ia segera melangkah masuk ke kamar. Namun tatapan Tasya begitu mengintimidasi.
"Baru pulang kamu, Mas!" tegur Tasya dengan nada ketusnya.
Ahmar hanya memandang sekilas tanpa menjawab pertanyaan Tasya.
"Mas ....!" panggil Tasya dengan nada tinggi.
Ahmar berhenti sesaat dan menunggu ucapan selanjutnya dari Tasya.
"Sebenarnya kamu anggap aku apa di rumah ini! Aku istri tapi tak kamu ajak bicara sedikitpun, aku ingin jadi wanita yang seutuhnya, Mas!" cerocos Tasya dengan kemarahan yang di tahan.
Ahmar tetap kukuh dengan diamnya. Tak ingin menyahut sedikitpun. Ia tatap sekali lagi Tasya dan segera melanjutkan langkahnya yang tertunda.
"Mas ....!" teriak Tasya. Membuat Arya yang sedang belajar segera mendatanginya.
"Ada apa, Bu! Mengapa sejak tadi ibu marah-marah terus!" cetus Arya dengan memberi tatapan tak mengerti.
"Diam kamu, Arya!" bentak Tasya dan membuat nyali anak itu menciut seketika.