ดาวน์โหลดแอป
6.66% Jane dan Batu Misteri / Chapter 2: Rencana Pemberangkatan

บท 2: Rencana Pemberangkatan

Tepat sekali seperti perkiraan Albert, kita sudah sampai di rumahnya sebelum petang.

Sejenak, aku begitu kagum melihat pemandangan ini yang begitu sejuk dan enak dipandang.

Masih kudengar kicauan burung dan suara serangga yang tentu tak banyak kudengar di tempatku.

Tempat ini masih bersih dan jauh dari keramaian.

Meskipun terlihat tenang, tapi aku tak melihat banyak rumah yang ada. Manusia yang berada di luar pun, hanya aku dan Albert saja sekarang.

"Ini rumahmu?" tanyaku sambil menunjuk satu rumah besar namun terlihat tua.

Dia tersenyum. "Iya. Sampai beberapa Minggu ke depan, ini rumahku."

"Oh jadi setelah itu kau akan pindah rumah lagi?"

"Iya."

"Karena pekerjaan orang tuamu?"

Albert hanya melihatku saja dan tak menjawab apa pun.

...

Saat Albert membuka pintu, aku bisa melihat rumahnya yang begitu luas sekali. Ornamen-ornamen yang ada di sini terlihat begitu antik dan klasik. Entah itu lukisan, meja, kursi dan lain-lain. Aku rasa ini adalah rumah yang paling bagus dan luas di antara rumah yang lain, walau jujur sebenarnya rumah ini tak terlalu terurus.

Mungkin karena orang tua Albert yang sibuk, dan Albert sendiri tak mampu membersihkan rumahnya yang luas ini.

"Maaf jika rumahku kotor dan tak sesuai ekspektasi mu." ucapnya kemudian sambil menaruh koperku.

"Tak masalah. Aku akan membantumu membereskan beberapa barang yang berantakan ini."

Dia tersenyum. "Terima kasih."

Saat sedang membereskan ruang tamu, entah kenapa aku merasa tertarik dengan jam tua yang tergantung di paling ujung ruangan. Ketika aku menghampirinya, jam tua itu sudah tak berfungsi. Debunya sangat tebal dan sulit untuk aku bersihkan bagian-bagian kecilnya.

"Unik sekali." aku mengangkat jam tua itu dan memperhatikan setiap detailnya. Aku rasa, baru pertama kali ini aku melihat jam yang sangat indah seperti ini. Jika di toko, aku menemukan jam yang sama seperti milik Albert, tentu aku akan membelinya sebagai koleksi.

Jam ini terlihat sederhana. Dia berwarna coklat tua dan emas, serta ornamen ornamen klasiknya yang semakin membuatku terpukau.

"Wah. Kau rajin sekali, Kevin." Albert datang kepadaku lalu duduk di bawah tangga.

"Ini. Aku sangat tertarik dengan jam ini."

"Jam butut itu?" Albert seakan tak percaya. "Itu sudah rusak dan tak bisa diperbaiki lagi."

"Aku tahu itu. Dari mana kau dapatkan?" aku merasa penasaran.

Dia meneguk susu sapi yang tinggal setengahnya. "Itu." Albert menunjuk sebuah rumah yang ada di depannya. "Pemberian dari tetanggaku."

"Kapan?"

"Dulu. Semenjak aku pindah kemari. Tapi waktu itu nyala."

"Terus rusak karena apa?"

"Aku juga kurang mengerti. Awalnya biasa saja. Namun saat malam tiba, aku dan mama mendengar ledakan kecil di bawah. Saat kita memeriksanya, jam ini tiba-tiba hancur tak beraturan."

Pantas saja aku tak melihat jarum jam ini. Rupanya, dia memang sudah hilang karena menurut Albert, hancurnya jam ini di luar nalar.

"Lalu kau berikan lagi pada tetanggamu?" tanyaku.

Dia menganggukkan kepalanya. "Tapi katanya tak apa. Simpan saja di sini. Jadi ya sudah."

Aku kembali meletakkan jam itu ke tempatnya. Sesaat, aku melihat langit luar yang ternyata sudah gelap.

Segera aku pergi ke kamar mandi dan sembahyang bersama Albert.

Jika boleh jujur, aku memang merasakan hawa yang tak enak ketika pertama kali masuk ke rumah Albert. Tak tahu ada apa di sini, tapi bulu kudukku seringkali meremang sendiri padahal tak ada apa-apa.

Lagipula kalau aku jadi Albert, aku tak akan berani tinggal di rumah ini sendirian, terlepas dari rumahnya yang begitu luas.

Namun bagiku, Albert adalah anak yang sangat pemberani. Aku akui jika aku kalau jauh dengannya.

Dia sudah biasa tidur dengan kamar gelap, ataupun tinggal di rumah dengan cahaya remang-remang.

Hebat sekali dia.

Sudah biasa ditinggal orang tua, jadi dia menganggap rumahnya ini sebagai sahabatnya sendiri.

"Kevin, sejak tadi aku melihat wajah kau tak tenang." setelah selesai sembahyang, Albert berujar. "Ada apa?"

Aku sedikit ragu. "Tak apa."

Dia menepuk pundakku. "Kau tak usah takut. Nanti juga kau akan terbiasa."

"Maksud kau?"

Albert diam.

"Aku-"

"Bukannya tadi kau bawa ayam goreng?" Albert seolah-olah mengalihkan perhatianku. "Bagaimana kalau kita makan sekarang?"

Aku rasa, kali ini dia enggan menceritakannya dengan cepat.

Tanpa perlu memaksa, aku mengangguk dan turun ke bawah bersama Albert untuk makan malam.

...

"Tunggu! Mengapa ayamnya tersisa sedikit lagi?" aku merasa heran saat kubuka toples itu, ayam yang tadi kubawa tersisa dua lagi. Padahal aku sangat yakin, tadi mama membawanya banyak sekali.

"Mana?" Albert mendatangiku.

Aku menunjukannya. "Apa kau memakannya?"

Dia menggelengkan kepala.

Aneh.

Kuperiksa tempat sampah dan bawah meja, tak kutemukan satupun tulang bekas ayam ini.

Hilang kemana sebagian ayam itu?

"Kok bisa hilang?" antara kesal dicampur heran, aku terus menanyakannya berulang-ulang.

Bukan apa-apa. Ayam ini adalah kesukaanku. Seharusnya besok aku bisa memakannya lagi, tapi ternyata hanya bisa untuk makan malam ini saja.

"Maafkan aku, Kevin." Albert mengambil kotak itu. "Aku lupa. Seharusnya tadi aku tak menyimpan kotak ini di sini."

"Ada apa memangnya? Ini kan meja makan, untuk menyimpan makanan."

Albert pergi dan duduk di sofa ruang tamu. "Kau tak akan mengerti."

"Baiklah." tak mau banyak berfikir, aku mengambil dua piring dan menyantap sisa ayam itu bersama Albert.

Dia tampak lahap dan begitu senang saat memakan ayam dariku.

"Masakan mama kau tak pernah berubah. Dari dulu, rasanya selalu sama." Albert tertawa.

"Benar sekali."

Sambil makan, aku memperhatikan setiap sudut ruangan yang belum sepenuhnya aku lihat. Ada beberapa ruangan yang tak terurus dan terlihat lembab dan kotor.

Beberapa ruangan itu tampak gelap, tak ada lampu. Ada sebagian yang memakai lampu, tapi lampunya berwarna kuning hingga tak terang.

Sesekali merasa ada sesuatu yang memperhatikan kami dari salah satu ruangan kosong itu, tapi aku berusaha tak tahu apa-apa.

"Rumah sebesar ini, apa kau tak memiliki niat untuk menyewa pembantu?" tanyaku memecah keheningan.

"Sudah sering." Albert menyeru dengan cepat. "Tapi selalu tak betah. Baru satu Minggu atau dua Minggu, bahkan waktu itu baru dua hari, sudah minta pulang. Tak ada yang bertahan lama. Waktu itu pernah, tapi hanya satu bulan."

"Apa kau tak bertanya pada tetanggamu, sebelum kau tinggal di sini, rumah ini milik siapa?"

"Milik tetangga yang memberiku jam itu, Kevin."

Aku membulatkan mata. "Oh begitu. Apa dia tak bercerita apa pun?"

Albert menggelengkan kepala. "Kerap kali aku melihat sikapnya yang aneh, tapi aku tak peduli."

"Kau berani sekali."

Albert melihat kanan dan kiri seolah sedang memastikan. "Justru semenjak tinggal di sini, aku menjadi penakut." ujarnya berbisik. "Dulu sebelum kemari, aku terbiasa diam di rumah tanpa ditemani siapapun ketika orang tua aku pergi ke kota. Aku tak betah di sini. Maka dari itu saat orang tua berencana untuk pergi, aku menghubungimu untuk menemaniku di sini."

"Mengapa kau tak pindah ke tempat yang lebih dekat dengan pekerjaan orang tuamu saja? Ini dekat hutan. Sangat misterius."

"Dulu-"

Tok tok tokk!!!

...


ความคิดของผู้สร้าง
SitiMaisyaroh2_ SitiMaisyaroh2_

Haii. ini cerita baruku dengan genre berbeda yang tentunya jauh lebih fresh dan menegangkan.

jangan lupa comment, share dan simpan yaa ke perpustakaan kalian. terima kasihh(:

next chapter
Load failed, please RETRY

สถานะพลังงานรายสัปดาห์

Rank -- การจัดอันดับด้วยพลัง
Stone -- หินพลัง

ป้ายปลดล็อกตอน

สารบัญ

ตัวเลือกแสดง

พื้นหลัง

แบบอักษร

ขนาด

ความคิดเห็นต่อตอน

เขียนรีวิว สถานะการอ่าน: C2
ไม่สามารถโพสต์ได้ กรุณาลองใหม่อีกครั้ง
  • คุณภาพงานเขียน
  • ความเสถียรของการอัปเดต
  • การดำเนินเรื่อง
  • กาสร้างตัวละคร
  • พื้นหลังโลก

คะแนนรวม 0.0

รีวิวโพสต์สําเร็จ! อ่านรีวิวเพิ่มเติม
โหวตด้วย Power Stone
Rank NO.-- การจัดอันดับพลัง
Stone -- หินพลัง
รายงานเนื้อหาที่ไม่เหมาะสม
เคล็ดลับข้อผิดพลาด

รายงานการล่วงละเมิด

ความคิดเห็นย่อหน้า

เข้า สู่ ระบบ