Harimau itu mendekati Faruq, bersiap untuk menerkamnya. Faruq gemetar, dia memejamkan matanya menunggu terjadinya sesuatu.
"Tamatlah riwayatku hari ini," desis Faruq. "Mak, ampuni anakmu," ratap Faruq lagi.
Faruq membuka matanya sedikit, mengintip posisi harimau itu berada. Tubuhnya sudah basah oleh keringat yang membanjir. Tidak ada jalan baginya untuk melarikan diri. Harimau itu berdiri tepat di mulut goa.
"Uk uk uk uk ... ek ek ek ek." Onet bersuara dengan gelisah. Ia melirik ke kiri dan kanan sambil menggaruk-garuk kepalanya. Sementara Galuh mengangkat kepalanya, seperti Onet ia juga melihat kiri-kanan dengan gelisah.
Harimau itu melangkah semakin dekat, tatapannya masih menyala-nyala. Faruq menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Badannya menggeletar, pemuda itu merasa inilah akhir hidupnya.
Harimau itu semakin mendekat, lalu menggesek-gesek bulunya ke badan Faruq. Menjilati tangan Faruq, kemudian lanjut menjilat muka Faruq.
"Jangan makan diriku, badanku tidak enak rasanya pahit." Wisaka memohon belas kasihan.
Matanya terpejam semakin rapat dan mengeluarkan air mata. Kedua tangan bersedekap di atas dada. Namun, harimau itu tidak menjauh, malah semakin dekat.
"Gerrrh." Suara harimau memenuhi ruangan, terdengar semakin menakutkan karena gemanya membuat suaranya semakin kencang.
"Tolong, aku masih ingin hidup." Suara Faruq bergetar, badannya lemas karena ketakutan. Kedua tangannya bergerak ke atas dan ke bawah memohon-mohon. Tidak lama kemudian dia kehilangan kesadarannya, Faruq pingsan, badannya ambruk ke lantai goa.
Onet dengan segera melompat ke arah Faruq. Ia bersuara ak uk ak uk, tangannya menepuk-nepuk pipi Faruq. Harimau itu kemudian duduk sambil memandangi Faruq. Lama sekali Faruq tak juga sadar akhirnya harimau itu menjilati hidung Faruq. Faruq menggeliatkan badan.
"Apa yang kau lakukan!" teriaknya.
Demi melihat harimau begitu dekat dengannya. Faruq kemudian memeriksa seluruh bagian tubuhnya, takutnya ada yang cidera dimakan harimau, tapi semuanya utuh. Tiba-tiba Faruq teringat kejadian dulu di hutan Sancang.
"Kau ... apakah kau penghuni tongkatku?" tanya Faruq ragu-ragu.
Harimau itu menggesek-gesek bulunya ke betis Faruq. Faruq meraihnya, kemudian memeluknya. "Mengapa tidak bilang dari tadi," kata Faruq gembira. Dia sampai lupa kalau binatang tidak bisa bicara.
Sementara Wisaka masih tetap duduk bersila. Ini adalah malam ke-dua bersemedi. Duduk bergeming tanpa menghiraukan apa pun. Faruq dan binatang-binatang peliharaan itu berjaga tak jauh darinya. Namun, akhirnya mereka tidak kuat melawan raja kantuk.
Malam semakin larut, bunyi burung hantu terdengar di kejauhan. Lolongan serigala sekali-kali terdengar dari atas goa. Tidak lama setelah itu terdengar suara mendesis di mulut goa. Nampak ular piton melata di lantai goa. Lidahnya menjulur keluar masuk. Matanya semerah biji saga.
Ular itu merayap mendekati Wisaka, lidahnya menjilati tangan Wisaka. Piton itu mulai melingkari pinggang Wisaka. Perlahan-lahan membelit, semakin lama semakin ketat. Nampak Wisaka sudah tergulung, hanya kepalanya yang masih terlihat.
Wisaka mulai merasakan sesak, tulang belulangnya berderak seiring ular itu mengetatkan lilitannya ke tubuh Wisaka. Kepala ular tepat berada di atas kepala Wisaka. Membuka mulutnya lebar-lebar siap mencaplok Wisaka dan menelannya bulat-bulat. Galuh terbangun, ia memburu ular tersebut. Suara gaduh berhasil membangunkan Faruq dan Onet.
"Lepaskan dia! Ayo Galuh, tancapkan tandukmu!" seru Faruq.
Onet ikut melompat ke tubuh ular, ia mencakar-cakarkan kukunya ke segala arah di tubuh ular. Galuh berusaha menyeruduk dengan tanduknya ke arah perut ular. Usaha mereka berhasil mengendurkan belitan piton itu. Namun, tubuh Wisaka belum sepenuhnya terbebas dari ular tersebut.
"Hadapi tongkatku, ular keparat! Mengapa kau mengganggu Kakang Wisaka, pergi sana!" teriak Faruq.
Faruq menyodokkan tongkatnya ke arah ular. Ular itu menggeliat diserang dari berbagai arah. Galuh mengambil ancang-ancang mau menyerang kembali. Ia mencakar-cakarkan kukunya di lantai goa, kemudian melesat mengarah ke perut ular.
Galuh berhasil menancapkan tanduknya ke perut ular. Faruq cepat memukul kepala ular dengan tongkatnya. Ular tidak berkutik, Galuh menarik ular tersebut dari tubuh Wisaka. Terlihat ular bergelantung di tanduknya, meronta-ronta, berusaha membelit badan Galuh. Namun, Faruq dengan tongkatnya dapat menghalaunya dari badan Galuh.
Galuh membanting tubuh ular ke batu-batu runcing. Darah muncrat dari kepala ular yang pecah. Asap tipis muncul seiring lenyapnya ular dari hadapan mereka.
"Dasar mahluk jadi-jadian, mengganggu tidur saja!" Faruq berteriak.
Keadaan goa semakin temaram karena api unggun tinggal menyisakan baranya saja. Faruq melihat kiri-kanan, rupanya kayu bakar sudah habis, akan tetapi Faruq teringat masih ada sisa kayu bakar di luar goa.
"Tunggulah di sini, aku akan mengambil sisa kayu bakar," kata Faruq kepada Onet dan Galuh.
Faruq berjalan keluar goa. Sesampainya di luar tercium sesuatu yang sepertinya ia kenali. Ada selendang tersampir di cabang pohon.
"Oh, rupanya kau mau mempermainkan aku lagi, Nyai!" seru Faruq. Faruq meraih selendang itu, tetapi belum sempat dia meraihnya, selendang itu tertarik ke atas. "Aku tidak tertarik bermain-main lagi dengan selendangmu, wahai perempuan jadi-jadian!"
"Hihihi hihihi hihihi hihihi." Kuntilanak itu tertawa cekikikan.
Faruq tidak menghiraukan suara tawa itu, walau tak urung bulu kuduknya berdiri. Secepatnya dia beranjak ke arah layu bakar. Namun, saat tangannya akan meraih kayu bakar tersebut, satu kain putih menggulung kayu bakar, kemudian mengangkatnya.
"Jangan main-main, Kunti!" Faruq berteriak marah merasa dipermainkan.
Kayu bakar yang sudah terangkat itu melesat dengan sendirinya dalam gulungan selendang yang semakin panjang. Ajaib, kayu bakar itu sudah teronggok di lantai goa.
Faruq melongo melihatnya. Pemuda itu malu dengan prasangkanya sendiri yang salah, menyangka kuntilanak itu mau mempermainkan dirinya lagi seperti dulu.
"Maafkan aku, Nyi Kunti." Dengan tulus Faruq minta maaf.
" Hihihi hihihi hihihi hihihi hihihi." Kuntilanak hanya tertawa cekikikan.
Cepat-cepat Faruq masuk kembali, kemudian menambahkan kayu bakar di atas bara yang hampir padam. Api kembali berkobar, suasana kembali terang. Faruq, Onet dan Galuh dengan posisinya masing-masing melingkari api unggun itu. Mereka menjaga tubuh kasar Wisaka.
Sementara itu, kelembutannya atau alam bawah sadar Wisaka sedang berkelana di suatu tempat. Wisaka melihat dirinya sendiri --seolah-olah melihat film sedang duduk di batu di pinggir sungai yang mengalir airnya gemercik. Seorang kakek berdiri di depannya. Kakek itu sesekali membenarkan letak tangan Wisaka yang salah posisi. Kakek itu adalah Eyang Astamaya yang sedang mengajarkan Wisaka jurus Matahari Terbenam.
"Silangkan tanganmu!" suruh Eyang Astamaya.
Wisaka menyilangkan tangannya di atas dada. Dia menuruti segala perintah Eyang Astamaya tanpa banyak bertanya.
"Sedekapkan tanganmu! Baca ajiannya!"
Wisaka merapalkan ajian yang dimaksud Eyang Astamaya. Asap tipis keluar dari sela-sela telapak tangan Wisaka. Hari berubah seperti senja dengan rona lembayung berwarna jingga. Tangan Wisaka berubah seperti warna api.
Batu besar di pinggir sungai adalah targetnya. Eyang Astamaya bersiap memberi isyarat kepada Wisaka. Wisaka berkonsentrasi penuh, menyalurkan seluruh tenaga dalam di kedua tangannya.
"Dengarkan perintahku, begitu hitungan ketiga, hantamkan!" perintah gurunya itu. "Satu ... dua ... ti--."
"Hentikan! Berani-beraninya kau menurunkan ilmu tanpa izinku!" Seorang nenek dengan rambut putih yang disanggul cepol memotong aba-aba Eyang Astamaya.
"Dewi Kematian kau kau ... !" seru guru Wisaka –Astamaya gugup.