"Sialan, kau!" seru Wisaka kepada Faruq.
"Ahahaha ... hahaha." Faruq tertawa sambil menunjuk kuntilanak.
Makhluk itu rupanya terganggu dengan kentut Faruq yang bau busuk. Ia melesat jauh terbang ke pohon lainnya.
"Rupanya kamu takut dengan bom dari bokongku, ya, hahaha ... hahaha." Faruq berkata sambil tertawa.
Hep. Tawa Faruq terhenti saat sesuatu memasuki mulutnya.
"Puah, apa ini?!" seru Faruq sambil melepehkan sesuatu dari mulutnya.
"Uk uk uk uk uk." Onet tertawa melihat tingkah Faruq.
"Sialan, buah apa ini, pahit sekali ... oh ternyata buah mahoni," kata Faruq. Tangannya menangkap benda yang beterbangan di sekitarnya.
Rupanya kuntilanak itu memecahkan buah mahoni dan menghambur-hamburkan isinya yang seperti baling-baling.
"Hahaha ... rasain, Faruq!" seru Wisaka. Wisaka mengebutkan selendang mengusir baling-baling pahit tersebut.
Sosok putih itu cukup kerepotan dengan serangan balik dari Wisaka. Baling-baling mahoni itu berbalik arah berputar cepat ke arahnya.
"Aaah, sekarang rasakan! Senjata makan tuan ini namanya, Nyai!" teriak Faruq sambil menggosok-gosok telapak tangannya, tanda senang. Napasnya memburu dengan perut yang bergoyang-goyang.
"Jangan senang dulu, Faruq, lihat itu!" seru Wisaka sambil menunjuk perempuan itu.
Kembali perempuan itu memecahkan buah mahoni, kemudian menghamburkannya lagi. Ia berpindah-pindah tempat, menghilang kemudian muncul di tempat lain sambil tertawa cekikikan.
"Hihihi hihihi ... hihihi hihihi ... hihihi. Kembalikan selendangku!" Nada suara dingin menggema membangkitkan bulu kuduk.
Biji mahoni beterbangan di sekitar Wisaka dan Faruq. Wisaka menghindarinya dengan mengebutkan selendang. Faruq mengambil tongkat dan memutarnya. Mereka berhasil menghalau serangan kuntilanak tersebut.
"Nyi Kunti, masih melawan juga, ya? Siapa suruh kamu menggoda aku, jadi terima nasib saja, kalau sekarang dipermainkan oleh kami," kata Faruq. "Sekarang giliran aku menggoda kamu!" seru Faruq lagi sambil memutar-mutar tongkat.
"Ciaaat!" Faruq melempar tongkat ke arah perempuan itu, kuntilanak terbang tetapi dasternya tersangkut pada dahan yang runcing.
"Breeet." Terdengar bunyi kain robek.
Faruq menangkap tongkatnya yang berputar balik, lantas tertawa terbahak-bahak, melihat daster kuntilanak yang robek.
"Ahaha ... hahaha, robek bajumu, Nyai, awas aurat kelihatan," ejek Faruq.
Wisaka masih memegang selendang itu. Tiba-tiba terdengar seperti bunyi peluit yang ditiup dengan keras, memecah kesunyian malam. Kuntilanak terbang ke dahan yang lebih tinggi, kemudian duduk menyembunyikan dasternya yang sobek.
Sesosok putih yang lain melayang, lalu berdiri di dahan pohon. Ia menatap tajam ke arah Wisaka dan Faruq. Terlihat kuntilanak yang tadi seperti tengah berbicara dengan kuntilanak yang baru. Entah apa yang mereka bisikkan.
"Ngadu ... ngadu, minta bantuan, ya?" tanya Faruq tengil.
"Faruq!" tegur Wisaka keras. Pemuda itu tidak suka kalau Faruq mengejek sosok hantu tersebut.
"Habis, salah sendiri kan, siapa suruh mereka menjahili manusia," kata Faruq sambil menggaruk kepalanya. "Aku masih kesel, Kang," sambungnya lagi.
Faruq kesal karena kuntilanak itu sudah mempermainkannya. Dia bangun dari tidurnya karena harum selendang. Dikiranya perempuan cantik yang tertarik kepadanya, eh tahunya manusia jadi-jadian. Dasar Faruqnya saja kegatelan.
"Kamu juga gak sadar kalau ini di tengah hutan. Mana ada perempuan datang ke hutan malam-malam, kalau bukan kuntilanak," jelas Wisaka.
"Maafkan aku, Kakang, aku tergoda dengan harumnya selendang, tahunya ia seorang kuntilanak, " kata Faruq malu-malu.
Kuntilanak yang baru datang melemparkan selendang ke arah mereka berdua. Wisaka menyambutnya dengan mengebutkan selendang di tangannya. Selendang bertemu dan saling bertaut. Seperti tarik tambang, Wisaka dan kuntilanak saling menarik.
"Tarik, Kang ... lebih kuat!" seru Faruq memberi semangat.
Setelah cukup lama tarik-menarik. Tiba-tiba selendang itu terlepas tautannya. Wisaka terjengkang mundur hampir saja terjatuh, cepat-cepat ia memperkokoh kuda-kudanya.
Kuntilanak pun seperti itu. Nampak ia hampir terjatuh dari pohon, tetapi secepatnya ia melayang, kemudian duduk di cabang pohon. Tangan bersedekap.
Aroma mistis terlihat saat tiba-tiba daun-daunan bergerak seperti ada angin kencang. Daun kering beterbangan mengandung tenaga yang mematikan. Ujung dan sisinya berubah setajam pisau. Tergores sedikit saja akan merobek kulit dan mengalirkan darah.
Rambut panjang kuntilanak nampak berkibar, membuat sosoknya nampak semakin menyeramkan. Bulan semakin condong ke sebelah barat, pertanda hari sudah jauh melewati puncaknya.
Daun-daun kering itu melesat menuju ke arah Wisaka dan Faruq. Wisaka berulang kali memakai selendang menepis serangan itu. Onet berlari ke balik batu besar. Wisaka tak menyangka kuntilanak itu mempunyai kekuatan begitu hebat. Mereka kewalahan.
"Sialan, Kang, dia lebih kuat dari yang tadi!" seru Faruq.
Wisaka tak menjawab, dia malah duduk bersila, tangannya mengambil tasbih pemberian Pak Amir. Merapalkan doa sapu jagat sambil memutar-mutar tasbih tersebut.
"Laa haula walla quwwata illa billah!" Wisaka melempar tasbih ke udara, tasbih itu berputar menghasilkan angin tandingan. Seperti sebuah tameng yang melindungi. Serangan dari kuntilanak itu tidak mencapai sasaran. Daun-daun itu luruh sesaat setelah menabrak angin dari tasbih Wisaka.
Wisaka masih tetap bersila dengan mata terpejam dan tangan bersedekap di dada. Mulutnya masih komat-kamit merapal doa. Dia mengalirkan tenaganya di kedua tangannya, kemudian membuat gerakan mendorong.
Angin kencang yang dihasilkan dorongan tangan Wisaka melesat ke arah kuntilanak. Kuntilanak terdorong hampir jatuh dari pohon. Cepat-cepat ia terbang, tawanya menggema membuat merinding yang mendengar.
"Hihihi ... hihihi ... hihihi."
Dahan tempat nangkring kuntilanak patah menimbulkan suara berderak cukup keras. Cukup kelabakan kuntilanak itu menghindar dari serbuan ranting dan daun-daun yang beterbangan. Nampak hantu itu semakin marah dan bersiap dengan serangan selanjutnya.
Kuntilanak pertama kini berdiri tanpa memedulikan bajunya yang robek. Mahluk itu kembali memecahkan buah mahoni dan melemparnya ke arah Faruq. Faruq yang tidak siap menerima serangan kelabakan.
Kulit tangannya tergores dan mengucurkan darah. Faruq cepat memutar tongkatnya. Menepis buah mahoni yang melesat cepat seperti anak panah. Sebagian ada yang patah terkena tongkat Faruq. Sebagian lagi menancap di batu besar yang banyak terdapat di kiri kanan tempat Faruq berdiri.
Onet semakin mengkeret di tempat persembunyiannya. Ia tidak berani menampakkan diri khawatir terkena buah mahoni yang sudah berubah bagaikan pisau dapur yang sangat tajam.
Wisaka melompat ke batu besar tempat Onet berlindung. Dia ingin memastikan Onet aman. Terlihat oleh Wisaka Onet seperti ingin menyampaikan sesuatu. Wisaka kemudian mendekati Onet.
"Uk uk uk uk uk ... uk uk uk uk ... ek ek ek ek ... eaaa ... ea." Onet menyeringai sambil menunjuk-nunjuk ke atas.
"Tidak usah," jawab Wisaka sambil menggeleng. Rupanya Wisaka mengerti kalau Onet menawarkan bantuan untuk memanggil bala tentaranya, pasukan kera.
Asap tipis muncul dari arah para kuntilanak. Wisaka menunggu kemungkinan serangan lagi. Lama tak terjadi apa-apa. Malah Wisaka melihat kuntilanak-kuntilanak itu bersiap pergi dari tempat tersebut.
"Tunggu!" seru Wisaka.
Mereka menoleh ke arah Wisaka dan mengurungkan niatnya. Tanpa berkata apa-apa mereka memandang Wisaka. Asap tipis masih menyelimuti tubuh mereka.
"Ini, ambillah!"
Kuntilanak yang bajunya robek bergeming. Dalam hatinya takut Wisaka mengelabuinya, kemudian menyerang tiba-tiba.
"Tidak usah takut, kalau kalian tidak menggangu kami, kami pun tidak menggangu kalian. Kita hidup berbeda alam, tidak usah saling mengganggu," kata Wisaka panjang lebar.
Sosok putih itu melayang mendekati Wisaka, bermaksud mengambil selendang miliknya. Namun, Wisaka tidak segera menyerahkannya. Dia malah menyembunyikan di belakang tubuhnya.
"Tidak begitu saja aku serahkan selendang milikmu, ada syaratnya yang harus kau lakukan, apakah kau sanggup?"