ดาวน์โหลดแอป
93.93% He's My Love Hero / Chapter 31: Melawan Preman

บท 31: Melawan Preman

"Gue belum hubungi Bima lagi." Susah sinyal jika terus berada di dalam ruangan tersebut.

"Pak, saya pamit keluar bentar boleh?"

"Oh iya Meysa, sekalian saya mau minta tolong antar ini ke gedung sebelah." Kepala sekolah menyerahkan sejumlah uang kepadanya.

"Tapi, Pak, saya gak mau turun. Cuma ke toilet bentar saja," jawabnya ingin menolak tapi tak enak hati.

"Kalau begitu setelah ke toilet, baru kamu antar. Saya minta tolong ini, masa kamu gak mau?" Lain halnya dengan ungkapan ini, yang bukan lagi permintaan tolong namanya, tapi perintah dari kepala sekolahnya.

"Iya Pak, siap."

"Saya boleh ikut, Pak?" Aslan menyahut langsung mendapat sorot mata yang cukup jelas untuk diartikan oleh semua yang ada di meja makan tersebut.

Meysa sungguh tak tahu jalan. Dia saja belum bisa mengingat jalan menuju ke lorong kamarnya. Saking banyaknya lorong dalam bentuk yang sama dia temui, sehingga cewek itu harus melihat beberapa nomor yang terpasang di depan pintu masing-masing kamar.

Cewek itu menyapa ramah satpam penjaga di depan. Ada banyak gedung bertingkat tinggi di sekitar hotel tersebut.

"Mana yang kepala sekolah maksud. Mungkin ini," tunjuknya pada sebuah gedung yang ukuran tingginya bisa menyamai dengan hotel tempatnya menginap.

Dia membuka sebuah kalimat yang bertuliskan nama seseorang, sekaligus nomor kamar. Rupanya itu adalah semacam hotel juga, tapi masih satu perusahaan karena melihat dari model setiap kamarnya yang tiada bedanya dengan tempatnya menginap.

"Permisi, ada yang bisa saya bantu?" Seorang satpam melihatnya kebingungan di luar, lantaran tiada orang yang bisa Meysa temui di sana.

"Kebetulan Pak, lagi cari kamar ini."

"Ada di lantai dua, mau saya antar?" Tawaran yang sangat menarik, tak mungkin ditolak oleh Meysa. Dengan senang hati, dia berjalan mengekori satpam tersebut.

"Ini tempatnya, saya tinggal, ya."

"Makasih, Pak." Meysa membaca sebuah kertas yang menempel pada pintu tersebut.

"Penghuni sedang tidak ada di tempat. Mohon menunggu sebentar, atau bisa hubungi nomor di bawah ini."

"Ini orang kayaknya profesional banget, saking sibuknya nih, sampai kurang kerjaan buat beginian." Terpaksa Meysa mengeluarkan ponselnya. Dengan kuota pas-pasan, dia paksa untuk menghubungi orang tersebut.

"Kayaknya habis ini, gue harus bikin surat terbuka yang ditujukan kepada kepala sekolah. Harusnya ada kuota gratis buat siswanya. Kesel banget kalau kayak gini, mana gak tahu lagi tempat belinya di mana kota orang," cetusnya sebelum memberanikan diri untuk menekan tombol panggilan.

Suara yang terdengar dari balik telepon sana, persis dengan suara wanita. Setidaknya bukan lelaki, jadi dia tak merasa malu jika salah nomor nantinya.

"Benar ini dengan Ibu Anisa?"

"Iya, saya sendiri. Ini siapa, ya?"

"Saya mau nganterin ini Bu, uang dari kepala sekolah saya. Bisa tolong diambil gak? Soalnya ini kabarnya dikunci terus ada tulisan suruh hubungi Ibu," jelasnya.

"Oh, saya lagi ada di luar. Gak bisa pulang sekarang karena urusan belum selesai. Kamu titipkan saja penjaga di sana bilang buat saya. Nanti pasti dikasih," jawabnya sungguh tak menghargai perjuangan Meysa kedengaran. Sejujurnya memang Meysa juga malas dengan semua ini. .

"Gitu ya, saya laksanakan sekarang, terima kasih, Bu ...."

"Tahu gini, tinggal kasih ke satpam yang tadi. Repot-repot naik tangga sampai lantai dua. Mana lift rusak!" cetusnya.

"Gini banget ujian orang baik!"

Antara kedua hotel tersebut dipisahkan oleh sebuah lorong yang sangat sepi, dan cukup lebar. Awalnya Meysa tak begitu peduli dengan gang tersebut, tapi karena mendengar suara wanita yang meminta tolong akhirnya dia menoleh dan masuk ke dalam lorong tersebut yang rupanya adalah sebuah jebakan yang sengaja dibuat oleh segerombolan penjahat yang memang sudah berpenghuni di tempat tersebut.

Saat tiba di tengah lorong, suara yang didengar olehnya kian menghilang dan yang muncul hanyalah tiga orang preman dengan tubuh kekar menghadang di depannya bahkan kini sampai mengepungnya hingga posisi cewek itu ada di tengah-tengah mereka.

"Ada cewek cantik nih, Bro." Beberapa godaaan sudah mulai terdengar, mengotori telinga Meysa.

"Masih muda banget, enak nih kalau dibuat main-main," sahut yang lain.

"Tapi, tunggu dulu deh, kayaknya dia bukan orang sini, benar gak? Asing banget wajahnya." Wajah mereka bertiga didekatkan untuk mengamati Meysa lebih jelas. Perlakuan itu tak diterima baik olehnya, karena sudah dianggap ini adalah sebuah penghinaan untuknya. Dengan kasar, Meysa langsung memukul wajah salah satunya hingga semuanya marah dan langsung emosi.

"Kita gak main kasar dari tadi. Tapi, kayaknya kamu yang memulainya. Serahkan semua barang-barang yang kamu punya, dan berikan ke kami," bentaknya memerintah.

"Kalau gue gak mau, kalian mau apa?"

"Bener-bener nantangin nih, anak. Serang!!!" Ketiganya maju, yang awalnya semua kalah ketika maju bersamaan rupanya mereka mampu membaca setiap gerakan Meysa hingga cewek itu tak berhasil mengalahnya orang-orang jahat tersebut.

Dia merengek minta dilepaskan, sayangnya tak ada yang mendengar. Saat satu pukulan hendak melayang ke arahnya, tiba-tiba bantuan datang dan menghajar habis mereka.

"Jangan berani-beraninya kalian, sentuh atau bahkan melukai cewek gue! Pergi atau kalian semua akan mati!" Wajah Aslan sangat menyeramkan malam itu, hingga semuanya merinding ketika menghadapinya.

"Bocah sok jagoan ya kayak gini, gak ada kapoknya. Giliran kena pukulan nanti nanges!!"

Tahu sendiri kalau Aslan adalah orang yang tidak pernah bisa mengontrol emosinya. Cowok itu menendang beberapa balik kayu yang bertebaran di tempat tersebut, melemparkan ke arah para preman. Sebagian dia gunakan sebagai senjata untuk menghajar habis orang-orang itu.

Setelah berhasil dikalahkan, baru mereka mau pergi. Tapi, mereka masih mengancam Aslan karena tidak terima dengan semua kekalahan ini. Aslan adalah satu-satunya orang yang berhasil membuat mereka lari dari Medan pertarungan yang dibuat sendiri. Ibarat kalah dikandang sendiri.

"Silahkan saja laporkan ke bos kalian. Kalau perlu suruh dia kemari sekarang juga buat menemui aku. Dengan senang hati akan aku terima tantangan darinya," ucapnya begitu sombong.

"Ayo, pergi!"

"Lan, gapapa? Itu pipi Lo berdarah." Meysa menyentuhnya dengan penuh kelembutan.

"Kayaknya badan gue, sudah mulai gak normal. Apalagi jantung gue, yang dipegang puli, kenapa malah jantung yang deg-degan. Kalau gini terus, lama-lama gue bisa pingsan ada di dekat Meysa," batinnya.

"Kita balik ke hotel ya, buat obati luka ini. Gue gak mau Lo sampai kenapa-napa," cemasnya.

"Halah, cuma luka kecil doang. Dulu gue pernah kena benda tajam, ketusuk malahan bagian sini." Aslan menunjuk perutnya yang memang masih terlihat bekas luka saat dibuka olehnya.

"Sehebat apapun Lo, tetap saja luka bisa infeksi. Jangan ngeyel, deh!"

"Iya, yang paling bawel. Perhatian banget kayaknya."

"Kepedean banget jadi orang, gue cuma sebagai ungkapan terima kasih karena udah ditolong!" cetus Meysa.

Bersambung ....


next chapter
Load failed, please RETRY

ป้ายปลดล็อกตอน

สารบัญ

ตัวเลือกแสดง

พื้นหลัง

แบบอักษร

ขนาด

ความคิดเห็นต่อตอน

เขียนรีวิว สถานะการอ่าน: C31
ไม่สามารถโพสต์ได้ กรุณาลองใหม่อีกครั้ง
  • คุณภาพงานเขียน
  • ความเสถียรของการอัปเดต
  • การดำเนินเรื่อง
  • กาสร้างตัวละคร
  • พื้นหลังโลก

คะแนนรวม 0.0

รีวิวโพสต์สําเร็จ! อ่านรีวิวเพิ่มเติม
รายงานเนื้อหาที่ไม่เหมาะสม
เคล็ดลับข้อผิดพลาด

รายงานการล่วงละเมิด

ความคิดเห็นย่อหน้า

เข้า สู่ ระบบ