Keduanya kembali dalam kondisi yang tidak baik-baik saja. Terutama Aslan, yang dipenuhi luka di wajah dan lengannya yang robek karena perlakuan kasar para preman tadi.
"Kalian ini kenapa? Pulang-pulang dalam keadaan seperti ini, ada apa tolong jelaskan!" Bu Rena sangat khawatir karena lukanya cukup parah.
"Tadi, ada preman yang ganggu saya, untung Aslan datang tepat waktu," jawab Meysa.
"Bapak sih, tak mengijinkan jagain Meysa sejak tadi. Untung saja bandel, langsung kabur diam-diam jadi sempat menyelamatkan dia," cetus Aslan.
Cowok itu memang sangat berani ketimbang yang lain. Baru kali ini, kepala sekolah menemui ada murid yang berani menyalahkan dirinya. Memang Aslan ini, tergolong manusia langka dan minim etika di sekolahnya.
Kepala sekolah itu berusaha untuk menguatkan diri, untuk menahan emosinya yang ingin membeludak sejak tadi.
"Sudah, bawa Aslan masuk ke kamarnya. Penting kalian berdua tidak kenapa-kenapa dan kamu ..., Aslan! Untuk hari ini istirahat saja, tak perlu mengikuti pelatihan. Biarkan Meysa yang ikut, kamu besok, istirahat di kamar sana," suruhnya.
"Gak bisa kayak gitu Pak, harusnya Meysa temani saya dong, kenapa kita dipisah kayak gini. Pokoknya saya mau bawa Meysa ke kamar, biar ada yang rawat." Tangannya sudah menggandeng pujaan hatinya, sayang dia salah sasaran untuk berbuat keras kepala.
Secara kasar, gandengan keduanya dipatahkan oleh Bu Rena dari belakang. Mereka seperti berbicara dengan mata batin. Kepala sekolah menarik tangan Meysa, sedangkan Bu Rena menghadapi Aslan yang super banyak tingkah hingga menguras banyak tenaganya.
"Cepat masuk kamar!"
"Bu, ini namanya pemaksaan. Ibu tau sendiri dong, saya paling tak bisa jauh dari Meysa! Saya bisa berbuat nekat loh, Bu!" protesnya.
"Silahkan saja. Saya tak peduli, penting masuk kamar, dan tunggu sampai saya kembali ambil obat merah untuk luka kamu," jawabnya mengunci cowok itu dari luar dan membawa kabur kuncinya.
"Sial! Gue gak suka diatur-atur kayak gini. Mendingan kabur aja, jangan panggil Aslan kalau gak ada sejuta cara dalam keadaan seperti ini," cetusnya.
Lelaki itu membuka paksa jendela, yang kelihatannya cukup susah. Lama berjuang, akhirnya usaha kini tak sia-sia, ditambah lagi selimut yang dia ambil dari atas ranjangnya untuk diikatkan ujungnya ke pembatas kamarnya di luar sana.
Setelah dicek kekuatannya kini cowok tersebut siap untuk terjun bebas ke bawah. Satpam juga tak ada yang berjaga di tempat tersebut. Keadaan seolah mendukung rencananya.
Dia melompat, berpegangan erat, untuk meluncur ke bawah.
Bughh!!
Tubuh sempat terbentur, tapi aman. Tak terlalu sakit, masih lebih menyakitkan jika dirinya jauh dari Meysa.
Aslan mengendap-endap masuk ke dalam mobil kepala sekolahnya, tepatnya di bagian belakang. Dalam mobil itu memang hanya ada Meysa saja dan kepala sekolah. Orang-orang yang lain, mengenakan mobil satunya dan juga tersisa beberapa di hotel.
"Akhirnya ketemu juga." Bu Rena keluar dari kamarny, setelah sepuluh menit lebih kisarannya, mencari-cari benda tersebut di dalam kamarnya. Kini niatnya untuk kembali ke kamar anak didiknya. Padahal dia sudah berniat dengan setulus hati untuk merawat Aslan. Tak tahu saja kelakuan anak itu, yang super menyebalkan.
Ceklek!!
DEG!!
Dengan sengaja dan penuh emosi. Bu Rena membanting apa yang ada di tangannya kini. Kekesalan yang tiada ujung dengan semua kelakuan Aslan yang membuat kepalanya ingin pecah.
"Aslan!!!" teriaknya.
"Bisa-bisanya dia melakukan ini. Bisa mati muda kalau lama-lama mengajar murid seperti dia. Belum lagi ditambah teman-temannya itu, astaga pusing!!"
Bu Rena langsung meraih ponselnya untuk menghubungi kepala sekolah, melaporkan perihal ini.
"Apa! Aslan kabur? Sekarang dia ada di mana?"
Meysa ikut cemas mendengar hal tersebut.
"Saya juga gak tahu Pak, kepala rasanya sudah gak kuat kalau kayak gini caranya. Kalau ada kamera saya sudah angkat tangan sejak tadi," jawabnya seolah putus asa.
"Jangan menyerah dulu, saya minta tolong banget. Coba cari ke sekitar hotel mungkin dia belum jauh Bu, atau nggak minta pihak hotel untuk melihat cctv agar lebih mudah mencarinya," tutur kepala sekolah.
Memang hanya itu yang bisa dilakukan oleh Bu Rena kali ini.
"Baiklah, saya lakukan sekarang terima kasih sarannya, Pak."
Meysa sangat cemas, hingga dia melihat ke arah luar kaca mobil berkali-kali untuk mengalihkan pikiran buruknya.
Tetap sama saja, dia masih terganggu kecemasannya pada keadaan Aslan seolah memenuhi isi kepalanya.
"Lan, di mana Lo sekarang. Kenapa pakai acara kabur segala sih, apa coba gue kirim pesan barangkali dibalas sama dia," batinnya mengeluarkan ponsel dari dalam tas.
Sebelumnya Aslan sudah mematikan bunyi ponselnya, hingga berada dalam mode senyap kini. Dia tak akan risau jika ada yang menghubunginya nanti.
"Lo di mana?" Pesan Meysa masuk.
"Di belakang, Lo," balas Aslan.
"Hah? Seriusan?" Meysa memutar kepalanya perlahan, untuk memastikan. Cowok itu melambaikan tangannya, membuat Meysa sangat terkejut akan keberadaannya. Tak ada yang sadar, kapan cowok itu masuk, bahkan Meysa pun.
"Kenapa Meysa? Kamu cari apa?"
"Oh, enggak Pak, ini kepala saya kayaknya pusing, capek. Jadi, perlu peregangan sebentar, biar ototnya kembali bekerja dengan normal," jawabnya beralasan dengan sangat tepat.
"Sebentar lagi kita sampai, siapkan diri kamu, ya," suruh kepala sekolah karena memang ada banyak saingan dari sekolah lain, yang menanti. Meski, dia tahu kemampuan Meysa juga bisa terbilang di atas mereka tapi, semua ini untuk berjaga-jaga saja. Meskipun baru latihan, tetap saja harus dilakukan dengan sungguh-sungguh agar hasilnya memuaskan. Meysa diajari untuk mengerahkan semua yang terbaik. Tak peduli masih latihan atau sudah lomba yang benar. Terpenting semangat masih tetap maksimal.
"Kita sudah sampai, bawa tas kamu, dan segera masuk."
"Bapak gak ikut ke dalam?"
"Saya harus parkir mobil ini sebentar, baru nanti nyusul. Kamu sudah dewasa pasti tahu apa yang harus dilakukan. Lagian nomor ruangannya sudah saya kirimkan ke kamu, jangan sampai salah," jawabnya dengan tegas.
"Iya deh, saya keluar."
Aslan pun, melakukan hal yang sama secara diam-diam untuk membuntuti cewek itu.
"Gak asik banget, dibiarkan sendirian kayak gini."
"Hai!" Kemunculan Aslan hampir membuatnya pingsan.
Plakk!!
"Kenapa dipukul?"
"Salah sendiri, datang-datang bikin orang jantungan!"
"Maaf, saking semangatnya, nih," jawabnya tersenyum ceria seolah tak merasakan sakit pada lukanya.
"Luka kamu masih belum diobati?"
"Gimana mau diobati, orang tadi aku kabur," jawabnya.
"Duduk sini." Meysa membawanya ke sebuah bangku, sampai pintu masuk gedung tersebut. Mengeluarkan obat merah dan alat lain, untuk melakukan perawatan kepada Aslan.
"Lo bawa ginian di tas, setiap hari?"
"Iyalah, kita gak tahu kapan luka datang buat jaga-jaga. Bukan gue sih, tapi mama yang selalu bawel suruh bawa ini," jawabnya.
Bersambung ....