Rania tersenyum dengan hambar, menyadari sebuah cincin sudah melingkar di jari manisnya. Sekarang dia sudah resmi menjadi istri orang, tepatnya Istri Faisal yang tidak lain adalah bosnya sendiri di kantor.
Ah, astaga. Mimpi apa sampai dia bisa menikah dengan bosnya sendiri? Rania bahkan tidak pernah memimpikan sebuah pernikahan di usianya yang masih terlalu muda ini. Melihat pantulan dirinya di cermin, dia pun menyadari bahwa mulai sekarang dia bukan lagi seorang gadis single yang bisa pergi sesuka hatinya.
Meski pernikahannya dan Faisal tidak dinyatakan secara resmi di atas kertas, tapi dia tahu akan tugasnya seperti apa. Satu-satunya hal yang harus dia lakukan untuk membayar semua kebaikan Faisal hanya dengan cara memberikan anak pada keluarga ini.
Menghela napas, ia pun mulai menghapus make up yang memenuhi wajahnya. Para MUA yang di sewa oleh Faisal entah pergi kemana, mungkin juga mereka sedang makan siang di bawah, atau ... entahlah. Sebaiknya Rania membersihkan riasan di wajahnya secara mandiri.
Tok.! Tok.! Tok.!
Seorang wanita dengan penampilan cukup gelamor dengan beberapa perhiasan yang ada di tangan dan lehernya menyembulkan kepala ke dalam kamar. Baju kebaya yang dia pakai menjadi penanda bahwa dia bukan orang sembarangan.
"Boleh saya masuk?" tanyanya dengan pelan.
"Tentu saja," jawab Rania bersuara kecil sambil mengangguk.
Kalau tidak salah, itu adalah ibu Faisal, alias ibu mertuanya sendiri. Dia belum begitu mengenal sosok ibu mertuanya, apa lagi saat pertama kali melihatnya dengan tatapan yang begitu tajam, membuat Rania merasa kalau sosok Sarah itu galak.
Wanita itu masuk ke kamar, menghampiri Rania yang sedang melepas hiasan di kepalanya sambil menatap pantulan diri di cermin. Sarah pun langsung turun tangan membantu Rania, meski sudah menolak di bantu, tapi dia tetap kekeuh untuk membantu.
"Biar saya saja," katanya, membuat Rania tak bisa menolak lagi.
Rania mengambil kapas dan mulai melepaskan beberapa pewarna bibir dan juga matanya. Intinya, mereka bekerja sama untuk membersihkan hiasan di wajah dan kepala Rania. Untuk para MUA, kabarnya mereka akan datang sebentar lagi.
"Kamu tahu, sebenarnya saya tidak mau kalau sampai Faisal menikah lagi, karena bagi keluarga kami, menikah itu hanya cukup sekali seumur hidup. Tapi saya sadar, Alma tidak bisa memberikan keturunan untuk Faisal, jadi ... ya dia terpaksa menikah lagi," kata Sarah mulai membuka percakapan antara mereka.
Rania adalah tipe gadis yang pemalu, tidak terlalu banyak bicara dan lebih baik diam dari pada harus mengatakan sesuatu yang di rasa tidak penting. Tapi ketika diajak bicara, tentu saja dia masih berani menyahut.
Menelan saliva, dia pun menjawab. "Aku mengerti, aku akan memberikan anak untuk keluarga ini sebagai caraku untuk menebus uang yang sudah pak Faisal berikan."
"Apa menurutmu saya terlihat galak?" tanya Sarah pula.
Rania tidak berani menyampaikan pendapatnya. Tapi jika di lihat dari luar, Sarah memang kelihatan sedikit lebih galak, tentu saja Rania tidak bisa mengatakannya langsung di hadapan Sarah.
Diamnya Rania sudah menjadi jawaban untuk pertanyaan itu, dan Sarah juga tahu kalau dia terlalu jarang tersenyum. Tidak ada hal yang memancingnya untuk tersenyum, hingga dia lebih banyak cemberut dengan pandangan yang sayu.
"Santai saja, saya mungkin kelihatan galak, tapi kamu harus tahu kalau saya itu orangnya penyayang. Saya yang merawat Faisal dari kecil seorang diri, dia tahu bagaimana saya. Dan kalau kamu tanya dia, pastinya dia akan menjawab kalau saya tidak segalak kelihatannya," jelas Sarah tanpa di minta.
"Anda tidak seperti itu, Nyonya. Anda hanya berusaha menjaga harga diri saja," sahut Rania pula.
Untuk pertama kalinya, dia bisa melihat Sarah tersenyum karena perkataannya. Ternyata Sarah cukup ramah saat berbincang ringan dengan Rania, dia bahkan bisa tertawa hanya dengan mendengar perkataan seperti itu.
Pandangan Rania langsung berubah, membuatnya ikut tersenyum melihat pantulan tawa Sarah di cermin. Wanita yang sekarang membantunya menyisir rambut itu menyebutkan, bahwa sebenarnya dia begitu menyayangi Alma. Sayangnya kekurangan Alma tak bisa membuat kasih sayangnya bertahan.
"Alma itu wanita yang baik, dia sudah menjalin hubungan dengan Faisal sejak mereka masih sekolah. Saya juga menyukainya, tapi saya tidak munafik, karena saya ingin punya cucu dari Faisal. Sekarang, satu-satunya harapan saya adalah kamu. Saya mohon, jangan kecewakan saya, ya?"
"Iya, Nyonya. Aku tidak akan membuatmu kecewa," balas Rania.
"Panggil saya Ibu, saya ini Ibu mertuamu," pinta Sarah pula sambil membungkukkan badan untuk bisa mensejajarkan tubuh dengan tinggi badan Rania.
"I—iya, Bu," jawab Rania tergagap.
Para MUA datang beberapa saat kemudian dan Sarah pun langsung keluar dari sana. Mereka lah yang melanjutkan tugasnya sementara Sarah kembali ke bawah untuk melihat para pekerja yang ingin melepaskan dekorasi di rumahnya.
Sementara itu, Alma malah terselihat tersenyum simpul sambil melihat foto pernikahan yang ada di ponselnya. Foto itu di ambil tepat setelah akad nikah berlangsung. Ada sepasang pengantin baru di sana, Alma dan Sarah juga ikut berdiri di sisi kanan dan kiri mereka.
Siapa lagi kalau bukan Rania dan Faisal.
"Apa kamu sebahagia itu sampai tidak berhenti menatap fotonya?" tanya Faisal yang melihat Alma terus tersenyum sambil memandangi ponselnya.
"Tentu saja, akhirnya setelah sekian lama impianku menjadi seorang ibu akan terwujud, Mas. Apa kamu tidak senang?" tanya Alma pula sambil menoleh ke balakang.
Faisal kelihatan sedang berdiri tegap dengan bertelanjang dada. Celana panjang warna hitam yang dia kenakan juga belum di ganti. Dia kebingungan mencari pakaian ganti setelah akad tadi. Alma pun tersenyum dan lekas berdiri.
"Entahlah, aku hanya merasa jika pernikahan ini hanya akan menyakiti banyak pihak. Kamu sendiri tidak tahu seberapa lama kamu bisa menahan rasa cemburumu," ujar Faisal pula.
Alma mengambilkan sepotong kaos ganti untuk Faisal dan melemparnya begitu saja ke arah Faisal. "Cemburu? Kenapa aku harus cemburu? Aku justru senang kalau kalian semakin dekat, itu artinya kalian akan semakin mudah membangun hubungan agar semakin dekat."
"Benarkah? Kamu tidak cemburu? Kalau begitu kamu tidak mencintai suamimu ini?"
"Bukan begitu. Tentu saja aku mencintaimu, tapi aku juga sadar kalau kamu harus mendapatkan anak dari Rania. Ayolah ini hanya beberapa bulan saja, tidak akan terasa lama. Begitu kita mendapatkan anak darinya, maka kalian akan bercerai," balas Alma santai.
Faisal menghela napas setelah dia berhasil memakai kaos putih yang Alma berikan. Menatap wajah sang istri yang kelihatan tetap bisa memasang senyum di kala pernikahan suaminya sendiri, membuat Faisal merasa jengah.
Bisa-bisanya dia merasa senang saat suaminya menikah, padahal di luar sana semua istri menuntut agar suaminya setia. Alma memang wanita yang berbeda, itulah yang membuat Faisal semakin jatuh cinta pada sang istri.
Dia menarik pinggang berukuran kecil milik Alma, membuat jarak mereka begitu dekat. Tatapan mata mereka bertemu, membuat Alma hanya bisa terdiam menatap suaminya.
"Maafkan aku, aku janji ini hanya sebentar. Jangan pernah berpikir bahwa aku akan berpaling, kamu selalu jadi ratu untukku," kata Faisal meyakinkan Alma.
"Aku selalu percaya padamu, Faisal."
Pelukan mereka pun menjadi akhir percakapan kala itu. Apapun yang mereka rasakan, semuanya tetap menjadi rahasia masing-masing, entah cemburu atau tidak, entah suka atau tidak, yang jelas Alma hanya ingin keluarga ini mendapatkan keturunan. Jangan sampai hanya karena kesetiaan Faisal membuat mereka tidak punya keturunan.
Malik masih harus meneruskan usaha keluarganya.