ดาวน์โหลดแอป
100% HANSUM / Chapter 2: Teman Lama

บท 2: Teman Lama

Aldi Sutmaja.

Dia baru saja mendapatkan posisi Presdir karena kematian sang ayah dan selamat dari kudeta musuh mereka, semuanya berkat Lena. Pengawalnya sejak SMA namun juga adik ipar dari otak pemberontakan dalam perusahaannya.

"Presdir, Nyonya disini." Sekretarisnya buka suara.

Aldi membeku. Dia memilih gaun berwarna merah karena sebuah alasan. Bukan, bukan karena itu akan terlihat indah pada Lena. Bukan juga karena dia suka warna itu. Itu sebenarnya simbolisasi. Penggambaran tentang pemberontakan gagal.. yang penuh darah.

Juga fakta bahwa Lena adalah penyelamat dirinya. Satu-satunya orang yang setia yang tersisa dari rezim sang ayah.

Tatapan mata Aldi melembut sementara jemarinya tak kuasa mengelus surai hitam itu, "Rambutnya digerai.. gak gerah?"

[Kilas balik]

"Rambut tuh gerai dong!" Pria usia 50 tahunan dan berperawakan tinggi itu bermaksud memberikan headlock pada sang putri.

"Apaan sih, Pa. Panas lah. Ganggu konsentrasi pula."

Leo berdecak, tanpa aba-aba melayangkan pukulan ke wajah Lena.

"Papa!"

Untungnya pelatihan dia gak sia-sia. Lena gak punya gelar bergengsi sebagai rekrutan terbaik dari Hansum Security tanpa alasan. Mengambil ancang-ancang dan melemparkan pukulan ke rusuk pria itu. Keduanya terus saling menyerang, berusaha mematahkan pertahanan lawan dan membuatnya menurunkan pengawasan.

Leo bukan kepala keamanan Presdir Ardi hanya karena mereka teman, pria itu tersenyum bangga setiap kali gadis itu bisa mengelak dan membalas serangannya.

[ Masa Kini ]

Mata Lena terasa hangat, fokusnya kembali ke saat ini dan menahan lengan Aldi. "Gak usah pegang-pegang."

Para abdi terdekat mereka sudah terbiasa dengan interaksi keduanya. Mereka hanya diam menunggu keduanya bergerak.

"Gak usah marah-marah dong, Len. Keriputan loh nanti."

Tersenyum, Lena mengalihkan rasa kesalnya dengan mengaitkan lengannya pada lengan Aldi. Menancapkan kuku hasil menicure yang dipaksakan Kepala Pelayan dan wanita dari salon tadi. "Keriputan atau enggak aku bisa membunuh kamu loh, Al."

Menepuk tangan istrinya, Aldi tak tampak kesakitan. Mereka sudah kenal hampir 3 tahun, pria itu tahu lebih dari siapapun Lena hanya bersikap tak masuk akal pada orang terdekatnya.

"What the hell!" Seorang pria jangkung dengan tuxedo pas badan mendekati pasangan itu. "Menjijikan, kalian berdua bersikap seperti musuh di sekolah tapi ternyata? Hah! Tunangan! Sebagai presiden ekskul drama, aku mengakui kemampuan akting kalian wahai Tuan dan Nyonya Sutmaja."

Kedua pasang mata itu bertemu dengan sosok setinggi hampir dua meter, wajah tampannya tampak kesal sementara matanya penuh dengan tuduhan.

Lena merinding mengingat sebuah kenangan dari masa lalu.

[ Kilas balik ]

Kala itu pertengahan bulan September dan hujan masih juga mengguyur SMA Pejuang terlepas dari berbagai doa, hujatan, dan sumpah serapah para murid.

Udara dingin, hujan deras, dan kabut yang menutupi lokasi sekolah tak meredam perdebatan dua remaja di panggung teater outdoor.

"Arif Rahman! Hanya karena aku baik bukan berarti kamu bisa seenaknya."

"Dengar ya sekretaris senat, di dunia ini tidak ada yang gratis. Kalau kamu sudah menggunakan jasaku berarti kamu harus membayarnya dengan harga yang setimpal."

"Bagaimana bisa menggantikan pemain drama dianggap setimpal dengan memberikan aku kertas yang akan digunakan sebagai properti untuk tempat kalian tampil."

"Hei, saat minta bantuan kamu harus siap dengan segala imbalan yang aku inginkan."

Silat, karate, jujitsu, .. ada banyak aliran seni beladiri yang bisa Lena gunakan untuk membunuh bocah ini sekarang juga. Tanpa masalah, tanpa penyelidikan polisi dan juga tentu saja tanpa bukti yang mengarah bahwa dia pelakunya. Sayangnya wanita 22 tahun itu sedang menyamar menjadi remaja tanggung di sekolah ini.

Seandainya dia lebih tak menolak untuk mengawal anak konglomerat Cina yang menjadi Idol di Korea, dia tidak perlu susah-susah memakai seragam SMA dan harus bertingkah seperti anak 17 tahunan.

Usia SMA terlalu memusingkan, terlalu banyak tugas; tugas praktek, kegiatan ekstrakulikuler, kegiatan akademik, dan berbagai kegiatan lain seperti penggalangan dana sialan ini.

"Dengarkan aku baik-baik Tuan Arif, kalau kau masih juga keras kepala aku bersumpah akan menghancurkan klub dramamu ini."

"Hei Nona Sekretaris Senat, tak semudah itu menghancurkanku walaupun kau punya backing misterius. Bagaimanapun, keluarga Rahman sudah menguasai industri budaya Asia selama puluhan tahun."

"Tuan Muda Arif, kalau kamu pikir kamu bisa membuatku tunduk maka kamu salah. Aku tidak akan ambil bagian dalam klubmu ini."

"Aku tak bilang kau harus menjadi anggota departemen drama, aku bilang kau harus bermain dalam drama ini," memberikan naskah dengan sampul pink, "Shaeron sedang sakit. Bagaimana mungkin aku membuat dia berdiri melakukan atraksi saat kakinya itu patah."

"Itu bukan urusanku dan aku tak peduli. Kamu cari saja orang lain."

"Lena! Hei! Sekretaris Senat! Lena Sanjaya!" Lelaki jangkung nan rupawan itu melampiaskan kemarahan dengan menendang genangan air didekatnya.

Lena setengah membanting pintu kamar asramanya, masih ada 2 tahun lagi sebum dia bisa menyelesaikan misi penyamaran ini. Kepalanya hampir meledak setiap kali berdebat dengan para remaja ini.

"Pasti Arif."

Kay - salah teman sekamarnya, menggelengkan kepala dan kembali mengetik tugas di laptopnya.

"Arif minta kak Lena buat gantikan Shaeron ya?" Caca menggeleng, "Nekat juga.."

"Emang pemeran sebelumnya kenapa sih?"

Jemari Kay berhenti, memutar kursi ke arah Lena. "Kamu tahu gudang di bagian selatan kan? Ada kabar kalau gudang itu berhantu. Selalu ada suara-suara aneh setiap malam, belum lama ini peliharaan kepala keamanan sekolah bahkan mati kaku. Karena Shaeron dari klub pertelevisian, jadi dia sengaja kesana untuk konten penyelidikan. Entah gimana Shaeron terjatuh dari jendela sampai kakinya patah."

Lena menelan ludah, dia berani menghadapi belasan orang dalam perkelahian tapi dia takut hantu. Cerita horor macam begini selalu membuatnya ketakutan.

"Lebih anehnya lagi Shaeron gak ingat apapun, dia bilang hal terakhir yang dia ingat adalah ketika kita UTS. Itu kan hampir setengah bulan lalu!"

Caca mengangguk, "Kalian udah lihat hasil rekaman dari kamera Shaeron belum? Anak ekskul tv bilang sih, ada sosok yang kelihatan jelas banget. Parah sih ini, walaupun kualitasnya gak HD damn.. gila. Aku aja merinding pas dengar!"

Lena berulang kali berdoa dan menyebut nama tuhan dalam hati. Setelah kehabisan bahan doa, gadis itu melafalkan urutan alfabet secara terbalik. Kebiasaan yang dia lakukan setiap kali dia merasa takut.

"Ya tapi gak jelas juga sih.. kali aja cuma kebetulan. Soalnya kan itu gudang lama, pasti banyak barang berserakan dan kabel yang mungkin putus. Kali aja Shaeron kesandung dan kucingnya pak kepala keamanan kesetrum kabel putus kan."

Penjelasan Kay tak menenangkan sarafnya, Lena yang biasanya segera mandi segera setelah bepergian dari luar duduk di ranjangnya.

'Sialan! Kenapa peran drama malah berujung ke cerita horor sih!'

Keberuntungan tak berpihak pada Lena karena malam ini adalah jadwal video call antara Presdir Ardi dan Aldi, mau tak mau dia harus menemani Aldi ke ruang guru dan menggunakan video conference sekolah.

Lena kembali melafalkan urutan alfabet secara terbalik, tak ingin terlihat lemah dihadapan Aldi dan membuat cowok tengil itu menggodanya.

"DOR!"

"AAAAKKH!!!" Jeritan ini penuh rasa takut, membuat lelaki itu tertegun.

Lena memukuli sosok yang datang entah dari mana itu tanpa ampun. Cerita Kay dan Caca membuatnya sangat tak karuan.

[ Unit Kesehatan Sekolah ]

Arif terbaring di ranjang ruang perawatan, lukanya tak seberapa tapi lebam ungu menghiasi wajahnya.

"Dasar sekretaris senat sinting! Kau bisa aja mukul atau teriak, gak perlu nendang dan meninjuku habis-habisan kan!"

"Sorry." Meletakkan hampers snack di meja samping kasurnya, Lena cukup salah tingkah. Dia memang ketakutan tapi dia juga salah karena langsung menghajar sang pelaku. Kalau saja dia tak harus menemani Aldi dia tak akan menjadi sensitif begini. "Lagipula kenapa kamu mengagetkanku di lorong sekolah sih, siapa yang tak ketakutan."

Mata Arif masih menuduhnya kesal, bukan hanya sakit karena tinju dan tendangan Lena tapi harga dirinya juga terluka. Dia hanya bermaksud mengganggu gadis itu tapi dia malah dihajar habis-habisan. Menyilangkan tangan, "Terserah, kali ini kau harus memberikan kompensasi. Kamu harus mengambil peran Shaeron."

"Oke."

"Dan menjadikan Aldi sebagai peran penggantiku."

"HAH?" Bangkit dari kursi pengunjung, tangannya mengepal seperti akan memukul Arif. "Apa hubungannya aku membrikan kompensasi dengan Aldi ikut serta dalam pertunjukan ini hah?"

"Kau menghajarku sampai begini dan masih bertanya kenapa? Memangnya cewek-cewek lain bakal beli tiket buat penggalangan dana kalau aktor utamanya babak belur begini, hah?"

"Ya tapi gak perlu Aldi kan."

"Satu-satunya anak Pejuang yang cukup ganteng buat jadi penggantiku ya Aldi doang."

[ Masa Kini ]

Arif dan Aldi melakukan salam keren khas anak muda, membuat interkasi keduanya menjadi sorotan.

"Hai, Rif."

Arif menepis jabatan tangan Lena dan segera memeluk wanita itu. "Saat aku dengar kabar kalau kamu dan Aldi menikah aku hampir lompat dari Burj Khalifa tahu gak. Kalin terlalu gila."

"Arif Rahman Prasetya!" Seorang pria setengah abad dengan badan gempal berjalan cepat ke arah mereka, memukul punggung lelaki itu keras. "Jaga ucapanmu di depan Presdir Aldi! Kalian pernah sekelas, tapi beliau sekarang seniormu! Tunjukkan rasa hormat."

Pria itu berdeham, "Presdir, Nyonya. Namaku Budi Prasetya. Aku ayah Arif, tolong maafkan kelancangan putraku ini. Dia masih anak-anak. Aku akan menegurnya setelah kami pulang."

"Pak Budi jangan khawatir. Aku dan istriku sangat akrab dengan Arif."

Budi Prasetya memang sudah tua, dai sudah makan asam manis kehidupan lebih banyak dari pemuda di depannya tapi instingnya tahu kalau dia bukan orang biasa. Desas desus tentang kematian seluruh keluarga Sutmaja memang masih menjadi misteri dan bahan bakar cerita konspirasi, tapi kekuasan yang dipegang Aldi saat ini adalah nyata.

Memiliki lebih sedikit musuh selalu lebih baik.

"Kalau begitu aku berterima kasih atas nama putraku, Presdir Aldi."

Lena memang jarang ikut serta dalam pesta formal, tapi situasi saat ini sangat terbaca jelas. Mereka sangat ingin ditinggalkan berdua, dengan 'senyuman sopan dan bermartabat' yang diajarkan Kepala Pelayan Ma, Lena mengajak Arif ke meja prasmanan.


next chapter
Load failed, please RETRY

ตอนใหม่กำลังมาในเร็วๆ นี้ เขียนรีวิว

ป้ายปลดล็อกตอน

สารบัญ

ตัวเลือกแสดง

พื้นหลัง

แบบอักษร

ขนาด

ความคิดเห็นต่อตอน

เขียนรีวิว สถานะการอ่าน: C2
ไม่สามารถโพสต์ได้ กรุณาลองใหม่อีกครั้ง
  • คุณภาพงานเขียน
  • ความเสถียรของการอัปเดต
  • การดำเนินเรื่อง
  • กาสร้างตัวละคร
  • พื้นหลังโลก

คะแนนรวม 0.0

รีวิวโพสต์สําเร็จ! อ่านรีวิวเพิ่มเติม
รายงานเนื้อหาที่ไม่เหมาะสม
เคล็ดลับข้อผิดพลาด

รายงานการล่วงละเมิด

ความคิดเห็นย่อหน้า

เข้า สู่ ระบบ