ดาวน์โหลดแอป
9.37% Golden Enigma / Chapter 3: Origin

บท 3: Origin

Syracuse, New York, Amerika Serikat.

Wanita dengan rambut kemerahan yang dipotong sangat pendek itu berjalan di sebuah lorong apartemen sederhana. Walau umurnya sudah lebih dari lima puluh, kerut-kerut di wajahnya tak begitu kentara. Bahkan kondisi tubuhnya masih sangat bagus. Terbukti dari blazer dan celana panjang hitam yang tampak sangat modis di badannya.

Ia berhenti di depan salah satu pintu kamar dan menggedornya keras-keras. “Buka pintunya, Kid!”

Terdengar suara langkah cepat lalu pintu itu pun terbuka sebagian. Brie melongok keluar dan langsung memasang wajah masam begitu melihat wanita itu.

“Ada apa, Steph?” tanya Brie yang matanya masih berat karena kantuk. “Bisa tidak sih, kamu meneleponku dulu sebelum datang?”

“Apa itu sapaan yang pantas untuk orang yang membesarkanmu?” Wanita yang dipanggil Steph itu mendorong pintu, memaksa Brie mundur dan memberi jalan. Bau alkohol yang kuat langsung datang ke rongga hidungnya. “Apa kau baru membuat pesta di sini?”

“Pesta sendirian,” gerutu Brie, menggaruk-garuk rambut panjang coklatnya yang berantakan lantas menutup pintu dan menguncinya rapat-rapat. “Ada apa sebenarnya? Kalau masalah dengan Don Felipe, aku kan sudah meminta maaf.”

Steph tak segera menjawab, ia mengamati botol-botol bir kosong dan sampah bungkus makanan ringan rasa ikan yang jumlahnya sangat banyak di meja tamu, kemudian membuka kulkas di dekat konter ruangan dan mengambil sebotol bir.

Sebal tak ditanggapi, Brie melempar tubuhnya ke sofa hitam ruangan, duduk sambil bersedekap

“Apakah itu luka yang kau dapat di rumah persembunyian anak Don Felipe?” tanya Steph setelah meneguk sedikit birnya, kemudian duduk di hadapan Brie.

Brie melihat sekilas bebatan perban di betis dan lengan kanannya. “Yah, begitulah.”

“Kalau lebam-lebam itu?” Steph mengamati bekas-bekas hantaman peluru berwarna kebiruan yang masih agak kentara di sekujur tubuh Brie.

“Kalau kuceritakan, kau tak akan percaya,” jawab Brie malas.

“Begitu, ya?“ Sehabis meneguk birnya kembali, Steph menatap tajam mata Brie. “Kalau begitu, aku ingin bertanya. Apa benar kau yang membantai mereka?”

Pandangan Brie balas terpancang ke mata hitam sang mentor. Jelas sekali dirinya sedang diinterogasi. Sebagai orang yang menjadi penghubung antara Brie dengan klien, Steph tentu tak mau bisnis ini kacau.

Beberapa detik diam, akhirnya Brie menghela napas. “Menurutmu?”

“Bukan,” jawab Steph tegas, menaruh botol birnya ke meja. “Kau tak mungkin melakukan pembantaian gila seperti itu, tapi saat ini pun aku belum bisa menemukan informasi tentang pihak ketiga yang mungkin terlibat. Jadi, apa yang sebenarnya terjadi, Kid?

Meski sebal di usianya yang telah dewasa ini dirinya masih dipanggil Kid, Brie sudah terlalu malas membantah. Percuma. Steph pasti akan tetap memanggilnya seperti itu. “Apa kau akan percaya kalau kukatakan diriku ini tiba-tiba mendapat kekuatan super, kemudian tanpa sadar aku membantai mereka?”

Steph mencondongkan tubuhnya ke arah Brie, menggeram sampai urat-urat lehernya menonjol. “Are you bulshitting, me? Aku sudah berjanji kepada Don Felipe untuk mencari pihak ketiga itu. Apa kau tahu dia begitu marah saat seisi rumah itu dibantai? Ini benar-benar mengundang perhatian lebih dari pihak polisi.”

“Memang begitu kenyataannya,” balas Brie, tak mengindahkan kilatan amarah di mata Steph. “Sekarang saja aku masih merasakan dampak kekuatan aneh itu. Aku ingin mabuk, tapi mau sebanyak apa pun aku menenggak alkohol, tubuhku tak merasakan apa-apa.”

Dengan dahi mengernyit, Steph memandang kedua ekor mata Brie. “Kau menangis?”

Baru menyadari kalau matanya terasa agak panas dan lembab, Brie buru-buru mengusap cairan bening yang mulai turun ke pipinya. Tiga hari sudah berlalu sejak kejadian pembantaian itu, tapi hatinya masih dirongrong oleh kenangan, impian, dan perasaan para korban.

“Seriously, sebenarnya apa yang terjadi, Kid?” lanjut Steph.

“Baiklah, aku ceritakan detailnya.”

Setelah menghela napas lagi, Brie menceritakan semuanya. Bahkan sampai detail yang kecil. Ia memberi porsi lebih saat berbicara tentang perasaan para korban yang masuk ke hatinya.

“Tato yang tiba-tiba muncul? Pedang dari tangan? Tubuh anti peluru? Perasaan orang yang kau bunuh masuk ke dalam dirimu?” Steph meneguk birnya banyak-banyak. “Apa kau tahu betapa gilanya perkataanmu itu?”

“Aku tahu, makanya aku ingin mabuk, tapi yang ada saluran kencingku malah jadi seperti keran air.” Brie lalu menjulurkan kedua tangannya yang masih lebam-lebam. “Semua ini memang terlihat seperti bekas peluru air soft gun, Steph. Tapi percayalah, ini bekas peluru timah, semuanya memantul begitu saja dari tubuhku!”

“Kau sudah memeriksakan diri ke dokter?” tanya Steph lagi.

“Sudah. Tak ada yang salah dengan tubuhku.”

Steph mengusap keningnya lalu berdiri, berjalan ke jendela dan memandang gedung-gedung pencakar langit di luar. “Sebelum ini, hal paling absurd yang pernah kudengar adalah berita kemunculan pahlawan super di negara nun jauh di sana.”

“Aku tak memintamu untuk percaya.” Brie membaringkan tubuhnya ke sofa.

“Tidak, aku malah memercayaimu. Ceritamu itu terlalu fantastis untuk disebut sebagai karangan.” Steph berbalik dan bersandar di tembok. “Kid, dulu sekali, aku…”

“Mendapat misi untuk membunuh pasangan suami-istri, tapi ternyata mereka itu punya bayi, padahal sebelumnya kau tidak tahu keberadaan bayi itu. Kau pun punya ide untuk merawat bayi itu sebagai aset, mengajarinya menjadi pembunuh bayaran. Dan tentu saja bayi itu adalah aku. Ayolah, Steph. Sudah berapa kali aku mendengar cerita itu?” potong Brie dengan nada luar biasa cepat. Ia sudah begitu hapal dengan lanjutan kalimat Steph barusan.

“Ah, tapi apa kau tidak pernah memikirkan apa jadinya kalau orangtuamu masih ada?” tanya Steph tiba-tiba.

Brie buru-buru mengangkat tubuhnya untuk menghadap Steph. “Huh? Kenapa kau menanyakan hal seperti itu?”

Steph membuang muka. “Jawab saja.”

“Yah… Bahkan aku tak mengingat wajah orangtuaku… Ada apa sih sebenarnya?” Brie heran dirinya mendapat pertanyaan yang seolah mempunyai arti tersembunyi itu. Brie merasa seperti ditanya apakah dirinya menaruh dendam kepada Steph atau tidak.

“Lupakan saja.” Steph mengibaskan sebelah tangannya lalu berjalan mendekati Brie. “Sekarang, apa yang akan kau lakukan, Kid? Kalau benar perasaan dari orang yang kau bunuh itu mengganggu otakmu, aku tak mau ambil risiko memberimu pekerjaan. Bisa-bisa kau ragu melakukannya.”

Brie berpikir sejenak. “Pertama-tama, aku harus mencari jawaban mengenai kekuatan aneh di tubuhku ini.”

“Dari mana kau akan memulainya?”

“Dari tempat orangtuaku berasal, mungkin di sana aku bisa menemukan petunjuk kalau aku adalah anak alien atau hasil dari penelitian gila.” Brie berdiri dan bertatap muka dengan Steph. “Aku akan mencari data-data mereka. Mungkin bisa dimulai dari para kerabat.”

“Akan sulit mencari jalur genetikmu, Kid. Kabarnya, waktu bayi kau dibeli dari pasar gelap.”

Sedikit terkejut, Brie mengangkat bahu. “Hebat.”

“Dan anehnya, yang membelimu itu bukan orangtua angkatmu.”

“Jadi, aku dibeli dari makelar?”

Dirinya diadopsi dari orang yang membeli dirinya, kemudian dirinya diadopsi oleh Steph. Itu semua memang akan menambah rumit perjalanannya mencari jawaban. Tapi tak masalah, selama ini ia selalu bisa menemukan jalan.

“Kenapa kau tak pernah memberitahuku semua itu?” Meski tahu pertanyaannya tak penting, Brie tetap tergelitik juga.

“Pertanyaanmu tidak relevan, Kid. Lebih baik kau dengarkan apa yang akan aku katakan,” balas Steph, kini membelakangi Brie. “Informasi lain yang kutahu, orangtuamu itu dulu mengikuti semacam perkumpulan mistis yang masih aktif sampai sekarang. Yang dulu meminta untuk membunuh orangtuamu juga anggota perkumpulan yang sama. Mungkin kau bisa mulai dari perkumpulan itu.”

“Oke, aku akan berangkat secepatnya”

Steph tersenyum penuh arti. “Kau sudah menguasai bahasa Indonesia, kan?”

“Tentu saja, kamu yang pernah tinggal di sana kan sudah mengajariku,” balas Brie dengan bahasa Indonesia, enggan membalas senyuman itu.

“Tapi sebelumnya, potong rambutmu dulu. Sudah terlalu panjang, nanti…”

“…akan menghalangi pandangan. Aku tahu, Steph,” potong Brie, lagi-lagi menahan rasa kesalnya.

Tanpa berpamitan, Steph pergi begitu saja. Karena sudah hapal kelakuan sang mentor, Brie tak mengatakan apa pun.


next chapter
Load failed, please RETRY

ของขวัญ

ของขวัญ -- ได้รับของขวัญแล้ว

    สถานะพลังงานรายสัปดาห์

    Rank -- การจัดอันดับด้วยพลัง
    Stone -- หินพลัง

    ป้ายปลดล็อกตอน

    สารบัญ

    ตัวเลือกแสดง

    พื้นหลัง

    แบบอักษร

    ขนาด

    ความคิดเห็นต่อตอน

    เขียนรีวิว สถานะการอ่าน: C3
    ไม่สามารถโพสต์ได้ กรุณาลองใหม่อีกครั้ง
    • คุณภาพงานเขียน
    • ความเสถียรของการอัปเดต
    • การดำเนินเรื่อง
    • กาสร้างตัวละคร
    • พื้นหลังโลก

    คะแนนรวม 0.0

    รีวิวโพสต์สําเร็จ! อ่านรีวิวเพิ่มเติม
    โหวตด้วย Power Stone
    Rank NO.-- การจัดอันดับพลัง
    Stone -- หินพลัง
    รายงานเนื้อหาที่ไม่เหมาะสม
    เคล็ดลับข้อผิดพลาด

    รายงานการล่วงละเมิด

    ความคิดเห็นย่อหน้า

    เข้า สู่ ระบบ