Sudah beberapa hari ini hujan turun. Termasuk siang itu, saat banyak orang bergelut dengan tuntutan hidup dan jenuhnya rutinitas ibukota, mereka juga harus berhadapan dengan hujaman air hujan. Beberapa kali guntur juga terdengar menggelegar, dan langit masih tak mengizinkan mentari untuk muncul sedikitpun.
Di salah satu sudut kota, ada sebuah perumahan. Dimana salah satu rumah yang ada di perumahan itu digunakan untuk kantor sebuah suratkabar online bernama Suara Kita.
Evan tertidur di kursi kerjanya. Laptop masih menyala terang, bahkan tangan kanan Evan masih menempel di mouse. Kepalanya tergeletak di pundak kirinya. Tiupan angin dari AC yang ada tepat di atasnya semakin menghanyutkannya ke alam mimpi.
Suara pintu ruangan yang dibuka oleh Aryo, membangunkan Evan.
"Sorry-sorry. Ketiduran aku." kata Evan sambil mengelap wajahnya.
"Masih jam sepuluh pagi udah ketiduran, ngojek lagi tadi malem?" tanya Aryo.
"Oooaahhmmm, ya gitu. Jam tiga aku baru pulang," sahut Evan sambil menahan kantuk.
"Wah, wah…. Gokil sih, pulang kerja jam delapan malem, langsung lanjut ngojek sampe jam tiga?"
Evan mengangguk. Matanya masih merah.
"Itu yang naik ojek jam tiga pagi siapa? Kuntilanak apa bukan?"
Evan Cuma nyengir tipis.
"Apa sih yang kamu kejar, bro? Niat banget cari duit," tanya Aryo lagi sambil duduk di meja Evan.
"Masa depan lah, kamu kan tahu sendiri gaji disini belum seberapa"
"Iya sih. Terus buat apa? Buat tabungan nikah?"
"Diantaranya."
Evan menyeruput kopi yang ada di mejanya untuk menahan rasa kantuknya.
"Kalo boleh usul sih bro, mending kamu nikah aja dulu deh. Perkara uang nanti bakal datang sendiri kok"
"Ya kalo udah ada duitnya mah aku mau aja"
"Lah yang bakal keluar duit banyak kan si Zahra? Bukan kamu"
"Ya tapi masa aku ngga nyumbang sih, To"
"Ya iya sih, lagian si Zahra itu kan anak orang kaya, emang kamu ngga minder sama dia? Kenapa ngga sama Dewi aja?"
"Dewi lagi, Dewi lagi, terus Zahra mau dikemanain?"
"Ya putusin aja. Lagian ya, si Dewi kurang apa coba, udah cakep, putih, masih muda, bendahara kantor pula. Pasti pinter ngatur keuangan dia. Belum lagi dia anak seorang ilmuwan lho! Kalau aku masih bujang juga bakal aku sikat"
"Ya udah, kamu aja sana. Dua istri kan boleh"
"Kenapa malah jadi ngomongin aku? Kan aku lagi kasih saran, sebagai sahabat yang baik."
"Iyaa, tapi aku nggak klik aja sama Dewi. Ngga tahu kenapa"
"Ahh, pake klak-klik-klak-klik segala. Kelamaan."
"Eh iya jadi lupa, kamu dipanggil bos tadi tuh," imbuh Aryo.
"Kenapa ngga bilang dari tadi? Malah bahas Dewi segala," kata Evan sambil bergegas menuju ke ruang atasannya.
Setelah mengetuk pintu ruangan atasannya itu, Evan masuk. Si bos nampak masih menerima telepon saat Evan duduk di kursi.
"Gimana pak?" tanya Evan saat bosnya sudah selesai menerima telepon.
"Begini, Evan. Saya perhatikan, akhir-akhir ini kamu kok sering kurang fokus kerjanya ya? Kadang ketiduran di kantor, kirim artikel juga sering terlambat. Ada apa?
Evan menunduk, "tidak ada apa-apa, pak."
"Oke, saya tidak mau tahu. Tolong kamu atasi sendiri masalahmu, apapun itu. Supaya kinerja kamu disini kembali lagi seperti dulu."
"Baik pak," jawab Evan singkat.
"Permisi."
Evan menoleh. Ia melihat Dewi sudah berdiri di dekat pintu.
"Ya Dewi, silakan masuk," pinta pak bos.
Dewi lantas berjalan menuju atasannya, sambil menyodorkan laporan keuangan bulan lalu.
"Pak Tama. Ini laporannya, pak"
Pak Tama manggut-manggut sambil membuka lembaran-lembaran kertas laporan itu.
Dewi sesekali melirik ke wajah Evan yang sedang menunduk.
"Oya Evan, kas bon kamu bulan lalu belum kamu bayar ya?" tanya Pak Tama.
Evan menggeleng. Ia juga sempat melirik ke arah Dewi, yang jelas tahu berapa jumlah hutangnya. Dewi yang juga melihat Evan, langsung membuang pandangannya.
"Maaf pak, pekan depan saya bayar," jawab Evan.
"Besok pagi."
"Maksudnya pak?"
"Besok pagi kamu sudah harus bayar hutang kas bonmu ke Dewi, oke Evan?"
Evan melotot kaget. Dia sempat blank sejenak.
"Ba, baik pak. Saya usahakan."
"Jangan diusahakan, tapi dibayar."
Suasana mendadak hening. Dewi melirik sekali lagi ke arah Evan.
"Ya sudah, silakan kembali ke ruanganmu," imbuh Pak Tama.
Evan bangkit dari duduknya. Pandangan matanya tiba-tiba kosong. Ia berjalan lemas menuju ruangannya. Ia sempat berpapasan dengan Aryo, namun Aryo tak bertanya apa-apa. Nampaknya dia sudah tahu apa isi perbincangan Evan dengan Pak Tama.
Evan duduk lagi di ruangannya. Menatap layar laptop tanpa tahu mau berbuat apa. Masih terngiang di hatinya, bahwa dalam satu malam nanti, dia harus mendapatkan uang dua juta guna melunasi hutangnya pada kantor.
Akhirnya, tak terasa waktu sudah menunjuk pukul 18.30. Kantor mulai sepi. Pak Tama dan Dewi sudah pulang. Aryo juga baru saja pamit pulang. Sementara itu Evan masih membereskan laptopnya, saat smartphone miliknya berdering. Tertulis nama Zahra di layar.
"Halo? Kamu udah di kafe yah?" sapa Evan.
"Udah, kamu masih lama ngga?"
"Nggak, ini udah mau kesitu."
"Oke, hati-hati," jawab Zahra singkat.
Evan bergegas mengendarai motornya menuju kafe favorit mereka yang berjarak sekitar lima belas menit dari kantornya. Kebetulan, hujan sudah reda, dan kafe juga belum terlalu ramai.
Terpampang tulisan SATU HATI KAFE di atap kafe, membuatnya bisa terlihat meski dari kejauhan. Evan datang dengan tergesa-gesa.
Waktu menunjuk pukul 18.45.
"Selamat malam, Mas Evan…" sapa salah satu pelayan yang sudah hafal dengan Evan dan Zahra.
"Malam, Tika," balas Evan.
"Tuh, Mba Zahra udah nunggu dari tadi lho. Udah ada setengah jam kali"
Evan tahu, Zahra itu orangnya before time, kalau janjian jam lima, dia bakal datang di lokasi jam setengah lima. Evan makin mempercepat langkahnya, hingga akhirnya ia sampai di meja langganan yang sering ia dan Zahra dan pesan.
"Hei, sorry tadi aku beresin artikel dulu. Udah ditunggu Pak Tama soalnya," kata Evan sambil duduk dengan tergesa-gesa.
"Iya, ngga apa-apa. Kamu udah aku pesenin moccachino kaya biasa."
"Cemilannya?"
"Kentang keju. Nggak apa-apa kan?"
"Ya udah terserah kamu."
Keduanya diam. Zahra melanjutkan scroll chatnya dengan seseorang. Sesekali ia tersenyum sendiri membaca isi chat itu. Sementara Evan mengamati calon istrinya yang seolah tak merasakan kehadirannya itu. Padahal Evan seharusnya pergi ngojek untuk cari uang dua juta, namun ia tunda demi menemui Zahra.
"Ra…," Evan memanggil lirih.
"Apa?" Zahra hanya menaikkan alisnya, namun bola mata terus tertuju smartphonenya.
"Taruh dulu dong HPnya, aku udah capek-capek kesini, kamu malah asyik main HP"
Zahra terpancing perhatiannya. Ia taruh smartphone itu di meja.
"Aku juga capek, Van. Ini aku baru bisa keluar dari rumah sakit, seharian aku nungguin ibu. Untung aja adik aku bisa datang, jadi bisa gantian. Lagian…."
Rasa lelah dan penat yang seharian Evan derita tiba-tiba lenyap seketika saat Zahra mengeluhkan juga tentang harinya.
"Oke, oke. Maaf…" Evan memotong ucapan Zahra yang mulai bernada sinis itu.
"Iya, aku juga minta maaf. Aku pusing…" ucap Zahra.
"Gimana kondisi ibu sekarang?" lanjut Evan mengganti topik pembicaraan.
"Udah membaik. Besok kemungkinan bisa pulang, tapi masih harus selalu didampingi. Ngga bisa ditinggal-tinggal," sambungnya.
Evan tak bereaksi. Ia memilih menatap wajah gadis yang sebentar lagi akan menjadi istrinya itu. Dengan kacamata frame tipis kotak dan rambut lurus sebahu, Zahra selalu mengingatkannya pada artis-artis jaman dulu tahun 90an. Posturnya ideal mirip Desi Ratnasari. Ia merasa bersyukur sekali sebentar lagi gadis berkulit putih mirip oriental itu akan menjadi istrinya. Dalam tatapannya itu ia berdoa semoga Zahra selalu dimudahkan urusannya, karena ia tahu Zahra sedang mengalami masa-masa sulit dalam hidupnya.
"Ini minumannya, Mas Evan…"
Tika datang memecah suasana.
Evan yang sudah haus itu minum satu teguk minuman yang sudah tersaji di depannya.
Zahra gantian memandangi Evan yang sedang meneguk minumannya itu.
"Van…"
"Hmmmh?" jawab mulut Evan dari balik gelas.
Zahra nampak berat ingin mengutarakan sesuatu. Wajahnya memelas.
"Mmm… Gimana, kamu bisa bantu aku kan?"
Evan menaruh gelasnya di meja.
"Kamu butuh berapa lagi?" tanya Evan.
Zahra meremas-remas jemarinya sendiri, bak seorang mahasiswi akan menjawab sidang ujian skripsi.
"Tadi aku sempet tanya ke pihak rumah sakit, katanya habisnya sekitar satu juta lima ratus," kata Zahra dengan wajah tertunduk ragu.
"Harus sekarang?"
"Ya maksimal besok pagi, kan besok ibu udah boleh pulang."
Wajah Evan pucat seketika. Belum juga ia harus mencari uang dua juta untuk hutangnya ke pihak kantor, kini ia harus mencari uang satu setengah juta untuk biaya pengobatan ibunya Zahra. Hutangnya yang dua juta itupun sebenarnya adalah untuk kebutuhan pengobatan ibunya Zahra juga beberapa waktu yang lalu.
"Lusa aku mau urus hutang ke bank"
"Buat apa?"
"Ya buat bayar hutang-hutangku ke kamulah."
"Nggak usah. Sekarang yang penting gimana supaya ibu sembuh dulu. Masalah hutang ke aku itu gampang," jawab Evan.
Pipi Zahra memerah. Terharu dengan ucapan Evan.
"Maaf ya Evan, kita belum nikah tapi aku udah sering banget ngerepotin kamu begini. Kalau aja ada orang lain yang bisa bantu aku, pasti…"
"Kalau sampai ada orang lain yang bantu kamu duluan, aku justru marah, Zahra."
Evan menatap Zahra dengan serius.
"Aku ingin kamu jadi istriku itu bukan hanya karena aku mencintaimu, tapi aku juga berusaha untuk mencintai keluargamu."
Zahra tersenyum manis. Air matanya perlahan menetes.
"Ya udah kalau gitu, aku harus pergi dulu sekarang. Biar besok pagi aku bisa kasih uang itu buat biaya ibumu."
Evan bangkit berdiri.
"Kentangnya gimana? Kan udah aku pesenin," tanya Zahra.
"Buat kamu aja. Udah ya, aku pamit dulu."
Evan meninggalkan Zahra dengan langkah pasti meski apa yang akan ia lakukan belum pasti menghasilkan sesuai target nominal uangnya.
Tapi Evan yang ambisius itu akan berusaha mati-matian malam ini demi Zahra.
Ya, demi Zahra.