Marion terduduk di sofa ruangan khusus miliknya. Sebegitu mudahnya ia mendapatkan pekerjaan ini, dan fasilitas yang diberikan William padanya, meski bagi sebagian besar orang pastilah menyenangkan, tetap saja baginya terkesan aneh dan berlebihan.
Bukankah ia hanyalah asisten pribadi? Meski William dengan jelas mengatakan bahwa tugas Marion adalah sepanjang hari, mulai dari kantor sampai ke rumah, rumah sampai ke kantor, tetap saja semua ini tak bisa diterima oleh nalarnya.
Memangnya apa kerjanya seorang asisten? Bukankah hanya melayani kebutuhan ... sial! Otak Marion memproses hal lain ketika kata 'melayani kebutuhan' itu mampir di rongga kepalanya. Dan yang lebih mengerikan, ia bahkan membayangkan bagaimana dirinya yang notabene memiliki postur tubuh minimalis, lantas melayani William yang berukuran jauh lebih besar dibanding dirinya.
Mungkin ia akan mati kelelahan karena seperti yang ia bayangkan, dengan postur semacam itu, pastilah William memiliki gairah dan stamina yang tidak main-main.
Seketika Marion bergidik ngeri. "Damn it! Enyah kau, pikiran kotor! Jangan pernah datang lagi ke kepalaku karena aku tak segan untuk—"
"Untuk apa, Nona Alsen? Dan siapa yang kau hardik itu? Apakah diriku?"
Suara bariton yang terdengar berat dan penuh penekanan itu membuat bulu kuduk Marion meremang. Segala pikiran mesum yang semula sempat menghilang, justru kini bermain liar di kepalanya.
"T-tidak, Pak. Bukan anda yang—"
"Sudahlah, tak penting." William meletakkan beberapa lembar kertas di atas meja. Tatapan dingin tanpa ekspresi ia hunjamkan pada Marion yang berusaha menghindar. Bukan lantaran takut, melainkan tak ingin William membaca pikirannya.
Namun, apa yang ia cemaskan adalah sebuah kebenaran. William memang bisa membaca isi kepala Marion beberapa menit lalu. Namun, ia tidak terlalu tertarik untuk menanggapi, karena gadis itu bahkan tak ingat bahwa ia dan William sudah melakukannya dan nyatanya kini ia baik-baik saja.
"Itu adalah surat perjanjian kontrak yang harus kau tanda tangani. Bacalah dengan saksama, tanyakan apa saja yang ingin dan perlu kau tanyakan. Langsung padaku. Jangan tanyakan pada orang lain selain diriku." William melanjutkan kalimat sebelumnya.
Marion masih belum menunjukkan reaksinya selain hanya meraih surat perjanjian di hadapannya.
"Satu lagi. Seluruh isi perjanjian itu, tak ada yang boleh mengetahuinya. Karena itu adalah rahasia antara kita berdua. Apakah kau mengerti?"
Marion mencebik. "Hmm ... entahlah apakah aku mengerti atau tidak. Aku harus membaca dulu isi surat ini, kan? Bagaimana jika aku menolak beberapa pasal yang tertulis? Apakah aku akan dibebaskan dari pekerjaan ini?"
"Bacalah, maka kau akan tahu."
William berbalik, tak menunggu reaksi lanjutan dari gadis itu. Ia tak butuh itu semua karena apa yang diinginkannya sudah ia dapatkan. Ia hanya menunggu Marion menyerahkan kembali surat itu dengan tanda tangan telah terbubuh di atasnya. Atau bisa saja Marion datang padanya untuk menanyakan sesuatu, atau ....
Sial!
Baru saja ia terganggu dengan apa yang dipikirkan Marion, yang secara tak langsung juga ia pikirkan. Bahkan sebelum terbersit pikiran di kepala gadis itu, ia sudah memikirkan lebih dulu. Bedanya, William tidak membayangkan hubungan mereka sesulit itu. Bukankah mereka berdua sudah pernah merasakannya?
Saat itu bahkan Marion menunjukkan bahwa dirinya juga menikmati pergumulan mereka. Lantas di mana bagian sulitnya?
Tentu saja tak ada di mana pun. Mereka sama-sama merasakan pelepasan itu, William tahu itu dan bisa merasakan kalau gadis itu juga menikmatinya. Meski tentu saja pada mulanya semua sulit, karena Marion masih perawan, dan William adalah pria beruntung karena baru pertama kali melakukannya dengan seorang wanita dan ia mendapatkan barang yang masih tersegel.
Perfecto!
Kesempurnaan yang tak akan dengan mudah didapatkan oleh pria lain. Namun, ini pantas diperoleh oleh William, atas penantian panjangnya sekian lama. Ia tak merasa bersalah, justru bangga dan patut berterima kasih pada Marion. Entah dengan cara apa, ia akan pikirkan nanti.
Belum sempat dirinya meletakkan bokong di atas kursi kebesarannya, terdengar suara wanita yang tengah beradu argumen dengan beberapa pengawalnya di luar ruangan, yang pada akhirnya, tentu saja wanita itu menang dan bisa merangsek masuk ke ruangan William.
Mengapa ia harus lewat pintu depan? Bukankah ruangan mereka sudah tersedia pintu penghubung?
"Apa-apaan ini, Tuan Reynz, bisa kau jelaskan padaku!?" gadis itu melempar map berisi lembaran kertas itu ke atas meja William, yang membuat isinya terburai berserakan.
William masih tenang, yang bagi Marion itu hanya sebuah kepura-puraan karena para pengawalnya kini tengah berada di ruangan yang sama dengannya dan Marion.
Gadis itu berkacak pinggang, menanti jawaban bosnya yang tak segera bereaksi, melainkan memberi isyarat pria-pria berjas hitam yang mematung di ruangan, agar segera keluar dan meninggalkan dirinya hanya dengan Marion.
"Bagian mana yang butuh penjelasan?" tanya William, tenang. Namun, tak pudarkan kesan angkuh dan arogan yang sudah terpatri di kepala Marion tentang bosnya itu sejak awal.
"Semuanya. Hampir semuanya! Pekerjaan macam apa ini? Kau todak sadar perjanjian itu sangat kotor dan menjijikkan!"
"Benarkah? Kau sudah baca dengan baik?"
"Sudah! Dan itu membuatku mual. Apa sebenarnya yang ada di pikiranmu?"
William beranjak dari tempatnya, melangkah mendekat pada Marion yang masih dengan posisi dan pose semula. Ia masih tak terima dengan isi kontrak yang baginya menjijikkan.
Kini William berdiri di hadapan Marion, menatap manik hazel itu dalam-dalam. "Bagian mana yang menjijikkan?"
William tidak merasa itu menjijikkan, karena itu adalah pekerjaan yang memang ia tentukan untuk Marion. Hanya untuk Marion. Ia bahkan tidak pernah memberikan tugas semacam itu untuk wanita lain.
"B-bagian yang ... yang ...." Marion sungguh ingin mengutuk dirinya sendiri saat ini. Berdiri berhadapan dengan William dan ia tak bisa berkutik, bahkan berucap pun ia tergagap seperti orang bodoh.
Bagaimana tidak? William kini berdiri tegak di hadapan Marion. Benar-benar tegap di depannya, berjarak sedikit, bahkan Marion bisa menghidu aroma cedarwood yang bisa ia pastikan adalah aroma parfum pria itu.
Marion menelan salivanya sekuat tenaga. Kini ia tak bisa berkedip kala manik kecoklatan itu mengunci maniknya. Juga berhasil mengunci mulut dan persendiannya. Tubuhnya kini terasa seolah tak bertulang, nyaris limbung jika lengan kokoh itu tidak segera menopangnya.
"Aku masih menunggu jawabanmu, Nona Alsen. Bagian mana yang membuatmu berpikir bahwa isi kontrak itu menjijikkan?"
Marion mengerjap sebentar. Ia masih berada dalam rengkuhan lengan William dan tak ingin melepaskan diri. Ia merasa ... nyaman berada di sana.
"Ada kata 'melayani' di sana. Melayani dengan tanda kutip yang mencurigakan," ucapnya, lirih. Bahkan nyaris tak bersuara dan hanya desah memalukan yang keluar dari mulutnya.
Memalukan bagi Marion, tetapi tidak bagi William yang justru merasa itu semua menggugah gejolak lain dalam dirinya. Kini William yang susah payah berusaha menahan dorongan itu, sekali lagi. Dan sepertinya seterusnya ia harus melakukannya, agar ia tidak membuat gadis itu takut dan justru melarikan diri darinya.
"Baca sekali lagi, semuanya. Dan pahami, baru datang lagi kemari. Aku tidak ingin kau buang waktuku seperti ini lagi hanya karena kemampuanmu dalam membaca dan memahami itu sangat menyedihkan." William melepaskan rengkuhannya, tiba-tiba. Membuat Marion kembali terhuyung dan nyaris tersuruk. Untungnya ia segera menegakkan tubuh agar bisa kembali berdiri tegak.
Dan ucapan William berikutnya membuat manik Marion membelalak liar dan tak mampu menahan sumpah serapah yang menggantung di lidahnya.
"Pergilah. Kau boleh kembali hanya jika sudah memahami seluruh isi kontrak dan menanda tanganinya. Kau wajib menanda tanganinya tanpa alasan."
What the fuck!