Tiga pria dengan sorot mata berbahaya berkumpul di sebuah ruangan, duduk mengitari meja bundar yang cukup besar. Tatapan mereka saling menilai.
Seorang pria berambut pendek, mengenakan kaus pendek tipis, menarik napas dalam. Dua pria lain, seorang pria berambut gondrong dan pria berambut ikal panjang yang diikat asal berwarna merah, menatapnya, menunggu.
"Baiklah. Jadi, kita sepakat, tidak akan ada lagi yang boleh melanggar daerah kekuasaan satu sama lain," pria berambut pendek berkaata.
Si pria gondrong mengangguk cuek, sementara si rambut panjang tampak tak begitu puas.
"Dan jika ada yang melanggar?" tuntut pria berambut panjang.
"Penguasa daerah itu bisa memutuskan hukumannya dan tidak ada yang berhak ikut campur," jawab pria berambut pendek.
Pria berambut panjang mendengus pelan, lalu mengangguk dan bersandar di kursinya. Ia mengenakan kaus tanpa lengan, membuat tato naga di lengan atasnya tampak jelas.
"Satu tambahan lagi," pria berambut pendek melanjutkan.
"Jangan menambah-nambahkan sesukamu," protes si rambut gondrong tak suka. Ia melipat lengan di dada, membuat bisepnya tercetak jelas di balik kaus hitam yang dikenakannya.
"Ini juga akan menguntungkan kalian," ucap si rambut pendek.
Pria berambut panjang menyipitkan mata. "Apa maksudmu?"
Si rambut pendek menatap pria berambut panjang. "Jangan sentuh orang pentingku."
Si rambut panjang mendengus meledek. "Apa itu menguntungkan bagiku?"
"Kudengar, kau diam-diam sudah menikah," sebut pria berambut pendek.
Tak ada jawaban, tapi ekspresi keras di wajah pria berambut panjang itu sudah cukup menjelaskan.
Si rambut gondrong menghela napas dramatis. "Aku belum menikah, aku tak punya orang penting. Apa untungnya itu bagiku?"
"Kalau begitu, kau bisa mencoba. Jika kau menyentuh orang pentingku, aku akan menghancurkan semua orangmu," tandas si rambut pendek.
Si rambut gondrong memutar mata. "Kau selalu saja suka membuat semuanya rumit."
"Jadi, kita sudah sepakat?" si rambut pendek memastikan.
Si rambut panjang mengangguk singkat, lalu berdiri dan pergi begitu saja.
"Iblis licik itu sungguh harus belajar sopan santun," celetuk si rambut gondrong. Ia lalu menatap si rambut pendek. "Tapi, apa Rencanamu setelah ini?"
Si rambut pendek tak menjawab dan berdiri dari duduknya.
"Kau juga sebaiknya belajar sopan santun!" seru si rambut gondrong kesal ketika si rambut pendek meninggalkan ruangan itu.
***
Malam tampak gelap, tanpa bintang, gerimis mulai turun. Jalanan menuju puncak itu tampak lengang. Tak satu pun kendaraan lewat. Hanya ada dua mobil di jalan itu.
Satu mobil sedan berpenumpang tiga orang tampak rusak parah menabrak tebing. Bagian depannya ringsek setelah bertabrakan dengan Rover yang berhenti tak jauh darinya. Di dalam sedan itu, tampak ketiga penumpangnya juga terluka parah. Sopirnya tak sadarkan diri dalam kondisi kepala berdarah, sementara di kursi belakang, seorang pria tua juga kehilangan kesadaran. Kaca jendelanya pecah, sementara darah terus mengalir dari pelipisnya.
Hanya satu penumpang yang masih setengah sadar. Seorang gadis muda dengan gaun putih yang kini berubah merah karena darahnya, mengerang kesakitan.
"Papa …" ia memanggil lemah.
Pria tua di sebelahnya, perlahan mendapatkan kesadarannya kembali dan mengerang pelan. "Carol … kau harus pergi," ucapnya lemah.
Gadis itu menggeleng.
"Kau harus pergi … kau harus selamat. Nanti … jika Papa sudah meninggal … kau baru boleh kenbali …"
Gadis itu menggeleng keras sembari terisak. "Papa, aku tidak akan pernah meninggalkan Papa dan kita akan baik-baik saja."
"Tidak … kau harus pergi. Hanya dengan begitu kau akan selamat." Pria tua itu tampak kesulitan bernapas. "Ingat. Kau baru boleh kembali … hhh … setelah Papa tiada. Karena begitu Papa meninggal … kau akan mewarisi seluruh kekuasaan Papa. Saat itulah … kau akan aman. Karena itu … Papa harus mati agar kau bisa hidup …"
Gadis itu terisak semakin keras dan menggenggam tangan papanya, tapi papanya melepaskan genggaman tangannya dan mendorongnya pergi dengan sisa tenaganya.
"Cepat … pergi …" desak pria tua itu.
Gadis itu masih enggan beranjak hingga ia mendengar suara pintu mobil dibanting. Dilihatnya, pengemudi Rover yang menabrak mobilnya tadi sudah turun dan menghampirinya. Ia mengenali pengemudi Rover itu.
"Pergi … Carol …" ucap papanya untuk terakhir kalinya, sebelum papanya kehilangan kesadaran.
Gadis itu sudah akan pergi, tapi pintu di sampingnya sudah terbuka lebih dulu. Lalu, pria dengan wajah tegas dan tatapan kejam itu membungkuk untuk berbicara padanya,
"Adikku yang malang."
Si gadis tampak marah, air mata yang jatuh ke pipinya berwarna merah, bercampur darah.
"Seharusnya, kau tidak boleh hidup. Kenapa kau masih hidup?" Pria itu tersenyum dingin. "Merepotkanku saja."
Gadis itu menggerakkan tangannya ke belakang, merasakan tusukan kaca di tangannya, lalu menggenggam pecahan kaca itu dan mengayunkannya ke depan. Namun, pria yang diserangnya itu dengan sigap menghindar dengan melompat mundur.
Memanfaatkan itu, gadis itu turun dari mobilnya dan dengan langkah terpincang, ia berusaha menjauh dari pria berbahaya itu.
"Kau mau pergi ke mana dengan keadaan seperti itu? Jangan coba-coba kabur dariku. Bagaimanapun juga, kau akan mati malam ini, Dik."
Gadis itu terus berusaha berlari dengan kaki pincangnya tanpa menoleh ke belakang. Ia keluar jalan, menuruni lembah di sisi jalan yang mengarah ke hutan pinus. Namun, karena lembahnya cukup curam dan dengan keadaan kakinya yang terluka, pijakannya goyah.
Gadis itu terpeleset dan akhirnya jatuh berguling ke bawah. Seluruh tubuhnya terasa sakit, tapi hatinya terasa lebih sakit. Amarah memenuhi dadanya ketika ia mendengar suara tawa kejam dari atas sana.
Ia tidak akan mati. Ia bersumpah, apa pun yang terjadi, ia tidak akan mati.
***
Troy dalam perjalanan menuju restoran tempatnya bekerja ketika melihat wanita tua yang punggungnya sudah bungkuk, menyapu di tepi jalan. Troy mendekati wanita itu dan menyapanya,
"Nek, kalau keluar rumah sepagi ini, jangan lupa pakai jaket. Cuacanya sangat dingin."
Wanita tua itu tersenyum. "Kau mau berangkat kerja?"
Troy mengangguk, lalu melepas dan menyampirkan jaket ke bahu wanita tua itu, meninggalkannya hanya dengan kaus hitam lengan pendek.
"Jangan melakukan ini lagi. Aku sudah punya selusin jaketmu di rumahku," omel wanita tua itu.
"Itu karena Nenek tidak pernah mendengar kata-kataku untuk memakai pakaian tebal dan hangat," Troy balas mengomel.
Wanita tua itu tertawa dan mengucapkan terima kasih. Troy akhirnya melanjutkan langkah menuju restoran. Troy mengecek jam tangannya. Masih jam enam kurang. Karena restoran tempatnya bekerja sudah buka sejak pagi untuk para pelanggan setianya, Troy harus berangkat sepagi ini. Sebenarnya, restoran itu bisa dibilang lebih seperti tempat amal.
Langkah Troy seketika terhenti ketika mendengar suara rintihan pelan dari sisi jalan. Troy menoleh, menatap kebun di sisi jalan. Bisa dibilang, itu hutan, meski anak-anak sini menyebut itu kebun sebagai tempat bermain mereka. Namun, kebun itu berujung pada hutan.
"Tolong … aku …" Suara itu kembali terdengar.
Lalu, seorang gadis berambut panjang berantakan hingga menutup sisi wajahnya, muncul dari balik pohon. Gadis itu berpegangan di salah satu pohon, langkahnya tertatih ketika dia mendekat ke arah Troy.
"Tolong …"
Troy mengernyit melihat gaun putih yang dikenakan gadis itu berbalur merah darah. Ketika gadis itu mulai kehilangan kekuatan di kakinya dan hampir tersungkur ke depan, Troy melompat ke arahnya dan menangkap tubuhnya.
Di pelukan Troy, kesadaran gadis itu meninggalkannya.
***