"Bagaimana sekolah kamu seminggu ini, Ly?" Tanya Bu Fitri, Bundanya Lyta. Saat ini Lyta tengah makan malam bersama keluarganya.
"Alhamdullilah lancar, Bun. Lyta mulai nyaman sekolah di sana." Ucap Lyta sembari tersenyum.
"Alhamdulillah kalau begitu. Kalau masalah pergaulan bagaimana? Kamu bisa beradaptasi kan?" Tanya Ayah Lyta.
"Ayah dan Bunda tenang aja, Lyta sudah bisa menyesuaikan diri dengan mereka. Teman-teman Lyta baik semua kok,"
Ayah dan Bunda Lyta menimpali ucapan putrinya dengan senyum mengembang. Mereka sebenarnya agak cemas mengingat putrinya yang satu ini sangat pemalu.
"Kamu nggak malu-maluin kan, dek?" Tanya Brian, kakaknya Lyta
"Maksud Abang?"
"Ya maksud Abang, kamu kan pemalu banget tapi nggak sampai malu-maluin kan?"
"Ish Bang Ian mah gitu. Ya nggak lah, Lyta mah malunya masih dalam kadar normal kali." ucap Lyta sambil mencebikkan bibirnya.
Orang tua mereka hanya bisa menggelengkan kepala melihat kelakuan kedua anaknya. Entah mengapa setiap berkumpul selalu ada saja hal-hal yang diperdebatkan. Dari mulai masalah sepele hingga yang tidak penting sama sekali.
"Udah kenalan sama cowok ganteng belum?" Tanya Brian menggoda.
Makanan yang harusnya masuk ke kerongkongan seketika nyasar ke tenggorokan setelah mendengar pertanyaan Abangnya.
"Pelan-pelan, sayang," ucap Bunda sambil mengangsurkan air minum dan menepuk pelan punggung Lyta.
"Kenapa sampai keselek gitu? Oh, pasti udah nemu cogan ya?"
"Bang Iiaann, nyebelin banget sih."
"Loh, Abang kan cuma nanya dek, emang salah?" Tanya Brian dengan muka sok polosnya.
Brian masih sibuk menggoda adiknya. Sedangkan yang digoda semakin kesal dengan tingkah kakaknya.
"Hati-hati kalau bergaul. Jangan pacaran. Pacaran nggak akan bikin pahalamu bertambah, justru kamu malah nabung dosa." ucap Brian bijak secara tiba-tiba.
"Hah?! Ini Bang Ian? tumben bijak banget. Salah makan Bang?" ucap Lyta sambil bertepuk tangan.
"Huss, jangan begitu sama kakakmu. Yang dibilang Bang Ian itu benar. Jangan sampai kamu terbawa pergaulan bebas." ucap Bunda menasihati.
"Iya, Bun. Maaf."
"Sudah-sudah. lanjutkan makan malam kalian dan segera belajar." titah Ayah Lyta.
Semua kembali diam menikmati makan malam mereka masing-masing.
****
Arka POV
Sejak kejadian tabrakan seminggu yang lalu, entah mengapa aku malah selalu memikirkannya. Aku merasa dia berbeda. Jilbab yang terulur panjang menjadi daya tarik tersendiri bagiku. Walaupun aku bukanlah cowok yang agamis, namun aku juga bukan termasuk siswa yang suka membuat ulah. Bahkan sudah beberapa kali aku menyumbangkan piala untuk sekolah dalam olimpiade matematika dan fisika juga basket (Arka jumawa wkwkwk).
"Bang turun. Makan malamnya udah siap," teriak Nabila, adikku dari luar kamarku.
"Ya bentar," sahutku.
Aku segera turun ke ruang makan dan langsung mendudukkan diri di samping Mama.
"Gimana sekolah kamu, Ka?" Tanya Papa
"Lancar Pa." jawabku singkat
"Yang fokus sekolahnya. Nanti setelah kamu lulus, kamu yang bakal nerusin perusahaan Papa."
Seketika aku menghentikan makan malamku. Dari dulu aku memang tidak terlalu minat masuk ke dunia bisnis.
"Pa, Papa kan tahu kalau Arka nggak suka dunia bisnis." ucapku datar.
"Iya, Papa tahu. Tapi kalau bukan kamu, lalu siapa lagi? Rio lebih memilih jadi pilot. Dan Papa tidak mungkin memberikan perusahaan kepada adikmu, Ka." jelas Papa.
"Tapi aku nggak suka, Pa!" ucapku sedikit membentak.
"Aku sudah selesai. Aku mau ke kamar." sambungku sambil berjalan menuju kamarku. Semua orang yang ada di sana hanya diam memerhatikan kepergianku.
Di dalam kamar aku mencoba untuk meredam rasa kesalku kepada Papa. Aku tidak habis pikir, Papa selalu saja memaksaku untuk melakukan apa yang menjadi keinginannya. Lelah bergelut dengan fikiran, akhirnya aku memilih untuk mengistirahatkan badan lebih awal.