DOKUMEN palsu selesai dibuat Medina tadi malam. Dan hari ini, adalah aksi Majhar untuk menjadi Tukang Pos palsu guna memberikan dokumen yang diinginkan Tano.
Teet! Tett!
Majhar menekan tombol rumah Tano.
Tano yang kebetulan sedang di rumah, membuat Majhar tertarik untuk datang langsung dan tak menyuruh orang lain.
"Apakah itu dari Polisi? Tolong lihat," pintanya kepada pelayan wanita di rumahnya.
"Baik, Pak."
Pelayan itu pun menghampiri Majhar yang membawa bok seukuran kepala.
"Akh!" Majhar pura-pura terjatuh.
"Eh? Pak? Tidak apa-apa?" tanya Pelayan wanita itu.
"Ti-tidak. Ini karena tali sepatuku. Ah, tolong beritahu. Ini paket dari Kepolisian."
"Baik. Terima kasih," katanya sambil menutup pintu .
Majhar pun pulang sambil menarik satu sudut bibirnya. Matanya terlihat setajam elang dan langsung menghubungi Medina.
"Medina, aku sudah memasukkan perangkap pertama di rumahnya," katanya lalu menutup teleponnya dan langsung menjalankan kembali motor yang dikendarainya.
Setelah Majhar pulang, Medina memberikan box tersebut kepada Pak Tano. Dia langsung membukanya di depan Sekertaris Yuda dan dua penjaganya.
"Hahaha! Sepertinya ini yang aku mau!" kata Tano sambil tertawa percaya diri.
Tano membuka pelan-pelan perekat yang membuatnya jengkel.
Brak!
"Buka!" pintanya pada Sekertaris Yuda dengan marah.
Majhar dan Medina sengaja membuat perekat itu sangat kuat agar Tano kesal.
"Ini, Pak," kata Sekretaris Yuda sembaru berhati hati.
"Apa ini? Kenapa ini gosong?! Aku bahkan tak bisa melihat apapun jika dokumennya seperti ini! Argh!"
"Tenang, Pak. Polisi hanya memberikan bukti yang didapat dari lokasi TKP."
Plak!
"Kamu berani sekali menceramahiku? Kamu ingin mati?!" kata Tano sambil menampar Sekertaris Yuda.
"Mana? Di mana Pelayan itu?"
Pelayan wanita tadi pun menghampiri Tano dengan tubuh yang mengkerut takut. "Ya, Tuan," katanya.
Plak!
Tano menampar pelayan tersebut dengan tangan kanannya, membuat pelayan itu terjatuh sambil memegangi pipinya. "Ma-maafkan saya, Tuan," katanya memohon ampun dengan kedua tangan yang di usap gisikkan.
"Pergi!" teriaknya kepada Pelayan wanita itu.
"Kalian semua pergi! Dasar tidak ada yang berguna!" sentaknya.
Mereka pun pergi dan kebetulan berpapasan dengan Kenzo.
"Ayah?" kata Kenzo yang menyapa Tano.
Tano yang tadinya marah, berubah menjadi ceria karena melihat Kenzo. "Anakku! Kamu sudah pulang?"
"Ada keributan apa ini? Kenapa dengan mereka?" tanya Kenzo khawatir.
"Ah, tidak ada yang serius. Mereka hanya melakukan kesalahan di Perusahaan. Aku hanya memperingatinya sedikit," katanya.
"Benarkah? Jangan marah-marah nanti cepat tua. Ayah, apakah ada yang bisa aku bantu?" tanya Kenzo sambil melepas tasnya.
"Hahaha! Anakku memang cerdas dan bisa diandalkan. Saat kamu dewasa, aku akan membuatmu hidup menjadi pemilik Perusahaan keluarga kita. Kali ini, belajarlah yang giat seperti biasanya," katanya sambil mengusap punggung Kenzo.
"Benarkah? Kalau begitu aku akan rajin belajar, Ayah," ucapnya antusias.
"Iya! Iya! Pintar sekali anakku ini," ucapnya. "Ah, Kenzo. Kakekmu memintamu supaya datang ke rumahnya. Jangan menjauhi kakek setelah nenek meninggal, ya. Datanglah. Dia tidak sesibuk dulu, Kenzo," sarannya yang diangguk Kenzo dengan lembut.
Kenzo pun masuk ke kamarnya. Dia merenung sembari berbaring di kasur. Dia memang tak mau ke rumah itu lagi karena neneknya yang paling baik dan perhatian kepadanya, sudah tidak ada. Melihat rumah itu terasa melihat luka. Di dalamnya memang dipenuhi keceriaan dengan sang nenek. Tapi Kenzo takut terlihat cengeng saat baru melihat pintu luarnya saja.
Kenzo dapat membayangkan sosok neneknya ketika dia berkunjung, wanita tua yang sekarang sudah terkubur ke bumi itu selalu menunggunya saat hidup.
"Kalau aku cengeng, kakek akan memukulku dengan tongkat yang digunakannya untuk memukul Ayah dan Paman. Apakah nenek juga dipukul?" batinnya penuh tanya. Dan tak sengaja tertidur lelap.
Kemudian, Medina dan Majhar sudah mendengar raungan kesal Tano karena isi dokumennya terbakar. Tapi dia tetap tidak tahu, jika dokumen itu palsu. Medina tak berhenti menyeringai senang. Tapi Majhar, memiliki tatapan berbeda. Dia terlihat mengeratkan tangannya kuat. Rasa kesal di dada, seakan meminta sumbu supaya lari membakar Tano.
Medina yang melihat hal itu, langsung memegang tangan yang mengepal. Tangan Majhar langsung dia kembalikan ke semula. Dan matanya tak kembali bersinar walau sedikit.
"Kamu menyimpan penyadap suara ini di mana? Ini cukup jauh untuk mendengar percakapan penting. Tapi karena Tano berteriak, kita bisa mendengarnya."
"Aku menempelkannya di ruang tamu dekat pintu luar. Aku tidak tahu seisi rumahnya seperti apa, Medina. Tapi, seperti katamu. Aku menempelkannya tidak dekat dengan Tano. Tapi ini sudah berjalan baik, ya. Kita sangat berusaha untuk sampai sini juga," jawabnya sambil mengangguk anggukan kepala.
"Pelayannya tidak melihatnya?"
"Aku pura-pura terjatuh, haha!"
"Hahaha! Ada-ada saja," kata Medina.
Majhar dan Medina merasa nyaman satu sama lain, untuk balas dendam ini. Mereka selalu tersenyum bahagia dikala rencananya berjalan lancar. Tapi keduanya selalu mempersiapkan cadangan untuk berjaga-jaga. Menurut Medina, rencana tanpa cadangan, akan membuat mereka kesulitan jika keduanya kecewa dengan aksi tanpa cadangan.
"Sekretaris Yuda, antar aku ke kantor. Kita harus membicarakan sesuatu!" teriaknya yang membuat Majhar dan Medina membelalakan matanya kepada CCTV di kantor.
Majhar dan Medina tidak yakin pembicaraan apa yang akan mereka katakan. Tapi ada baiknya, penting atau tidak harus mereka ketahui. Agar bisa menancapkan bukti yang membuatnya menjadi tali panas yang membunuhnya.
Medina dan Majhar menunggu cukup lama untuk melihat Tano berada di kantor. Dan saat pintu terbuka, Tano pun duduk di kursi nya bersama Sekretaris Yuda dan dua penjaganya.
Majhar meyakini, jika hanya mereka yang diajak berbicara, ada kemungkinan bahwa Tano akan membicarakan rencana atau keberhasilan yang tak baik.
"Seperti kata Sekretaris Yuda, ada seorang wanita muda yang terus menerus memberikan pesan secara spam. Dia mengatakan akan membalaskan dendamnya padaku. Sekretaris Yuda, masih belum menemukan siapa orangnya. Misi kita adalah, cari siapa dia. Dimana dia tinggal. Siapa keluarganya. Cari sampai dapat! Dan kita lakukan seperti Zaki dan anaknya kemarin!" perintahnya kepada tiga orang laki-laki di hadapannya.
Setelah mendengar hal itu, Medina menutup mulut dan telinganya. Dia terjatuh dari kursinya sambil menutup telinga dan meringis seperti kesakitan. Bahkan saat Majhar menghampirinya, Medina selalu mundur dan tak ingin disentuh.
Medina langsung membayangkan saat dirinya berjalan di kegelapan, dan malah menemukan Zaki yang dibekap dengan kain. Kemudian, seluruh tubuhnya sudah bersimbah dengan darah. Dan dirinya yang ditendang sampai memuntahkan darah. Sampai tubuhnya masih lebam hingga kini. Memori mengerikan ini, tak ingin dirinya lupakan. Tapi Medina tak mau memori tersebut ikut menyakitinya.
"Medina, tenanglah. Aku ada di sini," katanya sambil menghampiri Medina.
"Pergi! Jangan sentuh aku!
"Medina," lirihnya.
"Arghhhh!!"