ดาวน์โหลดแอป
25% Darah Terakhir / Chapter 3: Mengejar Medina

บท 3: Mengejar Medina

MENTARI sudah melambai Medina sejak pagi. Bukan supaya dirinya bangun. Tapi supaya Medina berhenti melamun dan tak mengabaikan bubur yang sudah dingin. 

Tapi Medina tak membalas lambaiannya itu. Dia berjalan pelan-pelan untuk melihat banyak hal yang dapat dilihat setelah berduka. Dia ingin tahu, apakah dunia tetap berjalan atau merasakan hal yang sama dengannya. 

Medina menyandarkan kepala di jendela lantai atas itu. "Kenapa dunia tidak berhenti sejenak saat aku menderita? Kenapa hanya aku?" batinnya. 

"Gadis gemuk itu kenapa suka tidur, sih? Pantas saja tubuhnya menjijikan." 

Medina sudah beberapa kali mendengar perkataan menyakitkan anak laki-laki Bu Alin sejak pagi tadi. Dia tidak menyukai keberadaannya. 

Bu Alin ingin Medina tinggal dengannya setelah kedua orang tuanya tiada. Bukan karena hanya tetangga. Tapi Bu Alin dan Papanya merupakan teman masa kecil. 

Tok! Tok! 

"Medina, apakah kamu sudah bangun?"

"Aku akan memakan buburnya sekarang." 

"Biarkan aku ganti dengan yang baru, ya," kata Bu Alin. Mengambil bubur tersebut. 

"Tidak perlu, Bu. Aku akan makan ini saja," jawab Medina dengan sudut bibir yang terangkat naik. 

"Biarkan saja dia, Bu. Manja sekali, sih," celetuk anak laki-lakinya itu. 

Bu Alin memukul bahu anaknya itu walaupun yang berulah adalah mulutnya. Sedangkan Medina, dia tetap makan dengan ekspresi yang datar. 

"Ma-maaf, ya, Medina. Aku akan memarahinya jika hal barusan terjadi lagi," ucap Bu Alin merasa bersalah. 

"Tidak apa-apa, Bu." 

"Kalau begitu, Ibu tinggal dulu, ya," kata Bu Alin yang dibalas anggukan Medina. 

Setelah Bu Alin menutup pintu kamarnya, Medina mengambil kertas yang belum sempat dia baca. Betapa terkejutnya Medina. Isi dari surat itu adalah tentang Tano yang merupakan pembunuh Papanya. Tak hanya itu, tapi tempat tinggal, keluarga dan maksud dari pembunuhan Papanya. Seseorang menuliskannya dengan cukup detail di kertas tersebut. 

"Siapa yang memberikanku ini? Lalu, kenapa dia tahu semuanya?" batinnya bertanya. 

Diremasnya surat tersebut. Amarah Medina merasa harus meledak di sini. Dan kepalanya, tiba-tiba pusing. Telinganya berdengung. Bayangan tentang jeritan malam itu, teringat kembali. Jujur, Medina sangat amat tersiksa. 

Gadis itu melangkah pergi menuju rumah yang setengah kebakaran kemarin. Dia ingin mencari sesuatu yang takut Tano curi seperti isi dari surat tersebut. 

Medina menuju ke kamar tidur Papanya dan membuka lemari baju dan beberapa laci. Lalu, saat dia membuka laci ketiga, tampak map penting namun tidak terdapat dokumen itu. 

Seketika, tubuh Medina tergeletak lemah. Ternyata Tano mengincar dokumen itu. Namun Medina memang belum mengerti isi dari dokumen itu apa. Tapi Medina pernah diperingatkan untuk menyimpan dokumen penting itu di laci kamar Papanya. Saat itu, Medina bahkan tak tahu dokumen tersebut sepenting itu sampai Tano menginginkannya dengan paksa. 

Pikirannya kali ini menuju ke kantor polisi. Medina merasa janggal saat Papanya dimakamkan begitu cepat. Tanpa melihat kondisi Papanya yang penuh lebam dan luka karena seseorang mati karena reruntuhan bangunan. 

Gadis itu segera pergi membawa map dengan sedikit keterangan yang sudah Papanya buat saat itu. Kali ini, dia berjalan menggunakan taksi menuju Kantor Polisi terdekat. Dengan perasaan yang campur aduk. Entah harus sedih atau marah, yang jelas Medina sangat terluka karena ulah Tano. 

Sampai gadis itu di depan Kantor Polisi, dia cukup takut tidak bisa berbicara karena dirinya cukup pendiam. Namun demi keadilan Papanya, Medina akan menghempas keraguannya itu. 

Dia berjalan menuju Polisi yang sedang sibuk dengan komputernya. Dia juga meminta penjelasan mengenai kematian Papanya. Dan Medina juga membawa bukti map saja. Sungguh kelakuannya itu ditertawai seluruh polisi di sana. 

"Apa yang sedang kamu bicarakan? Aku tahu kamu sedang berduka. Tapi kamu tidak memiliki bukti bahwa Papamu dibunuh seseorang."

"Tapi aku melihatnya sendiri. Aku diikat dengan lakban–tunggu, aku tau Polisi dan pemadam kebakaran menolongku. Kalian pasti tahu kalau aku diikat saat itu!" Medina berteriak karena melihat mereka seperti tidak tahu kejadiannya. 

"Aish, pergi! Pergi! Seharusnya kamu belajar anak muda." 

Penjaga membawa Medina keluar dari kantor tersebut karena dinilai membuat keributan. Medina hanya dapat menatap mereka dengan tatapan tajam dan air mata yang menggenang. 

Setelah dirinya keluar, Medina mendengar perkataan mereka yang lumayan tahu bahwa kejadian itu bukanlah kecelakaan. Medina semakin yakin. Bahwa Tano membuat Polisi pun tutup mulut. Menurutnya, ini tidak adil dan membingungkan. Tidak ada yang tahu bahwa kejadian itu bukanlah kecelakaan. 

Ting!

Pesan anonim berbunyi dari ponselnya. Medina terkejut lagi dan lagi. Saat isi dari pesan itu mgt emberikan alamat kantor Tano. Seakan-akan, orang tersebut tahu Medina ingin melakukan apa terhadap Tano. 

Medina langsung menuju ke tempat kerja Tano. Dia juga menyempatkan untuk bertanya siapakah seseorang yang mengirim pesan anonim itu. Namun sampai Medina berada di kantor Tano, dia tak kunjung menjawab pesannya. 

Medina langsung menemui staff kantor. "Permisi, apakah disini ada yang bernama Pak Tano?" tanya Medina. 

Wanita itu tampak memutar bola matanya tak suka Medina. "Kamu memangnya punya janji dengannya?" tanya wanita dengan tegas.

Medina tampak bingung saat ditanya seperti itu. Dia takut tidak bisa menemui Tano. 

"Tidak ada?! Dasar gadis jelek! Mengganggu orang yang sedang sibuk," ujar wanita yang sibuk menggunakan lipstik merah. 

"Ah, selamat siang, Pak Tano," ucap staf yang tadi memarahinya. 

"Ada keributan apa ini?" tanya Tano. 

Namun, saat Tano menatap gadis di hadapannya, dia langsung tahu apa dan siapa penyebabnya. Tapi akting pria tua itu sungguh berhasil membuat beberapa staf nya tak curiga. 

"Oh, gadis kecil ini mencari siapa?" 

Tano bertanya seakan-akan tidak tahu Medina. Tano sempat memasang wajah terkejut sebelum dirinya pentas tanpa panggung ini. 

"Pembunuh! Pencuri! Kamu 'kan orang yang sudah membunuh Papa? Kamu mengikat tubuhku–" 

"Apa yang sedang kamu bicarakan?!" kata Sekretaris Chen

Sedangkan Tano tetap memasang wajah yang bingung dan khawatir. Sungguh pria gila. 

Prang! 

Medina menghancurkan vas bunga yang Tano beli dari Swiss. Medina juga menghancurkan alat telepon di depan banyak orang. Medina tidak bisa mengontrol amarahnya. Terlebih, wajah Tano yang meledek itu membuatnya tak bisa diam. 

"Penjaga! Aku pikir adik ini salah paham. Sebelum membuat semuanya kacau, tolong untuk membawanya keluar," pinta Tano dengan lembut. 

"Ayo! Ikut aku!" 

Brugh! 

Medina bahkan dipaksa keluar seperti kucing jalanan yang hanya ingin meminta sisa makanan. Medina meremas map yang dia pegang dan berjalan. 

"Itu dia!" 

Medina salah. Dia pikir akan selesai setelah dia usir. Tapi Tano tampak meminta bawahannya untuk mengejar dirinya. 

Terbayang. Sungguh Medina dapat menebak niatnya saat para laki-laki muda berjas dan berkacamata hitam itu mengejar ke arahnya. 

"Tidak! Aku harus lari!" 

Medina lari menjauhi mereka yang terlihat dekat. Dia berlari di tengah kerumunan staf. Medina juga tak segan mendorong staf kantor di sana ke arah para pria berjas hitam. 

"Aish! Apa yang sedang kamu lakukan?!" teriak wanita yang Medina dorong. 

Cara tersebut tidak berhasil untuk mereka menyerah mengejarnya. Medina kali ini memilih keluar lewat pintu gerbang saat dia masuk. 

"Tutup gerbangnya!" teriak pria berjas hitam di belakang Medina. 

Penjaga gerbang juga ikut berlari saat Medina sedikit lagi berhasil keluar. Namun Penjaga berhasil menutup gerbang lebih cepat. 

Semua orang menatap Medina saat dirinya terjebak. 

Bugh! 

Namun Medina berhasil menendang bagian sensitif laki-laki. Medina pun berhasil membuka gerbang yang belum dikunci itu. Para pria berjas hitam itu tetap mengejar Medina. Dan entah kenapa, Medina yang lambat, menjadi cepat disaat keadaan seperti ini. 

Grep! 

Seseorang menarik tubuh dan menutup mulut Medina. Membawa ke sebuah himpitan gedung. Mungkin bisa dibilang tempat itu lebih cocok untuk kucing dan tikus berlalu lalang. Tubuh Medina benar-benar terjepit walaupun berhasil masuk. 

"Argh! Kemana dia pergi? Ayo, kita lurus saja!" 

Setelah mereka berhasil menjauh dari tempat Medina dan laki-laki sekarang, laki-laki itu melepaskan tangannya dan membuat Medina bernafas lega. 

Kini, Medina menatap laki-laki dengan topi hitam itu. Laki-laki tersebut tampak memalingkan wajah karena mereka cukup dekat. 

"Kamu ... Siapa?" 


next chapter
Load failed, please RETRY

สถานะพลังงานรายสัปดาห์

Rank -- การจัดอันดับด้วยพลัง
Stone -- หินพลัง

ป้ายปลดล็อกตอน

สารบัญ

ตัวเลือกแสดง

พื้นหลัง

แบบอักษร

ขนาด

ความคิดเห็นต่อตอน

เขียนรีวิว สถานะการอ่าน: C3
ไม่สามารถโพสต์ได้ กรุณาลองใหม่อีกครั้ง
  • คุณภาพงานเขียน
  • ความเสถียรของการอัปเดต
  • การดำเนินเรื่อง
  • กาสร้างตัวละคร
  • พื้นหลังโลก

คะแนนรวม 0.0

รีวิวโพสต์สําเร็จ! อ่านรีวิวเพิ่มเติม
โหวตด้วย Power Stone
Rank NO.-- การจัดอันดับพลัง
Stone -- หินพลัง
รายงานเนื้อหาที่ไม่เหมาะสม
เคล็ดลับข้อผิดพลาด

รายงานการล่วงละเมิด

ความคิดเห็นย่อหน้า

เข้า สู่ ระบบ