Teriakan bercampur tangisan, menjadi penghibur Tano dan beberapa bawahannya. Medina berkali-kali menanyakan pada isi hatinya. Apakah Papanya benar-benar sudah mati ... Atau bisa Medina selamatkan saat ini. Namun dua pria itu terlihat tidak sedang bercanda, saat menyatakan Papanya meninggal dunia.
Tano terus menerus tertawa sambil menendang-nendang kepala Zaki pelan. Jelas sekali membuat hati sang anak sakit hati. Rasanya, Medina ingin memanggil jiwa yang sudah mati itu. Dan lebih menyedihkannya lagi, kata-kata terakhir Zaki adalah ucapan ulang tahun anaknya.
Sesekali, Tano menatap Medina dengan tawa, karena tampang Medina yang tak berdaya. Dia juga saat ini sedang membuka dan menutup korek api, lalu menatap Medina kembali dengan seringai iblis.
Jantung Medina berdetak seperti minta loncat. Dia berpikir bahwa Tano akan melemparkan korek itu ke hadapannya atau Zaki. Walaupun tidak pasti, tapi Medina yakin niat Tano dengan korek api itu tidaklah baik.
"Ayo, pergi dari sini," kata Tano kepada kedua bawahannya.
Tano benar-benar meninggalkan mereka dalam kondisi seperti itu. Namun bukan hanya itu saja. Tano melempar korek api yang sedari tadi dia pegang ke arah belakang, setelah dirinya berhasil keluar rumah Medina.
Setelah melihat aksi jahat Tano, Medina tak berhenti bergerak ke segala arah karena ingin menyelamatkan diri dan Papanya. Namun dia malah terjatuh dan api sudah hampir melahap dapur yang tak lama lagi akan menyentuh Zaki serta Medina.
Medina tak ingin pasrah. Ini bukanlah yang Medina mau. Dia berusaha melihat kanan kiri sambil memikirkan cara supaya lakban tebal itu bisa terlepas dari tubuhnya.
Prang!
Jendela kaca yang meledak karena panasnya api, membuat kaca itu berhamburan dan mengenai tubuhnya, dan tak melewatkan wajah Medina yang sedikit tergores oleh kaca tersebut.
Dan ide pun muncul dari kepalanya saat Medina melihat kaca berukuran telapak tangannya. Kaca tersebut jauh untuk dijangkau oleh Medina yang tak bisa bergerak. Maka tak ada cara lain, Medina menggusurkan diri sambil melewati pecahan kaca di lantai, menancap pada tubuh sebelah kiri.
Blag!
Saat dirinya sedikit lagi dekat dengan kaca tersebut, tiba-tiba bangunan mulai roboh dan kayu besar mengenai punggung juga kaca tadi. Kaca tersebut sampai loncat dan pecah menjadi beberapa kepingan.
Medina yang menahan sakit atas malam ini, sungguh tak kuasa menahan air mata yang sudah meledak sedari tadi. Bahkan, air mata yang terus berselancar bebas, tak bisa memadamkan amarahnya saat ini.
Medina ingin menyerah dengan membisikan api besar itu, supaya lebih cepat memakan Medina dan Papanya. Karena setelah ini berakhir, Medina tidak perlu merasakan sakit yang lebih lama lagi.
"Api yang kuat, bawa aku dan balaslah dendamku pada mereka."
Gadis itu hanya mampu mengguling tubuhnya tak beraturan. Namun tepat sekali, saat dia sengaja menjatuhkan tubuhnya tepat di perut Zaki. Gadis itu pun memejamkan matanya dan air mata menetes sekali lagi. Dengan perasaan yang damai dan bebas, takdir membawanya kemanapun, dia akan senang karena berada di sisi Zaki.
"Kebakaran! Kebakaran!"
Bagaikan mata yang sebentar lagi akan terlelap, menyambut mimpi yang indah, gugur sudah. Sorakan warga tampak menjerit nada ketakutan. Air dengan volume yang besar pun, memasuki rumah mereka tanda berperang dengan lawan. Walau api terlihat ingin mengabulkan permintaan terakhir Medina, tapi Air tak menyerah dan memilih menghanguskan mimpi Api kala ini.
Beberapa ruangan yang terbakar habis, berhasil dihanguskan. Asap yang tebal juga membuat Medina kesulitan bernafas. Asap yang halus sampai tak bisa dipegang, kenapa berhasil memukul dada Medina melebihi benda tajam?
Namun nafas Medina tidak benar-benar habis, kala beberapa manusia berbaju jingga menghampirinya. Mereka dengan cepat melepas ikatan lakban ini, membawa Medina dan Zaki keluar dari rumah yang setengah menghitam.
Setelah Medina berhasil keluar rumah, dia pun tak sadarkan diri. Medina juga tak tahu bahwa dirinya dibawa dengan ambulan berbeda.
Medina berhasil diselamatkan walau tubuhnya penuh luka-luka. Dan kini, gadis malang itu sedang terlentang sangat lemas di atas ranjang pasien.
Suara tangisan tak berhenti Medina dengar. Sampai gadis itu membuka matanya pelan, seorang wanita setengah beruban-Bu Alin ada dihadapannya.
Lalu kata-kata pertama yang Medina tanyakan, "Dimana Papa?"
Wanita itu menahan tangis walau akhirnya menyembur juga. Dan menjawab, "Turut berduka cita, ya, Nak."
Mendengar hal tersebut, Medina menyembunyikan wajah basahnya dengan tangan yang diperban. Lalu, memaksa tubuhnya untuk bangkit.
"Aku ingin bertemu Papa, Bu," pinta Medina dengan suara sendunya.
Wanita itu mengangguk dan membawa Medina menggunakan kursi roda. Karena Medina cukup lemah saat ini.
Beberapa tetangga baik hati dan ceria yang sering Medina lihat setiap hari, berubah dengan menampakan wajah kasihan di luar pintu. Dan sebenarnya, Medina tak suka itu.
Wanita itu pun membawa Medina menuju mobil pribadi milik Pak RT, bersama beberapa tetangga dekatnya juga.
Saat diperjalanan, tak ada yang berbicara satu orang pun. Mereka lebih ingin diam dari pada berbicara sebelum sampai ke tempat Papanya.
Tak membutuhkan waktu lama. Karena jarak yang ditempuh menggunakan kendaraan beroda empat itu memerlukan waktu kurang dari 15 menit.
"Medina, ayo, kita temui Papamu," ajak Bu Alin.
Medina dibantu beberapa laki-laki seumuran dengan Papanya. Dan untuk kedua kalinya, Medina melihat pemandangan yang sama. Rumput hijau dan langit yang biru selalu tampak serasi. Namun, ketika yang tinggal di dalam tanah adalah orang tercinta para manusia, keindahan itu tak bisa menghiburnya.
Medina melihat ke arah Bu Alin dengan tegar. "Dimana makam Papaku, Bu?" tanya Medina.
Mendengar pertanyaan sederhana itu membuat orang yang mengantar Medina tak kuasa menahan air matanya. Medina, kamu sangat tegar. Demikianlah suara hati para tetangga baik.
"Tidak jauh dari sini, Medina. Kami akan mengantarmu," ajak Bu Alin sambil mendorong kursi roda Medina.
Mata dan hati Medina tak bisa bohong. Saat dirinya tak sengaja melihat ke arah tanah yang masih baru. Dengan penuh keyakinan, Medina menatap pemakaman tersebut. Dan saat pandangannya semakin dekat objek itu, nama Zaki tertulis sangat jelas di sana.
Medina menundukkan kepala. Untaian rambut membantunya menutupi tangisan tak terbendung itu.
"Papa, kenapa namamu ada di sana?"
Medina tampak menjatuhkan diri karena ingin memeluk tanah yang menelan tubuh yang tak hidup tersebut. Berbicara sendiri pada nisan yang tak menjawab. Bahkan, malam yang tadinya sangat gelap pun, sekarang sudah hampir mendekati pagi. Medina dan para tetangganya terjaga saat itu juga.
"Medina, sudah mau pagi. Ayo, kita pulang," ajak Bu Alin.
"Tapi, Bu. Aku masih merindukan Papa," jawabnya dengan lemah.
Bu Alin dan tetangga lainnya tak tega melihat Medina seperti ini. Dia gadis yang akan tinggal dan bertahan hidup sendiri. Walaupun tetangga sangat baik pun, tidak menutup kemungkinan keluarga mereka tidak menerima Medina dengan baik.
"Berikan aku waktu sendiri. Setelah ini aku akan pulang bersama kalian. Tolong tunggu aku di mobil, semuanya," pinta Medina.
Semua orang tampak setuju dengan permintaan Medina. Dan kini, Medina memiliki waktu sendiri merindu dengan Zaki.
"Papa, aku akan sering mengunjungimu dan Mama, ya."
Pada saat Medina mau meninggalkan pemakaman itu, tiba-tiba secarik kertas mengapung ke arahnya. Dan saat Medina ingin membacanya, Bu Alin menghampirinya. Medina pun dengan cepat menyembunyikan kertas itu di sakunya.
"Aku harap kecelakaan malam tadi tidak membuatmu trauma terlalu lama, ya," ujar Bu Alin.
"Kecelakaan?" tanya Medina heran.
"Benar. Bukankah malam tadi rumahmu terbakar karena gas di rumahmu meledak? Mulai saat ini, mari berhati-hati, ya."
Sejenak, Medina tak begitu mengerti tentang apa yang sedang Bu Alin katakan. Dia tak mengira bahwa semua orang mengira dirinya kecelakaan. Padahal jelas-jelas penyusup datang dan menghancurkan ulang tahun juga hidupnya. Kemudian, tidak mungkin juga pihak berwajib tak memeriksa luka Papanya.
"Pria itu, siapakah dia?" batinnya.