"Ka...Kakak bicara apa, sih?"
Aku mengelak dengan pura-pura tidak tahu. Tentu saja aku gagal. Orang di depan ku ini adalah penyihir yang tidak jelas asal usulnya, tapi bisa membaca pikiran. Mau bohong sampai jungkir balik pun aku pasti ketahuan!
"Aku tidak akan membaca pikiran mu lagi kalau Kau mau bercerita. Aku juga bisa menjaga rahasia. Lalu jangan panggil aku 'kakak'. Nama ku Lucas, untuk saat ini kita seumuran."
"Apa aku punya pilihan untuk tidak bercerita?"
"Kalau Kau tidak mau bercerita, aku sendiri yang akan menjelajahi pikiran mu sampai aku puas. Aku ini orang yang penasaran tahu. Apa lagi kekuatan sihir mu sangatlah menarik."
Aku terdiam. Kenapa aku harus menceritakan siapa aku padanya? Aku baru bertemu dengannya. Memangnya ada jaminan kalau dia bisa memegang ucapannya?
"Tidak mau bercerita? Yasudah biar ku cari saja di dalam kepala mu itu."
"T...Tunggu dulu. Aku akan bercerita kalau Kau bisa memegang ucapan mu untuk berhenti membaca pikiran dan menjaga rahasia."
"Tenang saja, aku itu laki-laki yang memegang ucapannya. Sekarang ceritakan pada ku."
Aku memandang mata ruby nya, mencari keseriusan di ucapannya. Matanya bagus juga, sangat indah. Aku tidak menemukan kebohongan di kata-katanya. Kalau begitu, dia benar-benar memegang ucapannya.
Ketika sudah yakin, aku bercerita padanya tentang ku. Dari awal aku membaca sebuah novel <Lovely Princess> sampai aku bereinkarnasi menjadi Athanasia. Dia percaya pada cerita ku. Aku terdiam setelah cerita ku selesai. Dia memandang ku dengan serius.
"Hanya itu yang ingin Kau ceritakan?"
"Itu semua rahasia terbesar ku. Kau mau aku bercerita tentang apa lagi? Buku dongeng yang sudah ku baca?"
Lucas menunduk dan bergumam sendiri. Aku tidak bisa mendengarnya karena suaranya sangat pelan. Aku menatap ke langit, hari sudah siang. Aku menghembuskan napas pelan, Lucas menoleh.
"Kau ini. jangan sering-sering menghela napas, nanti orang-orang tahu kalau Kau sudah tua."
Perempatan muncul di dahi ku. Ucapannya kurang ajar sekali! Dasar menjengkelkan! Aku menahan amarah ku dan terdiam.
"Aku ingin kabur dari sini."
"Ya, kabur saja sana."
"Diam saja, Kau. Kau kan tidak tahu rasanya hidup dalam bayang-bayang kematian."
Lucas hanya memberi tatapan seolah berkata, 'terserah.' Aku mendengus sebal dan membelai Hitam. Entah kenapa Hitam seakan-akan mengerti perasaan ku dan hanya duduk diam di sebelah ku. Biasanya hewan liar pergi begitu saja kan?
"Kenapa Hitam tidak berusaha kabur dari ku?"
"Dia itu sinsu, bukan hewan peliharaan. Dia mengikuti sifat pemiliknya."
"Apa itu artinya dia juga akan suka cokelat seperti ku?"
Lucas mengangguk. Aku membulatkan mata karena terkejut. Aku benar-benar suka cokelat, kalau Hitam sama dengan ku artinya dia juga benar-benar suka cokelat. Aku menatap Hitam. Jadi dia yang mencuri jatah cokelat ku selama ini, ha?
Lucas berdiri dan menepuk-nepuk pakaiannya, "aku harus pergi."
"Eh, Lucas. Kau belum bercerita dengan ku tentang diri mu."
"Kau penasaran dengan ku, ya? Jangan-jangan Kau jatuh cinta karena ketampanan ku ini ya?"
"Dasar penyihir geer!"
"Lain kali saja. Ada orang yang menuju kemari."
"Ha?"
Lucas mengambil Hitam dari genggaman ku dan mengangkatnya, "Aku bawa Si Hitam dulu. Besok ku kembalikan."
"Mau Kau apakan?"
"Ku beri makan. Sampai jumpa."
CTAK!
Lucas menjentikkan jarinya dan mulai melebur seperti debu. Sedetik kemudian Lucas menghilangkan dari hadapan ku. Wow, keren! Aku juga ingin bisa sihir! Itu tadi benar-benar keren!
TAP!
TAP!
TAP!
Suara langkah kaki. Aku berdiri dan bersembunyi di balik pohon. Benar kata Lucas, ada yang menuju kemari. Aku mengintip dari balik pohon, sebisa mungkin untuk tidak bersuara.
Rambut merah maroon. Itu Felix. Apa dia belum menyerah untuk menyampaikan permintaan maaf itu? Aku bahkan sudah berkali-kali membentaknya, seharusnya dia sakit hati. Kenapa Felix masih berusaha, sih? Apakah Claude bodoh itu memerintahkannya?
"Kalau mau minta maaf jangan lewat Felix. Kalau merasa bersalah datangi aku dan minta maaf. Dasar pengecut," ucap ku pelan, hampir seperti bisikan.
Aku masih memandangi Felix yang mencari ke sana-kemari. Di wajahnya ada raut wajah sedih dan bersalah. Aku sebenarnya juga merasa bersalah karena membentak Felix, tapi dia juga bodoh karena masih terus berusaha. Aku sudah kesal sampai ke ubun-ubun tentang masalah itu tahu!
"Siapa yang Kau panggil pengecut?"
DEG!
Aku menoleh ke belakang. Seorang pria berambut pirang yang berkilau dengan mata biru pertama dan kain khas Siadona, berdiri di belakang ku. Tatapan matanya datar. Aku agak takut melihat tatapan matanya, tapi segera ku ganti dengan tatapan benci untuk menyembunyikannya.
"Kenapa, papa ada di sini?" ucap ku agak keras.
"Ayo minum teh dengan ku."
"Athy tidak mau!" aku berteriak dan mulai berlari meninggalkannya.
Claude mengikuti ku dari belakang. Tentu saja dia bisa mengejar ku, kecepatan lari ku tidak ada apa-apanya. Namun aku tetap berlari, menjauh dari Claude sampai akhirnya aku tersandung.
GREP!
sebuah tangan melingkar di perut ku, menghentikan ku untuk jatuh. Aku menoleh ke belakang. Claude menatap ku dengan wajah sedikit lega. Apa-apaan itu?
Saat aku tenggelam kau bahkan tidak sudi untuk memasang wajah khawatir. Sekarang, saat aku hampir jatuh karena tersandung, kau memasang wajah khawatir? Permainan apa lagi ini?
Aku meronta-ronta dari pegangannya. Memukul-mukul tangan Claude dengan keras. Saat Claude melepaskan pegangannya, aku menjauh darinya. Felix berlari mendekati Claude.
"Kenapa papa ada di sini?" ucap ku berteriak.
"Aku mengundang mu untuk minum teh."
"Athy tidak mau!"
"Kau berani melawan perintah dari raja? Berani sekali Kau! Kau sama saja dengan wanita rendahan itu!"
"ATHY MEMANG MIRIP DENGANNYA KARENA DIA ADALAH MAMA ATHY!" aku berteriak.
Amarahku meluap-luap. Aku tidak peduli lagi. Kalau nanti dia marah, dia mau mengusir ku, dia mau mencampakkan ku, atau dia mau membunuh ku, aku tidak peduli! Aku sudah lelah harus memperjuangkan kasih sayang hanya untuk hidup. Di kehidupan sebelumnya, tanpa kasih sayang saja aku bisa hidup.
"ATHY TIDAK MAU BERTEMU PAPA!" Air mata ku terjun dengan bebas.
"Kau ternyata cari mati, ya?" Claude menatap ku tajam.
Aku mendengar suara Lily yang meneriakkan nama ku. Felix mencoba menenangkan Claude. Aku masih menatap Claude sambil menangis. Aku mengusap air mata ku dengan kasar, menatap tajam ke arah Claude.
"KALAU PAPA MAU MEMBUNUH ATHY, BUNUH SAJA! KALAU ATHY BERJUANG DAN HASILNYA SIA-SIA, ATHY JUGA CAPEK!"
Aku terbatuk-batuk, tenggorokan ku sakit. Pandangan ku buram karena air mata. Aku mengusapnya dengan kasar sekali lagi. Hal berikutnya yang ku lihat adalah Claude berlutut di depan ku.
Tangannya mencoba menggapai ku. Apa dia mau mencekik ku? Silakan saja, aku tidak peduli. Aku menutup mata ku. namun bukannya merasakan tangan di sekitar leher ku, aku merasakan tangan di belakang kepala ku. Seketika aku tertarik ke dalam pelukan Claude. Aku meronta, memukul-mukul dada bidangnya.
Aku tidak mau dipermainkan lagi. Sudah cukup dengan harapan palsunya. Jangan tunjukkan kasih sayang lagi pada ku kalau akhirnya kau hanya bersandiwara. Hentikan itu. Aku tidak suka.
"LEPASKAN! ATHY TIDAK MAU DIPELUK PAPA!" aku terbatuk-batuk, "Athy...Athy tidak mau dipeluk papa!"
Aku masih memukul dadanya, tapi Claude tidak berkutik. Dia mempererat pelukannya pada ku dan mengusap pelan kepala ku.
"Berhenti pura-pura! Papa tidak sayang pada, Athy! Jangan mengusap-usap kepala Athy dengan lembut! Athy tahu papa membenci Athy karena membuat mama pergi! Athy tahu papa ingin Athy mati saja! Sama seperti saat di danau! Papa membenci Athy dan ingin Athy mati, bukan?"
Aku menumpahkan semua amarah ku dengan setengah berteriak. Napas ku benar-benar kacau, rasanya seperti lari maraton puluhan kilometer. Aku masih memukul dada bidang Claude dengan sekuat tenaga. Sampai aku mendengar suaranya.
"Aku memang membenci mu. Aku membenci mu saat Kau lahir. Aku membenci mu karena Kau merenggut nyawanya. Aku memang membenci mu saat Kau lahir."
Lihat sendiri, kan? Dia mengakuinya. Dia benar-benar membenci ku sejak lahir. Dia pasti ingin aku mati saat di danau. Aku yakin. Kalau kau memang membenci ku tunggu apa lagi? Bunuh aku! Aku capek!
"Aku membenci mu. Tapi aku lebih benci melihat mu menangis dan terluka."
"Papa bohong! Kalau papa benci saat melihat ku terluka, kenapa papa tidak menolong Athy dan hanya menatap Athy dengan wajah datar? Papa membenci Athy, kan? Papa ingin Athy mati, kan?"
Aku terisak, tenggorokan ku benar-benar sakit. Claude, Felix, dan Lily terdiam. Di tengah halaman yang luas ini hanya terdengar suara isak tangis ku.
"Maaf."
Aku mendongakkan kepala menatap Claude. Claude memejamkan matanya, dahinya berkerut.
"Seharusnya aku tidak melakukan itu," Claude diam sejenak, "maaf."
Tangis ku pecah. Tangis yang awalnya hampir berhenti, kini pecah lagi. Aku menarik pelan kain khas Siadona milik Claude. Aku seharusnya masih kesal dan marah pada Claude, tapi nada suaranya terdengar menyesal. Aku tidak kuat untuk marah lagi kalau begini.
"Athanasia. Usaha mu tidak sia-sia. Aku kalah dalam tantangan itu."
"Be...narkah?"
"Iya. Kini aku yang merindukan dan mencari mu. Aku kalah."
Ah, ternyata usaha ku tidak sia-sia. Aku mendapatkan kasih sayang Claude. Kasih sayang papa. Aku berhasil, Athanasia. Aku sangat senang. Akhirnya hati bekunya mencair.
Aku memeluk papa dan menangis lagi. Kali ini tangis bahagia. Bukan lagi tangis kecewa dan benci. Aku sangat senang. Aku memenangkan tantangan.
***
Sedih nggak?