Suasana sekolah begitu lengang pagi itu, anak-anak sibuk menghadapi ujian akhir sekolah. Hari itu Mar Betty mendapat giliran piket di asrama, dengan tugas mengambil sarapan pagi di dapur. Menu Pahe dengan sajian nasi goreng dan ikan tongkol sambal pedas, serta sayur kacang panjang tauco terus bergoyang di lidah.
Teman-teman di sekolah sering mengolok-olok makanan yang disuguhkan oleh pihak asrama, tapi menurut Mar sangatlah istimewa makanan tersebut.
Mereka keterlaluan mentang-mentang menjadi anak orang kaya, kangkung diplesetkan menjadi obat tidur, ikan teri sebagai paku dan tongkol sebagai ikan kayu. Beda halnya siswa dengan kemampuan menengah ke bawah selalu menghabiskan jatah sempurna, justru anak-anak orang kaya bertingkah memanjakan diri dengan makanan mewah.
Mar Betty menenangkan dirinya sendiri, Ia mencoba memperlambat langkah menuju ruang kelas. ia banyak diam dan mengamati sekitarnya tanpa peduli dengan ocehan yang lain. Namun, perubahan sikap Mar yang semakin cuek tidak merubah cara mereka memperlakukannya.
Tiba-tiba nyeri melilit di area perut terasa menyiksa, saat di kelas Mar pun mulas pengen ke belakang. Segala upaya tak terbendung lagi. Bunyi desis bersahutan dan lolos terdengar nyaring keluar. Ajian itu sudah tak mempan lagi.
Dulu saat kecil ajian itu masih mujarab dengan kata kata, kepala-pantat dan pantat menjadi kepala. Pada hitungan menit kemudian benteng pertahannya jebol, Mar meminta izin, bergegas berlari sekuat raga menuju kantin dan mencari toilet.
Kepanikan Mar menarik perhatian seorang kakak senior hingga mengikutinya sampai ke toilet. Segala urusan ke belakang ia tuntaskan dengan sukses. Ia begitu malu dengan senior yang mencari tau tentang kondisinya.
Duh, semoga kakak itu bisa merahasiakan dari penghuni sekolah ini. Bisa jadi konsumsi publik, mereka paling jail lazimnya anak muda yang sedang puber pertama.
"Mar Betty, mar betty!" Panggil kaka senior tak di gubrisnya.
Mar berlari melesat bagai anak busur menuju asrama tanpa menoleh ke belakang. Ia begitu malu menampakkan batang hidung pada yang lainnya. Seolah menyembunyikan diri atas kejadian tadi, membuang rasa sial untuk kesekian kali.
Sejak itu, sebelum berangkat sekolah pagi-pagi menuntaskan dulu panggilan alamiah, tanpa menghambat pergerakan irama perut. Toilet hanya ada dua di asramaku, satunya malahan tersumbat. Satunya lagi penuh antrian sangat menyebalkan.
"Di rumah kami pun kadang adanya toilet terbang, wah kasian banget," gumam Mar dalam hati.
Sore hari remaja di asrama putri, seperti rutinitas bermain volley di depan asrama. Terlihat anak putri bersorak sorai memandu pemain volley. Dari teras depan Mar menonton sedari melayani wali murid yang datang berkunjung.
Seorang ibu cantik putih dan banyak memakai perhiasan sembaru memamerkan duara gemerincing grlang emasnya. Ia datang berkunjung seminggu sekali melihat anaknya.
"Ibu Mimin apakabar?" sapanya lembut.
Ia sangat melambangkan kesuksesan dibandingkan keluarga lain yang hampir tiap.hari hanya makan nasi seadanya. Alih-alih kalau ada duit lebih pasti membeli mie instant yang katanya penuh lauk pauk di dalamnya. Terkadang sayuran dipetik dari kebun untuk mencukupi gizi keluarga di kampung sana.
"Miimi ada, dek?"
"Bentar, bu! Mar panggilin! Silakan duduk dulu, bu!" ucapnya dengan hormat pada orang tua.
Seketika Mimi pun keluar dari dalam dan memeluk ibunya dengan penuh haru. Tergambar kerinduan menghangat oleh pelukan erat.
Setelah ngalor kidul dan temu kangen, sang ibu melirik ke arah Mar lalu berujar. "Mimi, ini si Mar Betty? Kawan sekolah menengahmu dulu yang selalu dapat rangking? kok sekarang ia berubah, ya?" cecar ibu Mimin pangling melihat kondisi yang berbeda.
"Kok....macam anak bodoh keliatannya sekarang?"
Ya, Rabb....
"Ini orang hatinya terbuat dari, apa, ya? Tega sekali menyebutnya oon," Mar Betty bergumam datar, mungkin terlihat dari penampilan yang acak kadul.
Mar diam saja tanpa membantah perkataan ibu mimin itu.
Pakaian yang Mar kenakan seperti gembel yang patut dikasihani, untuk kesekian kali Mar berusaha cuek dan merasa baik-baik saja.
Huuhh ... Menyebalkan!
Keesokan malam di asrama putri terjadi kegaduhan hebat. Banyak penghuni asrama setelah.menyantap makan malam terasa murus-murus dan mencret. Di kamar Mar Betty ada Kikin, Nia, Yanti dan Ranti dan Mimi, mereka semua ikut sakit perut juga. Kami semua dibawa ke klinik untuk pengobatan. Mar Betty pun masih diare hingga ia pun dirawat di klinik sekolah saat itu.
Ulah tukang masak yang tidak hati hati membubuhkan hot chili terlalu banyak di dalam kuah gulai sebagai ganti bubuk cabe menuai bencana. Hot chili yang terasa adem di mulut justru melintir di perut serasa putaran mesin cuci yang mengobok ngobok di level tertinggi.
"Perut Mar masih sakit, nih?""
"Malah mulut terasa pahit sedikit hambar. Enaknya makan apa ya?"
Lingkungan asrama yang tidak boleh bebas keluar masuk sembarangan tidak mengurangi ide siswa untuk manjakan lidah dengan berbagai menu luar.
"Ranty! Ranty!?
Mar pingin sekali makan mie pedes di depan asrama.
"Gimana caranya?"
"Tenang aja, gampang ahh!" Kita berdiri di pintu pagar samping lalu manggil manggil.
"Beres kan?""
Mie pedes sesuai pesanan remaja yang sedang puber pertama emang butuh hormon adrenalin pemacu keberanian jantung.
"Ranty kita pesan satu berdua, ya! Mar hanya punya uang buat porsi pancung. Gak puas pula makan secuil gitu, ya?"
"Iya, mau gimana lagi, Mar hanya punya uang segitu aja!"
Iya, dehh!
Porsi anak sekolah emang rada pelit pelit.
Hehh ... Heehh
"Tau apa, Mar Betty?"
Awaas jangan tekencit kencit, kau! Bikin malu aja!" ledeknya.
Mar Betty menarik nafas panjang. Berurusan dengan teman usil setiap hari benar-benar membuat pancingan emosi. Melly sebagai teman berbakat membuat segala sesuatunya bertambah rumit.
Tak sewajarnya gadis pendiam itu menekan luapan amarah dengan sekuat tenaga atas tuduhan mengambil tank top temannya. Wajah Mar Betty berkaca kaca hingga sembab.
Bayangan Melly yang mempermalukan dirinya di depan publik masih terekam jelas. Ia tak mampu menjabarkan kembali peristiwa yang melintas di pikirannya. Terlebih lagi, saat ia memaki dengan kata-kata menyakitkan pada Mar sebagai tertuduh maling.
Melly bertindak kejam dengan ekspresi wajah jutek terus menari nari dalam pikirannya hingga ciut.
Di tempat yang sepi ia pun mengusap pelupuk matanya yang basah tak terbendung lagi. Selama ini, Mar Betty sebagai gadis miskin dan culun menjadi pusat olok-olok teman di kelasnya.
Tidak dapatkah hidup dengan tenang seorang gadis culun? Sepertinya teman-teman sangat bangga dapat mengerjai si gadis polos yang belum pernah melawan sedikitpun. Tidak perduli saban hari meskipun tanpa sebab mereka sangat mudah menjadikan Mar sebagai bahan mainan terkadang menjadi tumbal atas semua kejadian.
ia kerap mengamati sekeliling dengan memandang jauh dari perbukitan luas, sembari menghapus air mata. Perlahan ia menyentuh pipi merapikan penampilan kembali, Ia tidak mau teman-temannya membayangkan bagaimana ia harus melewati seorang diri hidup dalam tekanan, tapi ia tidak memiliki pilihan lain selain melewati dengan sabar dan ikhlas.