© WebNovel
Suasana jalanan yang ramai terasa semakin ramai setelah lampu lalu lintas berubah warna hijau. Supir angkutan umum yang berada di baris paling depan, masih santai mengipas lehernya menggunakan topi. Usianya masih sekitar enam belas tahun, tapi tangannya bertato. Angkutan tersebut sudah terisi sebagian, tapi si supir masih betah mendengar jeritan klakson yang memprotesnya untuk jalan.
" Jalan, cuk!" maki salah seorang remaja berseragam SMA sambil melewati angkutan tersebut. Motor gedenya melaju bagai angin.
Si supir angkutan tersebut meludah. Tatapannya mengikuti laju motor anak SMA tadi. Ia lantas menjalankan mobilnya ugal-ugalan.
Nara cuma bisa geleng-geleng kepala melihat peristiwa barusan. Hal mac am ini terjadi dimana-mana. Tak terkecuali di tempat tinggal lamanya, Yogyakarta.
" Yang kayak gitu udah biasa di sini, Nar." Dalia yang sejak tadi melihat ekspresi Nara dari spion langsung mengomentari.
" Udah biasa kok, nggak dimana-mana juga kayak gitu."
" Yogya sama Tangerang itu kayak langit sama bumi. Walaupun penduduknya banyak, di Yogya masih banyak pejalan kaki. Di Tangerang, jangan harap kamu bisa liat orang jalan kaki di jalan raya. Selain di pasar dan di mall, mana ada!"
Mungkin maksud Dalia bukan tidak ada, tetapi jarang. Karena Nara baru saja melihat segerombol anak-anak SMA berjalan kaki. Dalia mengklakson mereka. Beberapa dari mereka ada yang tersenyum, ada juga yang menyaut.
" Itu sekolah kita." Dalia menunjuk sebuah bangunan tiga lantai dengan dagu, membuat Nara mengikuti arah yang ditunjuknya.
Ini adalah hari pertama Nara bersekolah di tempat yang sama dengan Dalia. Sebelumnya, ia bersekolah di SMAN 1 Yogyakarta. Nara pindah karena ikut mamanya yang akan membuka cabang toko roti di Tangerang.
Dan di sinilah ia sekarang. Membaca sederet tulisan besar-besar di atas gerbang bercat hitam yang menjulang tinggi dan kokoh. Nara yakin, siapapun yang terlambat pasti tidak akan bisa masuk apalagi sampai nekat memanjat.
SMA BUDIARTO
" Ini sekolah sebenernya nggak terkenal banget. Tapi, fasilitasnya oke loh."
" Oh ya?"
Dalia mengangguk, " Iya. Banyak cowok gantengnya lagi."
Sontak Nara tertawa. Ia tahu betul bagaimana sifat sepupunya ini, " kamu tuh ya, selalu aja pikirannya tentang cowok."
" Lah, kalo nggak gitu bukan Dalia namanya. Inget ya, perempuan itu tercipta dari tulang rusuk cowok."
" Iya deh, iya."
Mereka berdua tertawa. Tiba-tiba motor yang dikendarai Dalia berhenti secara tiba-tiba. Nara nyaris terpental ke depan. Kepalanya membentur bahu Dalia.
" Bawa motor tuh pake mata!"
Dalia tampak gemetar. Ia pandangi motor yang nyaris ditabraknya melaju memasuki area sekolah. Sedangkan dia masih mengatur napasnya yang memburu. Untung saja Dalia tidak menabrak motor cowok tadi. Kalau hal itu terjadi, hidupnya sudah pasti akan berubah menjadi mimpi buruk selama ia masih terdaftar di SMA Budiarto.
" Sori, Nar."
Nara memaklumi. Seharusnya dia tidak mengajak Dalia tertawa pada saat berkendara. Karena hal itu berbahaya.
Dalia memarkirkan motornya tepat di sebelah motor yang tadi nyaris ditabraknya. Ia sedikit menundukkan kepala ketika pemilik motor yang nyaris ditabraknya melirik.
" Yuk, Nar. Bentar lagi bel. Kita harus siap-siap buat upacara." Dalia menarik tangan Nara, langkahnya tampak tergugup.
" Kamu kenapa?" tanya Nara khawatir.
" Lo tau, cowok yang tadi hampir gue tabrak itu cucunya Hanung Budiarto. Pemilik sekolah ini."
" Emangnya kalo dia cucu pemilik sekolah ini kenapa?"
Dalia menarik napas geram, " ya, nasib gue bisa terancam. Gue bisa jadi bulan-bulanan."
Nara terdiam. Bahkan ketika ia sudah duduk di kelas pun kalimat terakhir Dalia masih berputar. Ia tidak mengerti, kenapa harus ada perbedaan kasta dalam instansi pendidikan, apalagi membawa-bawa nama silsilah keluarga dan menjadikan hal itu sebagai patokan kekuasaan.
***
" Nar, sini!"
Nara yang sedang menyalin catatan Dalia berlari kecil menghampiri sepupunya. Mereka berdiri di ambang pintu kelas. Mendadak Nara maju beberapa langkah melihat kerumunan di lapangan.
" Nara, jangan deket-deket!" Dalia berlari mengejar Nara.
Nara mendengar suara Dalia, tapi ia penasaran dengan apa yang sedang terjadi. Diterobosnya kerumunan tersebut. Nara membungkam mulutnya dengan telapak tangan melihat seorang cowok yang tersungkur. Searagamnya kotor sekali. Di baju cowok tersebut tertempel name tag bertuliskan Gavin Zeroun.
Wajah Gavin babak belur. Di sebelahnya, tampak seorang cowok dengan keadaan tak kalah berantakan dari Gavin sedang berjongkok. Tangannya terkepal. Nara yakin, cowok itu yang baru saja membuat kekacauan.
Tak lama, seorang guru yang ia tahu bernama Pak Burhan menerobos masuk. Ia menarik paksa tangan si pembuat kekacauan keluar kerumunan. " Jan, kamu lagi-kamu lagi!" Teriaknya sambil menyeret cowok tersebut.
Jan sempat menoleh. Ia meludah, barangkali hal itu ia anggap sebagai salam perpisahan dengan Gavin. Tapi, bukan itu yang menjadi perhatian Nara, melainkan Jan adalah cowok yang tadi pagi nyaris ditabrak Dalia.
Nara menelan ludah. matanya mengekori langkah Jan dan Pak Burhan ke ruang BK.
" Nar, elo kok nekat sih?" Dalia berdiri di sebelah Nara sambil mengatur napasnya yang ngos-ngosan. Ia lantas mengulurkan tangan untuk cowok yang masih meringis, tak mampu bangkit.
Nara heran, kenapa tidak ada seorang pun yang melerai perkelahian itu? Apa mereka takut karena Jan adalah cucu dari pemilik sekolah? Ah, sekolah macam apa yang ia masuki?
Membuang napas, Nara membantu Dalia menuntun Gavin yang nyaris pingsan. Lalu membawanya ke UKS.
" Yah, alkoholnya abis." Dalia membanting kotak P3K setengah kesal. " Nar, jagain dulu. Gue mau cari alkohol." katanya lantas keluar ruangan, tanpa menunggu persetujuan Nara.
Nara duduk di sebelah bangkar. Tangannya diletakkan di atas paha. Ia kasihan, tapi tidak tahu harus berbuat apa. Terlebih mendengar Gavin terus-menerus meringis kesakitan. Nara jadi semakin bingung.
Pandangan Nara menyusuri setiap sudut ruangan. Mencari apapun yang dapat digunakan untuk mengobati. Setidaknya, dia tidak diam saja melihat kondisi orang di depannya.
Nara menemukan dispenser yang masih penuh terisi air. Cewek itu lantas berinisiatif mengompres lebam-lebam pada wajah Gavin dengan air hangat dan kain kasa yang tinggal tersisa selembar di kotak P3K. Pelan-pelan, Nara menempelkan kain kasa basah yang sudah diperas ke wajah Gavin.
" auw!" Gavin menyingkirkan lengan Nara secara kasar.
" Maaf," ucap Nara. Ia menggigit bibir bawahnya, lalu mencoba membersihkan luka Gavin lagi.
Nara tersentak ketika cowok yang terbaring di depannya tiba-tiba menahan lengannya agar tidak bergerak. Gavin merubah posisinya menjadi duduk. Mata cowok itu menyipit. Gavin berusaha mengumpulkan kesadarannya yang hanya tersisa lima puluh persen. Perlahan, denyut di kepala akibat pukulan keras dari tangan Jan memudar. Membuat pandangannya kian jelas.
" Terimakasih," ucap Gavin, lalu berdiri. Cowok itu diam sejenak, sekadar memantapkan pijakan. Tiga detik kemudian, Gavin berjalan sempoyongan mendekati pintu keluar.
Spontan Nara berlari ketika melihat tubuh jangkung itu nyaris jatuh. Cewek itu menahan punggung Gavin dengan kedua tangan dan nyaris terjengkang ke belakang.
" Nggak usah dipaksa, kalau emang belum mampu,"
Gavin menegakkan tubuhnya. Dipandangnya wajah Nara beberapa detik, lalu berkata, " saya kuat kok."
***
Dalia adalah salah satu anggota ekstrakurikuler PMR. Nara baru tahu soal itu ketika ada guru dan seorang cewek datang ke UKS tak lama setelah Gavin pergi. Mereka menanyakan keberadaan Dalia dan Gavin yang Nara jawab dengan jujur.
" Lo kok jahat sih, ninggalin gue!" Dalia membanting tubuhnya di atas sofa. Ia rentangkan kedua tangan, seperti seorang yang habis bangun tidur.
" Abis kamu lama."
Dalia meniup poni depannya, " dia pergi lagi?"
" Siapa?" Nara tidak mengerti arah pembicaraan Dalia.
" Cowok tadi."
" Kak Gavin?"
Alis Dalia menyatu, " tadi kalian kenalan?"
" Aku baca name tag-nya."
Dalia manggut-manggut, " dia itu rajin banget keluar masuk UKS. Kalo nggak ganteng udah pasti nggak akan gue tolongin berkali-kali."
" Dia sakit?"
Dalia menggeleng. Ia menegakkan tubuh, " dia cupu. Nggak pernah menang lawan kak Jan. Kalo diserang kak Jan sama temen-temennya di kelas, dia pasti lari ke pojokkan."
Nara sangat antusias. Ia geser duduknya agar lebih jelas mendengar penuturan Dalia.
" Aneh ya. Padahal badan kak Gavin itu keliatan atletis, selama ini dia juga aktif di ekskul pecinta alam. Tapi, nyalinya kayak cacing." Dalia memandang langit-langit ruangan yang bercat putih. " Tapi, kalo dia suka gue sih, gue terima."
Mendengar itu, Nara melempar bantal sofa tepat mengenai kepala Dalia. Ia melipat tangan di depan dada, lantas membanting punggung pada sandaran sofa. Dibuangnya napas pelan, sambil memandang sekeliling ruangan. Nara perlu memantapkan diri untuk tinggal di kota ini dalam waktu yang cukup lama. Bahkan mungkin bisa selamanya. Untuk sementara, Nara dan Ibunya akan tinggal di rumah dua lantai yang dihuni oleh keluarga kecil Bisono.
***