Tapi, jika ku ingat saat masih kuliah di Berlin sepertinya hal konyol seperti itu tak akan pernah terjadi. Joo bahkan bisa tak menghubungiku sampai setahun lebih, apa gunanya aku menghilang jika dia beranggapan kalau seluruh dunia ada dalam genggaman tangannya?
"Ah bosan," gumamku lantas mencoba merenggangkan
Menatap Doni yang berada dalam satu ruangan. Ingin aku membujuknya, namun dia benar-benar marah karena usai Joo memukulnya hingga malam tak ada pesan maupun telepon untuknya. Bukan aku lupa, malam itu cukup mengenaskan untukku.
Perlahan berdiri lantas aku mendekat pada Doni. Menggeser kursi lantas menatapnya sambil menopang dagu. Mari kita lihat seberapa lama dia bisa bertahan jika aku berada dalam posisi ini dan terus mengawasinya tanpa memalingkan muka sama sekali.
"Minggir, muka lo ganggu, Sat!" bentak Doni.
Aku terkekeh geli, memang hanya dia yang bisa membuat moodku kembali. Jika tahu akan begini mengapa tak aku lakukan sejak tadi, ya?
"Kan aku udah bilang apa alasannya, udah minta maaf juga, Don. Masak kamu masih marah sih? Nanti aku sakit hati loh. Udah dong jangan marah lagi, okey?" bujukku padanya.
Sudah jelas dia hanya mendengus saja. Bahkan Doni sampai mengetikka keyboard dengan suara yang cukup kencang. Melihatnya yang seperti ini membuatku tergelak ringan. Aduh dasar deh, itu kelihatan banget ya kalau dia ingin kami berbaikan namun masih gengsi.
Hem nggak masalah juga sih, toh kan kami memang seperti itu. Sama-sama gengsi, yang bersalah harus membujuk sampai goals! Dengan begitu pemenang yang sesungguhnya dapat kita temukan tanpa harus disertai dengan perdebatan atau bentak-bentakan juga … jambak-jambakan?
Jika tidak, ya entah. Sejauh ini aku dan Doni bisa melakukannya dengan baik. Atau karena sekarang aku sudah menikah jadi terasa sedikit berbeda dari biasanya ya? Ah, tidak mungkin demikian! Meski dia tingkah lakunya menyebalkan aku cukup tahu Doni itu bagaimana kok.
"Ganteng, udahan dong ngambeknya," ujarku sambil berkedip comel menirukan tingkahnya.
"Nggak!" tegas Doni membuatku mengerucutkan bibir kesal.
Mengapa tak semudah biasanya coba? Sebenarnya dia itu kenapa sih. Tidak, tidak. Jangan berpikir yang aneh-aneh karena mungkin saja Doni juga sedang ada masalah sama seperti diriku saat ini. Maka dari itu mari sedikit lebih memahami keadaan dan jangan ceroboh.
"Kamu lihat sesuatu lagi ya? Apa?" tebakku ngasal.
Biasanya jika Doni tak mempan pada bujukan maka dia melihat sesuatu yang tak seharusnya. Atau bisa saja mamanya Hendri meminta uang darinya dan Doni sedang krisis ekonomi? Sebetulnya aku tak lihai dalam hal menebak masalah orang lain.
"Nggak ada, tuh," jawabnya.
Ck! Dia pikir aku tak tahu bagaimana sikapnya itu? Kata 'tuh' di akhir kalimat menandai bahwa dia sedang mencoba menutupi sesuatu. Jadi agaknya aku akan menggunakan sedikit tenaga ekstra demi terus membujuknya dan menemukan jawaban.
"Siapa lagi?" tanyaku memancing.
"Nggak ada, orang kalau dikasih tahu ya langsung percaya. Kenapa kamu enggak? Dasar cewek!" Doni kembali membentak tapi aku masih tak gentar mencari tahu.
Aku terkekeh melihat Doni yang berdiri lantas keluar dari ruangan. Gegas aku membuntutinya. Pekerjaan kami? Hem, tak sesibuk itu karena baik aku atau dia ada asisten yang jauh lebih bisa diandalkan.
"Dia tadi disini," ujar Doni saat kami sudah masuk dalam lift yang memang berada tak jauh dari ruang kerja.
"Siapa?"
"Astrid," balasnya.
Aku termenung. Jadi wanita itu punya akses ya? Pasti Joo yang memberikannya karena lift ini hanya bisa diakses oleh mereka yang memiliki kartu identitas. Ah, aku jadi ingin tertawa terbahak-bahak.
Makin hari sepertinya Joo semakin melewati batasannya. Dia kan punya kantor yang jauh lebih baik, untuk apa kekasihnya itu datang kemari? Maksudku mantan kekasihnya karena si bitch itu telah memiliki suami.
"Dia sama Joo?" tanyaku gugup.
"Nggak, sendirian. Dia bawa kartu akses sendiri, entah Joo itu suami kamu atau nggak tapi area ini bukan kawasannya. Data dan semuanya memang ada duplikat, tapi kalau bocor usaha kita selama ini nggak berguna," papar Doni.
"Ayah Astrid sama-sama bekerja di bidang ini. Aku tahu kamu nggak bisa bujuk Joo, cukup ambil kartu itu aja, Ta," pinta Doni tanpa menatapku.
Dia yang mempertaruhkan segalanya demi berdirinya Das Lionel, jadi wajar jika dia marah padaku karena hal ini. Dan kali ini aku benar-benar meras bersalah karena teledor. Harusnya meski Joo orang yang paling kupercaya hubunganku dan Doni lebih tinggi ukurannya jika mengenai masalah pekerjaan.
Tring!
Bunyi lift yang terbuka. Saat kami hendak keluar, betapa terkejutnya diriku saat melihat Astrid berdiri tepat di depan kami sambil melambaikan tangannya. Harusnya aku tadi mengajak Doni berdebat saja bukan malah mengikuti langkahnya seperti saat ini. Hal yang tak pernah aku inginkan mengapa malah kejadian?
"Long time no see, Nyonya Jonhwi!" serunya tak tahu malu.
Ah, long time no see apanya bitch!
***
Harusnya tak usah kuajak dia kemari. Untuk apa aku meladeninya? Dia hanya musuh dalam selimut saja. Iblis yang menjelma menjadi manusia atau lebih kejamnya Astrid ini … manusia berhati iblis!
Ya, pikirku begitu tadi namun ujung-ujungnya tetap saja kami duduk dengan saling berhadapan. Menatapnya yang menyeruput kopi dengan gaya sok elegan membuatku mual. Dia menjijikkan. Namun kalimat umpatan dariku hanya bisa tertahan di tenggorokan.
"Oh ya, gue nyari suami lo. Dia kemana? Ck, gara-gara dia nggak ada kabar gue bingung mau kemana-mana. Ta lo tahu nggak sih?" Astrid memulai dengan kata-kata yang memancing.
Dalam hati aku hanya bisa berseru 'Ah, dia mulai lagi' begitu.
"Eh muka lo biasa aja kali. Joo sama gue nggak ngapa-ngapain, seenggaknya kamu masih batas wajar. Belum kebablasan apalagi sampai married by accident kek lo. Tapi, begini ya, gue butuh Joo banget sekarang jadi—"
"Stop!" potongku yang mulai malas. Perutku rasanya pun jadi sedikit mulas hanya karena melihat wajahnya.
Cih, sialan Astrid itu. Bisa tidak dia bicara dengan nada biasa saja? Mengapa saat aku ingin mengontrol emosi dia terus saja memancing emosiku seperti ini?
"Iri ya—"
"Bukan, aku cuman miris aja lihat kamu. Dari jaman SMP bahkan sampai sekarang masih aja nyari anak tunggal kaya raya. Hidup kamu miris ya? Nggak bisa usaha sendiri malah nyari cara kayak gini. Menyedihkan masalah percintaan jauh lebih baik ketimbang miskin etika dan norma kayak kamu," sarkasku.
Selama ini diam saja bukan berarti aku tak bisa melawannya. Diamku karena tak mau Joo marah, tapi kali ini buat apa aku memilih untuk mendengarkan tanpa berkomentar? Lebih lagi siapa yang berhak mengatakan kalimat pedas seperti ini jika bukan diriku yang tak lain adalah istri 'sah' Lee Jonhwi? Aku rasa bahkan bunda pun akan diam saja melihat tingkah laku menantunya.
-Bersambung ....