ดาวน์โหลดแอป
3.82% Bukan Pernikahan Sempurna / Chapter 9: Dasar Tikus!

บท 9: Dasar Tikus!

Fakta bahwa diriku hamil jelas halangan terbesar untuk menyelesaikan pekerjaan tepat waktu. Banyak yang bisa menggantikan tugasku namun entah mengapa rasanya mereka hanya akan mengacau saja jika ikut campur dalam finishing-nya.

Maka karena itulah saat orang-orang mengomentari hubungan kami aku tak perlu susah-susah menjelaskan kebenarannya. Hubungan kami sedekat itu, mengapa hanya karena aturan norma aku harus menentangnya? Toh ketimbang teman dari masa kuliah, Joo jauh lebih parah.

"Heh?"

"Kenapa?" sahutku.

"Ta, lo denger nggak kalau anak administrasi ada yang mau nikah. Ah sialan, dia pegawai terbaik kita. Gimana kalau suaminya ngelarang dia buat kerja? Mager bangetttt cari pegawai baru, belum tentu mereka konsisten," keluhnya.

Memang dia perhatian dengan semua pegawai. Itu karena mereka harus siap lembur, beberapa menerimanya dengan senang hati karena akan ada bonus. Bukan aku, Doni yang mengurusnya. Katakan saja kalau aku hanya numpang nama (?)

Lebih lagi aku merasa itu seperti sindiran. Tapi bukankah Doni tahu betul bahwa aku tak akan meninggalkan dunia ini setidaknya sampai memiliki niat untuk membunuh mama dan papaku sendiri?

"Steffi bukan? Dia udah seumuran kita, wajar lah kalau nikah. Lagian belum tentu suaminya ngelarang dia kok, santai aja nanti kita kasih hadiah liburan seminggu biar dia bisa bulan madu. Apa kurang ya? Atau beliin tiket sekalian biar keluar nanti," balasku acuh.

"Njir anak setan, nggak gitu konsepnya, Babiii. Asal lo tahu beberapa nggak mikir duit doang. Mereka kerja rata-rata udah setahun, beli mobil aja bisa kalau dihitung sama bonus lembur dan kerja di akhir pekan yang membuat kita kepanasan dan tertekan!" tegasnya membuatku mati kutu.

Aku menggaruk pelipis lantas menatapnya cengengesan. Nggak usah balas deh, lebih baik aku menghabiskan makanan sambil mendengarkan dia mengomel saja. Ngomong-ngomong hari ini meski terus mengatakan lelah bahkan mengeluh masalah bawahannya tapi aura wajahnya begitu bahagia.

Senang rasanya bisa melihat Doni seperti itu.

"Main apa?" tanyanya setelah kami selesai makan.

"Kerangka rumah minimalis modern punya pak Braham gimana? Belum selesai, 'kan?" tanyaku padanya.

Dengan segera dia membereskan meja lantas mengambil kerangka rumah yang terbuat dari sterofoam. Meski ini agak merepotkan untuk kami, namun akan terasa menyenangkan karena ini 'main' yang sesungguhnya! Kepalaku sedikit panas hanya karena melihat wujudnya yang belum sempurna. Ini baru setengah saja.

Ngomong-ngomong maksud dari kata main adalah kami akan membuat kerangka ini. Rasanya akan menyenangkan jika menganggapnya sebagai mainan. Bukan main dalam hal urusan ranjang atau sebagainya itu. kami tak sejauh itu, masih tahu batasan.

"Butuh kopi nggak?" tawar Doni.

"Nggak ah, nanti kalau udah ngantuk aja buat. Abis makan juga," jawabku, sedikit pemikiran mengenai bayi tapi setelahnya aku nggak peduli lagi.

Kami larut dalam permainan ini. Berkali-kali aku mendengus saat ukuran ruangannya salah. Sejak kapan cutter ini jadi menyebalkan? Padahal jelas-jelas sudah kuukur dengan benar namun mengapa salah lagi dan lagi, sih!

Sabar-sabar, kalau kuhancurkan bisa-bisa setengah miliar akan melayang begitu saja. Saat aku hendak menaruh sebuah pembatas tiba-tiba saja panggilan Doni membuatku melakukan kesalahan. Ah damn you boy! I hate you so much and much!

"Ta?"

"Ish, Don! Hampir rusak tau!"

Dia terkekeh geli. "Gue pengen nanya ini dari dulu."

Aku mengangkat alis. "Tanya apa?"

"Apa lo selama ini beranggapan kalau gue jauh lebih baik ketimbang Joo makanya ngerasa aman walaupun kita berada di tempat sepi dan hanya berduaan?" tanyanya dengan mata yang sepenuhnya terarah padaku.

Aku tersenyum sebagai respon atas pertanyaan darinya itu. Dia juga laki-laki sama seperti yang lainnya. Hormon miliknya pun bisa membuatku kesusahan menahan diri juga, mungkin. Namun ….

"Nggak juga, kamu bisa jauh lebih buruk. Tapi aku nggak mau membandingkan, seenggaknya sama kamu rasanya jauh lebih nyaman. Iman kamu masih bisa dijaga, haruskah aku bandingkan kalian?" balasku jujur.

Doni membuang muka. Tak perlu ditutup-tutupi lagi, aku tahu kalau pipinya bersemu tadi. Ingin rasanya aku tertawa tapi nanti dia tambah malu dan bisa saja kami akan berada dalam keadaan canggung lagi.

"Lo rese ya semenjak hamil," ujarnya dengan wajah seperti biasa.

Kali ini aku yang kesal dibuatnya. Mengapa harus membahas tentang satu itu? Aku bukannya mau menolak anak ini. Tapi mengingat kalau sedang hamil dan sudah menjadi istri orang membuatku merasa bersalah karena menginap di rumah Doni. Aku seharusnya tak di sini, namun di rumah malah membuatku gerah. Tak ada pilihan yang menyenangkan namun di dekatnya benar-benar nyaman juga aman.

"Suka-suka aku lah. Eh ngomong-ngomong, besok aku udah mulai bisa ke kantor lagi. Nggak mungkin kan cuti sampai seminggu padahal aku di rumah modal rebahan doang," kataku padanya.

Doni menatapku tajam. "Nggak usah kerja, Neng!" sindirnya membuatku tertawa. Manis betul sisinya yang satu ini. Andai saja dia memiliki seseorang yang siap menjadi pendampingnya maka aku harus menjauh tanpa aba-aba.

Harusnya memang begitu. Saat ada urgent meeting saja aku kadang masih suka cari alasan. Berdiri di depan banyak orang sambil menjelaskan pokok presentasi kami masih seperti hal baru untukku. Rasanya saat mereka menatapku pasokan udara menipis hingga bernafas saja diriku kesusahan. Hingga pilihan terbaik jatuh dengan hanya bekerja di balik layar saja.

Saat kuliah dulu aku tak seperti ini. Bisa dikatakan semenjak bekerja sama dengan Doni yang ada aku semakin malas. Dalam pikiranku, ah kan ada dia lantas mengapa aku harus bekerja keras?

Pemikiran yang bodoh, 'kan?

Namun kenyataannya memang begitu. Doni lah yang membuatku bergantung penuh padanya hingga tak bisa melihat ke sisi lain meski ingin. Berkat dia hutangku pada mama dan papa juga bisa dicicil pelan-pelan walau membutuhkan waktu tahunan.

"Oh ya, mau Kaka kamu gimana?" tanyaku yang tak berani menyebutkan nama mantan calon suamiku itu.

"Nggak baik, dan jangan bahas dia. Udah hampir tengah malam, bumil waktunya tidur!" suruh Doni.

Aku memberontak saat dia memaksaku berdiri. Dia membuka pintu kamarnya lantas memintaku untuk segera tidur. Sekali lagi aku tak mau karena kami bahkan belum sempat menyelesaikan mainan itu. mana bisa aku tidur jika keadaannya demikian?

"Jangan banyak pikiran, walau gue niatnya mau bilang itu nggak baik buat ibu hamil. Tapi Ta, itu lebih nggak baik lagi buat penderita anemia kayak lo. Jaga diri, malam cantikku!"

Aku mendengus setelah dia membanting pintu dan menguncinya dari luar. Bocah gila itu memang biasa melakukannya. Kata Doni, dia takut keluar jalur makanya saat aku menginap di kamar manapun dia memintaku untuk menguncinya.

Sudut bibirku berkedut. Kulempar tubuhku di atas kasur empuk miliknya. Semerbak harum kopi dari segala sudut membuatku terkekeh geli. Dia masih saja maniak kopi hingga parfum saja semuanya macam-macam kopi nggak jelas itu. Bisa dibilang uangnya tiap bulan pun habis hanya kare 'parfum' sialan ini.

-Bersambung ....


next chapter
Load failed, please RETRY

ของขวัญ

ของขวัญ -- ได้รับของขวัญแล้ว

    สถานะพลังงานรายสัปดาห์

    Rank -- การจัดอันดับด้วยพลัง
    Stone -- หินพลัง

    ป้ายปลดล็อกตอน

    สารบัญ

    ตัวเลือกแสดง

    พื้นหลัง

    แบบอักษร

    ขนาด

    ความคิดเห็นต่อตอน

    เขียนรีวิว สถานะการอ่าน: C9
    ไม่สามารถโพสต์ได้ กรุณาลองใหม่อีกครั้ง
    • คุณภาพงานเขียน
    • ความเสถียรของการอัปเดต
    • การดำเนินเรื่อง
    • กาสร้างตัวละคร
    • พื้นหลังโลก

    คะแนนรวม 0.0

    รีวิวโพสต์สําเร็จ! อ่านรีวิวเพิ่มเติม
    โหวตด้วย Power Stone
    Rank NO.-- การจัดอันดับพลัง
    Stone -- หินพลัง
    รายงานเนื้อหาที่ไม่เหมาะสม
    เคล็ดลับข้อผิดพลาด

    รายงานการล่วงละเมิด

    ความคิดเห็นย่อหน้า

    เข้า สู่ ระบบ