Setelah menerima wedang jahe dari mang toha, pun kita sudah duduk nyaman di gazebo persis samping perkebunan teh yang diterangi beberapa lampu kecil. Bima masih saja diam sibuk bermain handphone membalas pesan entah dengan siapa.
Dan karena aku tidak ingin mengganggu, aku memilih mengedarkan pandangan, aku tidak menyangka Bima membawaku ke tempat ini , suasananya, aroma udaranya membuatku mendadak diselimuti rasa rindu, rasanya sudah lama sekali aku tidak datang. Terakhir kali main di kebun teh milik papanya Bima ini adalah saat kami masih duduk di bangku smp, dimana aku masih menjadi teman baiknya.
Ya, dulu kami pernah sangat akrab, Bima dan aku merupakan sahabat baik, kami tidak pernah bertengkar, selalu mengerti satu sama lain bahkan kemana-mana selalu berdua. Tapi ternyata hal itu membuat teman perempuanku menjadi iri padaku. Satu persatu mereka mulai menjauhiku lantaran kesal karena hanya aku satu-satunya gadis yang bisa dekat dengan Bima. Itu semua karena Si bodoh itu yang tidak pernah menanggapi yang lain, selalu bersikap kasar pada gadis-gadis yang mencoba mendekatinya. Sehingga ketika dia hanya menerimaku, aku menjadi bulan-bulanan teman perempuanku yang lain. Lalu Tarafnya semakin parah, mereka mulai membullyku, aku bahkan pernah pulang dengan kondisi babak belur. Awalnya aku tidak peduli dan coba mengabaikannya aku merasa itu hanya masalah kecil. Dulu bagiku yang terpenting masih ada Bima yang akan selalu disisiku. Tapi suatu ketika, Bima mulai menjauhiku. Aku tidak pernah tahu alasannya sampai sekarang, Yang kutahu Bima mulai tidak peduli denganku, dia menjauhiku bahkan ketika kami masuk di sma yang sama, Bima menjadi orang asing yang tidak pernah kukenali lagi.
Brakkk
Aku terperanjat dari lamunanku saat Bima membanting ponselnya diatas meja, dia kelihatan sangat marah, mungkin karena pesan dari seseorang? Oh atau mungkin karena dia baru saja putus? Benar juga aku jadi penasaran lalu ketika ia mulai menikmati wedang miliknya, aku mulai membuka suara.
"Jadi gue dibawa kesini cuma buat nemenin orang galau?" Bima melirikku "Siapa yang galau?" Aku mengernyit bingung, loh bukannya tadi bilang putus ya?
"Katanya udah putus?"
"Emang." Astaga Bima! pita suaranya mengenakan tarif berbayar kali ya, jadi kalau ngomong harus singkat-singkat gitu. Aku memukul lengan Bima.
"Kalo ngomong tuh yang jelas Bim. Tadi lo sendiri kok yang bilang baru putus."
"Emang, tapi gak jadi." Aku mengernyit menatap Bima curiga.
"Serius udah balik lagi?" Bima mengangkat kedua bahunya, membuatku berdecak sebal. Selalu seperti itu, semenjak kami menjauh Bima semakin irit bicara. Selepas menghela nafas aku kembali melanjutkan kalimatku. "Gue heran kenapa lo pertahanin hubungan toxic kaya gitu. Tiap hari juga berantem. Tapi pasti balik lagi. Jadi kalian tuh beneran pasangan goals seperti yang dibilang temen-temen yang lain?" Bima memutar tubuhnya kini memandangku sepenuhnya.
"Itu gak penting buat dibahas, kenapa lo ngurung diri?"
Aku diam melirik, lagi-lagi mengalihkan pembicaraan tapi memang sudah seminggu ini aku tidak kemanapun, tidak pergi ke sekolah, tidak kerumah Bima sampai tante Lola datang ke rumah karena khawatir denganku. "Pengen aja." Jawabku singkat.
Aku masih merasa kehilangan dan merindukan nenek, jadi mengurung diri buatku merupakan opsi paling baik untuk menyalurkan kesedihan.
Akh!!
Bima menyentil keningku keras. Aku mendelik marah "Sakit!"
"Nyokap khawatir."
"Iya tau kok. Maaf udah bikin khawatir."
"Ngomong sama nyokap jangan sama gue." Kembali mendecak aku tidak minat menyahut. Aku jadi tidak enak dengan tante Lola, ah sehabis ini aku janji akan minta maaf.
Akhirnya tidak ada suara lagi diantara kami tapi Bima masih duduk dengan posisi yang sama. Dia seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi terlihat kesulitan.
"Jangan di pendam sendiri Uni. Lo bisa berbagi kesedihan, nyokap pasti nerima lo. At least kalo lo sungkan lo bisa ngomong sama gue." Sedikit terkejut, aku menoleh dengan satu alis menukik ke atas.
"Bukannya lo yang ngejauhin gue?" Bima kembali diam, ekspresinya sulit terbaca, dia tampak marah tapi kenapa? Bukannya seharusnya aku yang marah?
Beberapa menit menunggu kediamannya, Bima tau-tau bangkit dari duduknya, mengusak kepalaku pelan lalu mengajakku pulang. "Gakmau. Wedangnya masih banyak." Dumelku menolak pulang, aku merasa sangat marah diperlakukan seperti ini. Aku juga merasa butuh penjelasan Bima. Kenapa dia menjauhiku, apa salahku sebenarnya. Aku ingin tahu semuanya. Dia pikir enak dijauhi tanpa alasan? Setiap hari aku harus berpikir mencari-cari dimana letak kesalahanku sampai Bima menjauhiku Dan sumpah hidup seperti itu gak enak banget.
"Dibungkus aja."
Aku menggebrak meja lalu bangkit. "Ck lo ngehindarin pertanyaan guekan? Karena lo sadar, lo emang ngejauhin gue. Kalo lo gakmau kasih alasan ke gue kenapa lo ngejauhin gue. Jangan bersikap seolah lo peduli sama gue."
***
Aku masih marah saat Bima membawaku pulang kerumahnya, dia benar-benar tidak bicara apapun lagi setelah aku marah-marah dengannya. Seolah ucapanku bukan hal penting untuk ia tanggapi. Aku jadi merasa sangat tersinggung, padahal dia yang lebih dulu membuka luka lama, awas aja nanti kalau dia mengajak bicaraku lagi. Aku gak akan menanggapinya
"Aa!!!?!??!!" Teriak tante Lola menghampiri kami tepat ketika kami memasuki area pekarangan rumah. Tante Lola terlihat sangat marah lalu sedetik kemudian beliau menjewer kuping Bima membuat pekikan suara Bima menggelegar mengisi rumah ini.
Aku tersenyum entah merasa sangat puas melihat dia tersiksa. "Aduh duh bun!!!! Sakit"
"Budak bangor. Naha ngancurkeun kaca imah Uni?" (Anak nakal. Kenapa ngerusakin kaca rumah Uni?)
"Bukan aku yang salah bun!"
"Teras saha? Setan?" (Terus siapa? Setan?)
"Ho'oh bun, aduh." Tanpa sadar aku terkekeh, membuat keduanya menoleh padaku bersamaan. Seketika itu juga aku diam karena canggung. Tante Lola menghampiri ku, kupikir beliau akan marah tapi ternyata tante Lola memelukku. "Haduh Uni barudak geluis. Akhirnya kesini juga."
Pelukan hangat tante Lola, membuatku ingin membalas pelukannya. Aku terharu tante lola memperlakukanku dengan baik seperti anaknya sendiri. "Sudah makan? Haduh kamu kurusan banget. Tadi tante suruh Bima langsung bawa kamu kesini. Tapi kok gak sampai-sampai. Dia culik kemana kamu?" Tanyanya selepas menjauhkan tubuh kami. Tante Lola tahu aku tidak bisa bahasa sunda, meski lama di bandung, nenek masih bicara padaku menggunakan bahasa indonesia. Jadi aku tidak terlatih menggunakannya. Ngomong-ngomong kami satu komplek, awalnya tetanggaan tapi karena ayah dan ibu pergi, nenek jadi kesulitan keuangan, sehingga kami harus menjual rumah lama kami dan membeli rumah lebih kecil di komplek yang sama.
"Ke kebun teh tante." Aduku bikin tante Lola melotot kearah Bima.
"Ngapain A?"
Bima gelagapan sembari menggaruk tengkuknya. "Minum wedang dulu Bun. Tadi Uni nangis-nangis pas aa dateng." Mendengar jawaban Bima ganti aku yang gelagapan. Tante Lola menatapku dengan sorot penuh tanya. Aku buru-buru menggeleng, karena memang itu tidak benar. "Enggak tante, justru Bima dateng kaya kesurupan, mecahin jendela kamar Uni." Tante Lola kembali memukul lengan Bima.
"Budak bangor emang! Uang jajan kamu bunda potong!"
"Yah bun! Gak bisa! kan bunda yang suruh jemput Uni."
"Tapi bunda gak suruh kamu pecahin kaca jendela!"
"Kalau gak gitu, Uni gak mau keluar kamar Bun."
"Bunda, dibawa masuk dulu Aruninya. Masa bicara diluar?" Tiba-tiba papanya Bima, Om Surya menginterupsi kami. Aku segera memberi salam dan mendapatkan senyuman dari om surya.
"Oiyah yaampun maaf ya sayang. Gara-gara si aa nih. Ayo masuk dulu." Kata tante menggiringku kedalam, saat kami jalan ke dalam, aku mendengar Bima mengadukan ke ayahnya perihal uang jajannya yang dipotong. Aku tersenyum kecil, Bima kalau sudah bertemu dengan om Surya bisa berubah jadi anak kecil yang manja. Beda sekali kalau di sekolah, sudah seperti preman pasar yang suka berkelahi merebut kekuasaan.
Aku tersadar Ini terasa seperti masa kecil kami. Apa mungkin hubunganku dengan Bima bisa membaik seperti dulu lagi? Entahlah kita lihat nanti saja.