ดาวน์โหลดแอป
7.27% Apologize To Love / Chapter 12: Teman Baru

บท 12: Teman Baru

Kelas berlandscape pohon besar tanpa daun di dinding belakang itu pernah dia tempati dua tahun lalu.  Ngomong-ngomong, dia di bekas kelasnya bukan untuk nostalgia, tapi memperkenalkan satu murid baru pindahan Banyuwangi.

Berkat mulut ember salah seorang kawan geng tawurannya, Rigel, di sinilah saat ini Arka berada. Rigel yang sengaja mengungkit perkelahian antara Arka dan Aldo dari kelas XII Tata Boga 3 minggu lalu, ketika guru garang bernama Ibu Hana tengah melintas.

Saat ini, Arka harus rela menjadi budak Bu Hana. Sebagai hukuman, Arka diperintahkan untuk mengantar sekaligus membantu perkenalan si murid baru.

Sulung keluarga Rafael-Rinata mendengus, sebal. Namun, Arka segera memasang wajah sok manis ketika murid baru yang berada di sebelahnya itu menoleh ke arahnya. Tentu saja Arka harus memberikan kesal yang baik pada adik kelasnya yang terlihat begitu imut itu.

"Silahkan perkenalkan dirimu, Adik Manis!" Arka berucap sok manis, padahal bukan seperti itu perangainya di hari-hari biasa. Seluruh warga kelas ini bahkan mengernyit heran melihat sikap Arka saat ini.

"Aku Rini Wulandari. Kalian bisa memanggilku Rini atau Wulan. Salam kenal." Gadis yang memiliki rambut pendek sebahu dengan poni tebal itu memperkenalkan diri. Kulitnya yang putih bak boneka porselen, membuatnya terlihat seperti boneka yang hidup.

Rini mengangguk sekali, tapi tidak menarik sudut bibir meski cuma sebelah. Dalam hati Arka merutuk, Betapa kaku dia ini! Mirip kanebo kering! Tapi, untung saja sangat imut, jadi termaafkan, batin Arka.

"Oke! Kalian sudah tahu namanya, 'kan? Abang harap nggak ada yang seenak dengkul panggil 'hei' atau 'kau'. Itu nggak sopan! Budayakan tata krama!" Arka melotot—sok mengancam namun tak mempan.

Lagaknya Arka saja mengingatkan, padahal seluruh orang di lingkungan sekitar hafal benar betapa minus sopan santun Arka ini.

"Berhenti menyebut diri sendiri abang, Mas Ka! Kau membuat kami mau muntah, serius!" Kensuke—pentolan X Teknik Audio Vidio 1—menceletuk santai.

Kalimatnya sukses mengundang tawa mengejek. Memang junior kurang didikan senioritas, kakak kelas dua tingkat dari mereka berani sekali ditertawakan.

Remaja yang terkenal akan sifat galak sebelas-dua belas dengan Pak Seta mengangkat dua kakinya ke kursi, bersila seperti tengah makan di warung lesehan. Tangan kiri ia gunakan mengipas diri, sedang yang kanan asik mencomot pentol goreng langganan, lantas memakan ganas. Gaya santuy, kata anak muda jaman sekarang.

Cuaca hari ini tergolong panas untuk bulan September yang seringnya turun hujan. Kipas angin masih mati setelah anak buah Kensuke iseng menyangkutkan pewangi ruangan antara baling-baling, lalu menyetel pengatur kecepatan di angka enam—maksimal.

Bendahara pernah usul pada wali kelas untuk minta ganti, namun bukannya mengiyakan mereka justru kena marah habis-habisan. Waktu itu, mereka ingat benar jika Bapak Keamanan sengaja lewat sambil menyengir puas, wujud dendam akibat seringnya pengunduran waktu tutup gerbang—terlebih hari Senin—oleh kegemaran terlambat anak X TAV 1. Baik jam tujuh pagi maupun empat sore.

Kensuke bangkit setelah menghabiskan bulatan terakhir pentol goreng, menarik asal tisu yang disodorkan kawan sebangku. Salah satu gadis yang menjadi budak cintanya Kensuke soalnya.

Sambil sibuk mengusap jemari berjejak bumbu kacang pedas, ia melangkah menuju dua remaja yang masih setia berdiri. Yang satunya cantik dan imut, yang satunya lagi amit-amit, batin Kensuke.

Jarak seperlemparan kerikil, Kensuke berhenti. Tisu ia remas, dibentuk bola tak sempurna lantas menarik lengan si murid baru.

"Hai, aku Kensuke. Kau boleh panggil Ken, atau 'Sayang' juga boleh. Asalkan jangan panggil aku 'Uke'. Oke?" Kensuke menyengir, sepihak menjabat tangan Rini.

Rini—bingung mau menanggapi apa—mengangguk. Oke. Tapi, sebentar! Kenapa serasa ada ganjalan di tengah tangan mereka yang tertaut? Berniat mengencangkan genggam guna lebih merasa, Rini malah mendapati Kensuke bergegas melepas dan mengepalkan tangannya. Ia bingung, ingin mengintip namun Kensuke masih setia memegang.

"Hei, Mas Ka, balik sana! Ngapain masih di sini, huh? Mau mengulang lagi? Cepat keluar!" usir Kensuke dengan tidak sopannya.

Arka berdecap. Kalau tidak ingat siswa tengil satu ini adalah tetangga sendiri, sudah sejak lama dia hajar pakai ranting. Mana Kensuke kesayangan Mama Aruna pula, bisa tamat kalau dia nekat.

"Iya, iya, Cerewet ...." Habis mengejek begitu, Arka langsung kabur—menghindari pukulan maut.

Hampir Kensuke "mengaum" andai Rini tetap memilih diam.

"Ken," panggil Rini—masih beserta suara datar—menarik atensi pemuda tampan yang berwajah khas ras Asia Timur ini.

"Iya, kenapa?" tanya Kensuke sok manis. Benar-benar sok, sampai-sampai hampir semua teman sekelas—yang dari tadi cuma menyimak—serempak praktik ekspresi muntah dadakan.

Rini meringis, agak gumoh melihat aksi mereka. Matanya kembali fokus pada orang di hadapan. "Bisa aku duduk sekarang? Kakiku mulai pegal, ngomong-ngomong."

"UHUK!" Kensuke tersedak ludah sendiri. Sungguh memalukan, terlebih waktu sadar ia tetap memegangi tangan Rini. Gelagapan mundur, Kensuke hampir menabrak meja paling depan saking gugup. Ia bermanuver, cepat-cepat menutupi muka dengan buku catatan setelah sampai di bangku ternyamannya.

"Ciah ... Bang Singa malu-malu, Guys!"

"Bang Singa, huuu ... huuu ...."

"Bisa salah tingkah juga kau, Ken?"

"Maklum lah! Yang dia lawan cewek cakep, manis plus imut begitu!"

"Jangan nyerah dulu, Ken! Kita dukung kok, seratus persen!"

"Hoi, Ken! Kubelikan goldqueen sepuluh batang kalau kau berhasil pacarin teman baru kita!"

"Kutraktir bakso!"

"Kalau aku minta pajak sepiring batagor aja deh, Ken."

Rini setengah mati menahan senyum. Lucu, batinnya spontan.

Sekilat itu dia terhibur, sekilat pula perasaannya berubah jengkel. Dalam genggaman hasil paksaan Kensuke, Rini mendapati tisu bekas siswi aktif tersebut berada dengan noda coklat menyebar bau menyengat bagi hidung sensitifnya.

***

Bel pulang berbunyi enam menit lalu. Lebih dari setengah anak telah meninggalkan area sekolah, sedang lainnya menetap beralasan ikut ekstrakurikuler maupun sengaja berlama-lama, ada pula yang enggan sebab sedang seru menonton ria seperti Kensuke and the geng.

Entah menonton apa hingga empat remaja tampan itu berteriak gemas.

Sebagai salah satu bagian kelompok Penunda Kepulangan, Rini juga masih mendekam di kelas. Bukan apa-apa, dia hanya tengah mengapal tiap sudut ruang seluas empat kali tiga meter itu.

"Imut banget, woy! Pasti keturunan putri ...."

"Eh, liat, liat! Uhuyyy ... cemburu dia! Hahaha."

"Manis sangat, astaga! Anak siapa sih?!"

"Anakku! Mau apa kalian?! Melamar? Dih, enggak level!"

Rini menoleh. Suara Kensuke memang khas dengan aksen ngegas hingga di hari pertama dia bisa hapal benar perangainya.

Dia sedikit memicing, curiga anime Jepang penuh gadis-gadis imut kuncir dua menjadi alasan utama mengapa kini Kensuke dan gengnya justru ribut. Sejauh yang Rini tahu dari ucapan ngelantur kakaknya, para wibu memang kerap menjadikan waifu alias istri 2 dimensi mereka sebagai bahan rebutan para wibu jaman sekarang.

Pernah sekali dia bertanya, "Kenapa mereka suka gambar dua dimensi begitu, Kak Hasna?" yang kakaknya jawab berselip nada menggoda, "Iya, ya? Kenapa enggak suka sama adik Mbak yang keren ini? Jangan-jangan keimutanmu udah mengendor, Rin!"

Menghela napas, tas punggung dia tarik dari bahu kursi. Delapan langkah lebar, suara Kensuke kembali terdengar mendominasi.

"Rin, berhenti sebentar! Ish! Minggirlah, Al, menghalangi saja kerjamu itu, Sialan!"

Tulang kering milik Aldo ia tendang, abai pekikan nyaring penanda sakit. Cara murahan membuat orang jatuh tidak akan mempan bagi seorang Kensuke. Ia tersenyum sombong, berlari kecil menghampiri Rini.

"Rumahmu di mana?" tanyanya seraya mengusak rambut. Entah kenapa tiba-tiba gatal, padahal Kensuke sudah keramas setelah main bola bersama Keisuke kemarin.

Alis Rini naik sebelah. Dalam batin bertanya buat apa Tuan Muda Penyuka Pentol kepo tentang tempat tinggalnya.

"Kompleks Perumahan Nebula." Ya sudah, dia jawab secara umum saja—masih curiga jika Kensuke ternyata mata-mata negara entah bertujuan apa.

Kensuke mengangguk. Ia juga tinggal di sana. Tapi baru sekarang ia melihat wajah imut Rini, atau bisa jadi selain pindahan sekolah Rini juga pindah domisili, makanya ia baru tahu. Sekali lagi, Kensuke mengangguk-angguk oleh hipotesis sendiri.

"Tadi ... kenapa kalian heboh sekali?" tanya Rini berusaha mencairkan canggung. Ia melirik-lirik, masih pura-pura kalem meski dada berdetak tak keruan.

"Oh?" Bingung sih. Pertanyaan Rini tidak menunjuk langsung heboh bagian mana. Apakah saat memalukan Kensuke atau ketika dia menonton anime Jepang genre harem?

 "Yang barusan?" duga Kensuke.

Rini berdehem. Iya. Demikian maksudnya.

Sulung Shinsuke-Kenkyo memberi senyum sok imut. "Ah ... bukan masalah penting. Jadi, bagaimana kalau kita pulang bersama? Aku pun tinggal di kompleks itu. Nomor 27, tepat depan rumah Bang Arka. Cowok yang kurang tampan tadi."

Rini belum menanggapi. Bimbang antara menerima atau menolak ajakan Kensuke.

Selagi hening—kawan geng yang ia tinggalkan memilih menyimak khidmat—Kensuke mengambil langkah lebih dekat. Niat mau menarik lengan Rini seperti awal, batal oleh panggilan bernada lembut dari sang kembaran, Kyosuke.

To be continued ....


next chapter
Load failed, please RETRY

ของขวัญ

ของขวัญ -- ได้รับของขวัญแล้ว

    สถานะพลังงานรายสัปดาห์

    Rank -- การจัดอันดับด้วยพลัง
    Stone -- หินพลัง

    ป้ายปลดล็อกตอน

    สารบัญ

    ตัวเลือกแสดง

    พื้นหลัง

    แบบอักษร

    ขนาด

    ความคิดเห็นต่อตอน

    เขียนรีวิว สถานะการอ่าน: C12
    ไม่สามารถโพสต์ได้ กรุณาลองใหม่อีกครั้ง
    • คุณภาพงานเขียน
    • ความเสถียรของการอัปเดต
    • การดำเนินเรื่อง
    • กาสร้างตัวละคร
    • พื้นหลังโลก

    คะแนนรวม 0.0

    รีวิวโพสต์สําเร็จ! อ่านรีวิวเพิ่มเติม
    โหวตด้วย Power Stone
    Rank NO.-- การจัดอันดับพลัง
    Stone -- หินพลัง
    รายงานเนื้อหาที่ไม่เหมาะสม
    เคล็ดลับข้อผิดพลาด

    รายงานการล่วงละเมิด

    ความคิดเห็นย่อหน้า

    เข้า สู่ ระบบ