"Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi, atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu, dan kalaupun tidak engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap." (HR. Bukhari 5534 dan Muslim 2628)
"Agama seseorang sesuai dengan agama teman dekatnya. Hendaklah kalian melihat siapakah yang menjadi teman dekatnya." (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah, no. 927)
***
Alya dan Fikri tiba di kosan Fikri dalam keadaan basah kuyup. Pakaian serta tas yang mereka bawa basah semua. Hingga diktat dan catatan milik mereka tak terhindari ikut basah juga. Di dalam kamar kosan Fikri, Alya menggigil kedinginan. Fikri lantas mengambil dua handuk untuk dirinya juga Alya untuk mengeringkan tubuhnya masing-masing, kemudian Fikri meminjamkan bajunya untuk Alya, menggantikan pakaiannya yang basah dan meninggalkannya di dalam kamar kosannya agar bisa leluasa berganti pakaian. Sementara ia pergi ke dapur kosannya.
Koskosan Fikri ini terdiri dari dua lantai. Tiap lantai ada 5 kamar kosan untuk satu orang penghuni dan 3 kamar mandi yang dibangun bersebelahan di luar kamar. Dan terletak di antara dua kamar kosan. Terdapat 1 dapur umum dan tempat untuk mencuci pakaian, yang terletak di lantai satu. Kamar Fikri sendiri berada di lantai dua, berada di paling ujung ruangan. Tepat di sebelah kamarnya adalah kamar mandi.
Lima menit kemudian Fikri kembali ke kamar kosannya dengan membawa dua gelas teh panas untuk dirinya dan juga Alya. Alya tengah mengeluarkan semua isi tasnya untuk dia keringkan, ketika Fikri masuk ke dalam kamar.
"Maaf, ya, Al, cuman ada teh hangat ini aja. Aku belum sempat beli makanan ringan." Fikri menyodorkan gelas berisi teh panas itu pada Alya yang langsung diterimanya. "Hati-hati, masih panas," ujarnya memberi peringatan pada Alya. Rasa hangat langsung menjalar ke telapak tangan Alya ketika menyentuh gelas itu. Disesapnya perlahan teh panas itu untuk mengusir rasa dingin dari tubuhnya. Seketika tubuhnya terasa hangat.
"Makasih, ya, Fik. Kamu gak ganti baju?" ucap Alya. Dirinya mengenakan kaos lengan panjang berwarna biru navy dan celana training warna senada milik Fikri yang tampak kebesaran.
"Iya, ini mau, kok. Balik badan sana!"
"Idih, gak sopan. Kamu ganti di kamar mandi aja sana."
"Lho, ini, kan, kamarku. Masa aku yang harus keluar?" Seraya menyeringai jahil.
"Aku, kan, perempuan. Masa, kudu aku yang keluar. Dingin tauk!" Pasang muka cemberut.
"Marah?" Alya hanya mendengus, yang kemudian membuat Fikri terbahak seraya pergi dari kamarnya dengan membawa pakaian ganti.
Hampir satu jam Alya berada di kosan Fikri dan hujan masih mengguyur kota itu, sesuai dengan namanya, Kota Hujan. Sebuah kota kecil yang konon kerap dijadikan tempat peristirahatan mantan orang nomor satu di Indonesia, di sela-sela kesibukanya mengurus negeri ini dahulu. Hawanya yang sejuk memang menjadikan Bogor tempat yang layak dan nyaman untuk dikunjungi dan untuk menghilangkan penat. Masih banyaknya pepohonan di sepanjang jalan kota kecil itu pun turut andil memberikan pasokan oksigen yang cukup untuk menetralkan polusi udara. Setidaknya itu dahulu, saat cerita ini dimulai.
"Teman-temanmu apa kabar, Al?" tanya Fikri tiba-tiba saat masing-masing masih sibuk memilah-milah beberapa lembar diktat yang basah.
"Dewi dan Aida?"
"Bukan. Yang waktu itu kamu ke nikahannya." Alya hanya terdiam. Tidak ingin menjawab.
"Kalian lagi ribut?" tanya Fikri lagi. Karena biasanya Alya selalu bersama mereka setiap pergantian kelas, istirahat di kantin, bahkan saat pulang kuliah. Tapi sejak Alya ke Sukabumi untuk menghadiri pernikahan Aishah, Fikri tidak pernah lagi melihat ketiga teman Alya itu bersama-sama.
"Aku sebel, Yang, sama mereka," curhat Alya sambil memajukan bibirnya. Ingin menunjukkan bahwa dirinya tidak suka.
"Kenapa?"
"Mereka bawelin aku terus, masa."
"Bawelin gimana?"
"Disuruh pake jilbablah. Rambutku auratlah. Ini lengan ma kaki aku juga katanya aurat. Belum bahas itu bajuku, gak boleh ngetatlah. Harus panjang, longgar. Padahal aku, kan, pake baju juga masih sopan. Celana panjang atau nggak pake rok di bawah lutut. Bukan rok mini. Iya kali aku ke kampus pake baju mini. Kaya mau ke diskotik. Gak gitu juga, kan," tutur Alya panjang. Fikri yang mendengar penuturan Alya hanya membentuk huruf 'O' pada mulutnya.
"Kamu memang masih mau sama aku, gitu, kalo aku pake jilbab, Yang?" tanya Alya kemudian, karena melihat respon Fikri hanya terdiam saja mendengar curhatan Alya tentang ketiga mantan sahabatnya itu.
"Hmmmm ... gimana, ya, aku lebih suka kamu yang kaya gini, sih, Al. Jadi bisa mandangin rambut panjang kamu terus. Kalo dijilbabin, kan, jadi gak bisa liat dong."
"By the way, aku, kan, sekarang deketnya sama Dewi dan Aida, ya. Masa mereka nanyain 'apa kita udah cium*n apa belum?'" ujar Alya polos, membuat Fikri mendadak salah tingkah. Suasana mendadak canggung.
"Trus, kamu jawab apa?" tanya Fikri setelah masing-masing terdiam lama. Berkutat dengan pikiran masing-masing.
"Ya, aku jawab belumlah," jawab Alya langsung. "Tapi mereka bilang juga, sih, pacaran kita, kan, baru tiga bulan, ya. Jadi nanti klo udah lama mah pasti Ayang bakal minta jatah. Emang gitu, ya?" lanjut Alya. Membuat Fikri makin salah tingkah. Pasalnya Fikri baru kali ini memberanikan diri mengungkapkan perasaannya dan kemudian berlanjut merajut kasih. Alya bisa dibilang adalah cinta pertamanya. Begitu pun Alya. Fikri adalah cinta dan pacar pertamanya.
"Yang? Halo?" Alya mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah Fikri yang hanya terdiam. Tiba-tiba tanpa peringatan, Fikri mengecup bibir Alya sekali.
Cup!
Alya spontan terbelalak kaget, sepersekian detik, pikirannya mendadak kosong. Saat tersadar, dirinya sudah beranjak dari kamar Fikri dan berlari keluar kamarnya. Hujan mulai reda kala Alya keluar dari kamar kosan Fikri dengan cepat.
"Alya ..., Al ..., tunggu, Al ...." teriak Fikri seraya mengejar Alya yang tengah berlari di bawah rinai hujan.
Alya tidak mengindahkan teriakan Fikri yang memanggilnya. Dirinya merasa malu, bodoh, dan ntah rasa apalagi yang bercampur dalam hatinya ketika Fikri tiba-tiba ...
"Alya!" Tangannya berhasil dijangkau oleh Fikri. "Aku minta maaf, Al. Tadi spontan aja aku begitu. Maaf, kalo kamu kaget."
"—"
"Al, aku janji hal itu gak akan terulang lagi kalo bikin kamu takut. Aku sayang kamu, Al. Aku gak mau bikin hal apa pun yang bisa bikin kamu gak nyaman sama aku."
"Iya. Aku takut Fik," ucap Alya lirih pada akhirnya.
***
— ตอนใหม่กำลังมาในเร็วๆ นี้ — เขียนรีวิว