Dengan napas terengah-engah, Aveline, Kai, Mira, dan Sera akhirnya berhasil keluar dari gedung yang dikepung oleh pasukan Damian. Suara langkah kaki mereka terdengar berat di tanah berbatu, mencerminkan beban yang mereka pikul dalam hati masing-masing. Setiap orang dalam tim merasakan dampak pengkhianatan Rook, namun tidak ada yang berbicara. Mereka terus berlari, menjauh dari bahaya langsung yang baru saja mereka tinggalkan.
Kai akhirnya menghentikan langkahnya, matanya menatap hampa ke depan. "Apa yang baru saja terjadi? Bagaimana bisa Rook…?"
Aveline, yang berada di depan mereka, memperlambat langkahnya dan berbalik, menatap rekan-rekannya. Ada kelelahan yang berat di wajahnya, namun matanya tetap bersinar penuh tekad. "Kita tidak bisa memikirkannya sekarang. Kita harus terus maju."
Namun, Kai tidak bisa menahan dirinya. "Terus maju? Bagaimana kita bisa terus maju setelah ini? Rook, salah satu dari kita, berkhianat! Bagaimana jika ada yang lain yang juga akan melakukan hal yang sama? Bagaimana kita tahu siapa yang masih bisa dipercaya?"
Mira mengangguk, meskipun dia lebih tenang daripada Kai. "Dia punya poin. Kita hampir tidak punya waktu untuk mencerna semua ini. Damian tahu kita. Dia tahu kelemahan kita, dan dia menggunakan Rook untuk menghancurkan kepercayaan kita. Bagaimana kita melawan musuh yang tahu setiap langkah kita?"
Sera, yang selalu menjadi suara paling tenang dalam kelompok, hanya menatap Aveline, seolah menunggu jawaban dari pemimpin mereka. Dia tidak berbicara, tetapi ekspresinya jelas menunjukkan bahwa dia juga merasakan ketidakpastian yang sama.
Aveline mengembuskan napas panjang, mencoba meredam kekacauan di dalam dirinya. "Aku tidak punya semua jawaban," katanya, suaranya lebih lembut dari biasanya. "Tapi satu hal yang pasti: kita tidak bisa berhenti sekarang. Damian mungkin telah memecah kepercayaan kita, tapi itu tidak berarti kita kalah. Kita masih di sini. Kita masih bersama."
Namun, bahkan ketika dia mengucapkan kata-kata itu, Aveline tahu bahwa mereka berdiri di tepi jurang. Setiap langkah ke depan terasa seperti langkah menuju ketidakpastian. Damian telah memainkan kartu pengkhianatannya dengan sempurna. Jika ada satu hal yang bisa menghancurkan sebuah tim lebih cepat daripada pertempuran fisik, itu adalah ketidakpercayaan.
**Di Persimpangan Jalan**
Setelah beberapa saat, mereka akhirnya menemukan tempat aman di hutan kecil di pinggiran kota. Mereka semua duduk dalam keheningan, hanya suara angin yang bergerak di antara pepohonan yang menemani mereka. Aveline mengambil waktu sejenak untuk merenung sebelum akhirnya berbicara lagi.
"Aku tahu apa yang kalian pikirkan," katanya, menatap mereka satu per satu. "Kalian meragukan Rook, dan sekarang kalian mulai meragukan diriku. Aku tidak akan menyalahkan kalian untuk itu."
Kai menatap Aveline dengan tatapan yang penuh emosi. "Aveline, bukan itu masalahnya. Kami tidak meragukanmu, tapi... Rook? Bagaimana bisa dia sampai begitu dalam terpengaruh Damian? Kita sudah bersama-sama begitu lama, bagaimana kita bisa tidak melihat tanda-tandanya?"
Aveline menggelengkan kepala perlahan. "Damian ahli dalam manipulasi. Dia tahu bagaimana memanfaatkan ketakutan terdalam seseorang. Dan jika ada satu hal yang kita semua tahu, Rook selalu berjuang melawan ketakutannya."
Kai mengepalkan tangannya. "Jadi kau ingin kita melupakan apa yang telah dia lakukan? Memaafkannya?"
Mira menambahkan, "Ini bukan soal memaafkan atau melupakan. Ini tentang bertahan. Kita tidak bisa membiarkan kemarahan atau rasa dikhianati menghancurkan kita dari dalam."
Aveline meluruskan punggungnya, mencoba mengembalikan fokus tim. "Kita semua terluka. Dan Rook... Rook membuat keputusan yang salah, tapi aku percaya bahwa di suatu tempat dalam dirinya, dia masih berjuang melawan kendali Damian. Jika ada kesempatan untuk menyelamatkannya, aku akan mengambilnya."
Kai tampak tidak percaya. "Menyelamatkan Rook? Setelah semua yang terjadi?"
"Ya," jawab Aveline tegas. "Dia adalah sahabat kita, Kai. Dia tidak sepenuhnya hilang. Aku akan berjuang untuknya sampai akhir."
Namun, sebelum percakapan bisa berlanjut lebih jauh, suara langkah kaki mendekat. Semua orang berdiri dengan waspada, senjata siap di tangan. Dari balik semak-semak, muncul seorang sosok yang mereka kenali—Nero, seorang penyintas yang pernah mereka bantu beberapa bulan lalu. Wajahnya cemas, dan dia langsung menuju ke arah Aveline.
"Kalian harus segera pergi!" katanya tergesa-gesa. "Damian tidak hanya mengirim pasukan kecil untuk mengepung kalian. Ada kelompok pemburu bayangan yang sedang bergerak ke arah ini. Mereka tidak akan berhenti sampai kalian semua mati."
Aveline menyipitkan matanya, mencoba memahami situasi. "Pemburu bayangan?"
Nero mengangguk cepat. "Mereka adalah pembunuh bayaran paling mematikan yang pernah kulihat. Damian mempekerjakan mereka untuk mengakhiri kalian semua."
Kai mengumpat pelan. "Jadi sekarang kita dikejar oleh pembunuh bayaran? Ini semakin baik saja."
Namun, Mira malah menatap Nero dengan penuh curiga. "Bagaimana kau tahu ini, Nero? Bagaimana kau bisa sampai ke sini lebih cepat daripada pasukan Damian?"
Nero tersentak, tapi tidak terganggu oleh pertanyaan itu. "Aku punya mata di mana-mana, Mira. Kau tahu itu. Aku mendengar kabar mereka dan segera datang untuk memperingatkan kalian."
Aveline menatap Nero dalam-dalam, mencoba menilai apakah dia bisa dipercaya atau tidak. Namun, dalam situasi mereka saat ini, tidak ada waktu untuk meragukan setiap orang. "Baiklah," katanya akhirnya. "Kita harus bergerak sekarang."
Sera, yang selama ini diam, akhirnya angkat bicara. "Kita butuh tempat yang aman untuk bersembunyi dan waktu untuk menyusun ulang rencana kita."
Nero mengangguk cepat. "Aku tahu tempatnya. Ikuti aku."
**Di Antara Dua Dunia**
Perjalanan mereka melalui hutan semakin mencekam. Setiap langkah terasa seperti bahaya mengintai di setiap sudut. Nero memimpin mereka dengan sigap, mengetahui jalan rahasia yang hanya diketahui sedikit orang. Mereka terus bergerak dalam diam, sadar bahwa waktu adalah musuh terbesar mereka saat ini.
Namun, pikiran Aveline terus melayang kepada Rook. Apakah dia benar-benar bisa diselamatkan? Atau apakah Damian sudah menghancurkannya sepenuhnya? Pertanyaan-pertanyaan ini menghantui pikirannya, tapi dia tahu bahwa mereka tidak bisa berlama-lama dalam keraguan. Damian tidak akan memberikan mereka banyak waktu.
Mereka tiba di sebuah gua tersembunyi di balik air terjun kecil, tempat yang tampaknya aman untuk sementara waktu. Nero memastikan bahwa tidak ada yang mengikuti mereka sebelum akhirnya mengajak mereka masuk.
"Kita aman di sini untuk saat ini," katanya sambil duduk di atas batu. "Tapi kita harus segera memikirkan langkah selanjutnya. Damian tidak akan berhenti sampai dia mendapatkan apa yang dia inginkan."
Aveline mengangguk, tapi pikirannya masih jauh. Dia tahu bahwa ini hanya sementara. Damian semakin dekat, dan pilihan yang mereka buat sekarang akan menentukan hidup dan mati.
---
**Bab ini memperlihatkan tim Aveline yang berada di ambang perpecahan, berusaha keras untuk bertahan melawan ancaman yang semakin dekat. Konflik batin antara Kai, Aveline, dan keputusan tentang Rook menjadi fokus utama, sementara ancaman baru dari pemburu bayangan semakin memperumit situasi. Nero, sosok misterius yang muncul kembali, menambah ketegangan, membuat pembaca bertanya-tanya apakah dia bisa dipercaya atau tidak.**
Perkembangan emosional dan strategis terus meningkat.