ดาวน์โหลดแอป
85% Blackthorn Academy / Chapter 17: BAB 22 Perpecahan yang Terus Mendalam

บท 17: BAB 22 Perpecahan yang Terus Mendalam

Kai, yang sudah hampir terpojok oleh serangan bertubi-tubi dari Rook, mendengar seruan Aveline dan dengan gerakan cekatan melompat mundur, menghindari serangan pedang terakhir dari mantan rekannya. Nafasnya berat, bukan karena kelelahan fisik, tetapi karena kekecewaan yang mendalam terhadap pengkhianatan ini. Kai ingin menuntaskan pertempuran ini secepatnya, tapi dia juga sadar bahwa Rook bukan musuh biasa—dia adalah bagian dari tim, orang yang selama ini dia percayai.

Aveline menatap pertempuran itu sejenak, menimbang langkah apa yang harus diambil selanjutnya. Emosinya berputar-putar dalam kekacauan—antara rasa bersalah, marah, dan kekecewaan. Namun, dia tahu bahwa mereka tidak punya banyak waktu. Damian berdiri dengan senyum licik di sisi ruangan, mempermainkan mereka seolah ini hanya permainan yang sudah dia kuasai sepenuhnya. Aveline harus bertindak cepat sebelum Damian membuat gerakan yang lebih berbahaya.

"Mira, Sera, kalian fokus mengamankan pintu keluar," kata Aveline cepat. "Kita harus tetap punya jalan mundur. Kita tidak tahu berapa banyak pasukan Damian yang ada di sini."

Sera mengangguk tegas, meskipun matanya terus menatap Damian dengan waspada. Mira, dengan sikap lebih agresif, langsung bergerak ke pintu, pedang terhunus dan pandangan tajam penuh kesiapan. Mereka tahu bahwa Damian mungkin tidak sendirian, dan setiap saat bala bantuan bisa datang.

**Pertarungan yang Tak Terhindarkan**

Rook, sementara itu, terus menekan Kai. Denting pedang yang terus beradu menggema, setiap gerakan cepat dan akurat. Rook adalah petarung yang terlatih, dan ini membuat Kai kesulitan mencari celah untuk melawan. Sementara itu, wajah Rook dipenuhi konflik batin yang jelas terlihat, meskipun tubuhnya terus bergerak dengan kecepatan dan ketangkasan yang terlatih.

"Kau tidak perlu melakukan ini, Rook!" seru Kai, mencoba menembus perisai emosional yang telah dibangun oleh Rook. "Kita bisa menyelesaikannya tanpa harus ada yang mati!"

Rook berhenti sejenak, napasnya terengah-engah, matanya terisi dengan rasa bersalah yang dalam. "Aku tidak punya pilihan, Kai. Damian memegang segalanya. Jika aku melawannya, kita semua akan mati."

Kai menggertakkan giginya, emosinya melonjak. "Dan kau pikir ini jalan yang benar? Kau membiarkan teman-temanmu mati hanya untuk menyelamatkan dirimu sendiri?"

Namun, sebelum Rook sempat menjawab, suara tawa dingin Damian memotong percakapan mereka. "Bagus sekali, Rook. Kau akhirnya mengerti bagaimana dunia ini bekerja. Kalian semua harus memahami bahwa tidak ada yang lebih penting dari bertahan hidup. Setiap orang pada akhirnya akan memilih diri mereka sendiri ketika keadaan memaksa."

Aveline menatap Damian dengan dingin. "Kau tidak akan pernah mengerti apa artinya setia, Damian. Itulah sebabnya kau selalu bermain dengan tipu daya dan pengkhianatan. Tapi kami berbeda."

Damian tersenyum sinis. "Oh, betulkah? Mari kita lihat bagaimana kesetiaan itu bekerja ketika nyawa kalian dipertaruhkan."

**Menyusun Langkah Baru**

Di tengah-tengah kekacauan, Aveline tahu bahwa mereka harus bertindak cepat sebelum keadaan semakin tidak terkendali. Dia merasakan bahwa waktu sudah semakin menipis—pasukan Damian bisa saja datang kapan saja, dan mereka masih terjebak dalam konflik batin antara sahabat dan pengkhianatan.

"Kai!" teriak Aveline, suaranya lantang di atas suara denting pedang. "Kita tidak bisa terus bertarung di sini. Mundur!"

Kai menatap Aveline, matanya penuh amarah dan frustrasi. Namun, dia tahu bahwa Aveline benar. Ini bukan waktu yang tepat untuk menyelesaikan perhitungan pribadi. Dengan berat hati, dia melompat mundur, kembali ke posisi Aveline, sementara Rook tetap berdiri di tempatnya, pedangnya terkulai di sisi tubuhnya, napasnya terengah-engah.

Damian memperhatikan pergerakan itu dengan senyum puas. "Mau ke mana, Aveline? Takut menghadapi kenyataan bahwa kau sudah kalah?"

Aveline menahan emosinya. Dia tahu Damian sedang mencoba memancingnya, mencoba merusak strategi yang telah dia susun. Dengan satu gerakan cepat, dia memberi isyarat kepada timnya untuk mundur. Mereka harus keluar dari sini sebelum situasinya semakin tidak terkendali.

Namun, sebelum mereka bisa melangkah lebih jauh, suara langkah kaki cepat terdengar dari arah pintu utama. Sebuah pasukan kecil pengikut Damian muncul, dengan senjata terhunus dan pandangan tajam. Mereka dipimpin oleh salah satu letnan Damian yang terkenal kejam, Zane.

"Mereka mencoba melarikan diri," kata Zane, senyumnya dingin saat dia memimpin pasukannya untuk memblokir pintu keluar.

Aveline menggertakkan giginya. Mereka sudah terkepung. "Kita harus bertarung keluar," bisiknya kepada Kai dan Mira.

Kai mengangguk, meskipun wajahnya penuh ketegangan. Mira, yang biasanya lebih agresif, menyiapkan senjatanya dengan tenang. "Kita tidak punya pilihan lain. Kita hadapi mereka."

Namun, sebelum mereka bisa menyerang, sebuah suara yang familiar memecah ketegangan.

"Berhenti!" teriak Rook dengan lantang, suaranya memenuhi ruangan.

Damian menoleh ke arahnya, alisnya terangkat dengan rasa ingin tahu. "Apa yang kau lakukan, Rook?"

Rook maju ke depan, berdiri di antara tim Aveline dan pasukan Zane. Dia mengangkat tangannya, seolah memberi tanda kepada mereka untuk tidak menyerang.

"Ini bukan bagian dari kesepakatan kita, Damian," kata Rook dengan tegas, meskipun suaranya terdengar agak gemetar. "Aku tidak akan membiarkan mereka mati di sini. Kau ingin aku menyerahkan mereka, tapi bukan dengan cara ini."

Aveline dan timnya tertegun. Mereka tidak tahu harus bereaksi bagaimana terhadap sikap mendadak Rook ini.

Damian menatap Rook dengan tatapan penuh evaluasi, seolah-olah sedang menilai apakah ini adalah bentuk pemberontakan atau hanya keberanian sementara. "Kau benar-benar mau melawan kehendakku sekarang, Rook?" katanya dengan nada rendah yang mengancam.

Rook menelan ludah, tapi tidak bergerak dari posisinya. "Aku sudah melakukan bagianku. Biarkan mereka pergi, dan aku akan tetap berpegang pada kesepakatan kita."

Damian menyipitkan matanya, tatapan penuh kebencian mulai muncul di wajahnya. "Kesetiaanmu benar-benar rapuh, Rook. Kau mengira aku akan menerima ini?"

Aveline menyadari bahwa situasi ini semakin rumit. Rook telah berkhianat, tapi sekarang dia tampaknya mencoba untuk menebusnya, atau setidaknya mencegah lebih banyak darah tertumpah. Tapi apakah ini taktik yang Damian setujui? Apakah mereka masih bisa mempercayai Rook?

Namun, sebelum Damian bisa memberikan perintah apapun, Aveline memutuskan untuk mengambil kesempatan itu.

"Lari!" teriaknya, memberi isyarat kepada timnya untuk bergerak cepat menuju satu-satunya celah di antara pasukan Zane yang belum tertutup sepenuhnya.

Dengan satu gerakan, Aveline, Kai, Mira, dan Sera melesat maju, menembus garis musuh dengan ketangkasan dan kekuatan. Rook, yang masih berdiri di antara mereka dan Damian, tidak bergerak, seolah dia terperangkap di antara dua dunia—masa lalunya bersama Aveline dan masa depannya yang telah dikendalikan Damian.

Ketika mereka berhasil keluar dari ruangan itu, Aveline hanya bisa berharap bahwa mereka punya cukup waktu untuk berpikir ulang tentang langkah mereka berikutnya.

---


Load failed, please RETRY

สถานะพลังงานรายสัปดาห์

Rank -- การจัดอันดับด้วยพลัง
Stone -- หินพลัง

ป้ายปลดล็อกตอน

สารบัญ

ตัวเลือกแสดง

พื้นหลัง

แบบอักษร

ขนาด

ความคิดเห็นต่อตอน

เขียนรีวิว สถานะการอ่าน: C17
ไม่สามารถโพสต์ได้ กรุณาลองใหม่อีกครั้ง
  • คุณภาพงานเขียน
  • ความเสถียรของการอัปเดต
  • การดำเนินเรื่อง
  • กาสร้างตัวละคร
  • พื้นหลังโลก

คะแนนรวม 0.0

รีวิวโพสต์สําเร็จ! อ่านรีวิวเพิ่มเติม
โหวตด้วย Power Stone
Rank NO.-- การจัดอันดับพลัง
Stone -- หินพลัง
รายงานเนื้อหาที่ไม่เหมาะสม
เคล็ดลับข้อผิดพลาด

รายงานการล่วงละเมิด

ความคิดเห็นย่อหน้า

เข้า สู่ ระบบ