Pagi yang cerah menyelimuti desa yang telah hancur oleh pertempuran semalam. Matahari terbit di ufuk timur, memancarkan cahaya hangat yang seolah berusaha menyembunyikan bayang-bayang kengerian malam sebelumnya. Asap tipis masih mengepul dari sisa-sisa bangunan yang terbakar, dan suara tangis penduduk desa yang meratapi kehilangan mereka menggema di udara.
Di dalam gua tempat persembunyian mereka, Ceun-Ceun membuka matanya dengan berat. Semalam ia tak bisa tidur nyenyak, pikirannya dipenuhi oleh berbagai kekhawatiran dan rasa takut. Ia memandang sekeliling, memastikan bahwa Guru Xiang masih bernapas, meskipun napasnya terdengar berat. Luka-luka yang dialaminya cukup serius, dan Ceun-Ceun tahu bahwa waktu mereka semakin terbatas.
Loupan, yang sejak semalam tetap berjaga, sedang duduk di mulut gua dengan pandangan yang menerawang. Pria itu tampak tenang, namun Ceun-Ceun bisa merasakan ada sesuatu yang dipikirkannya. Dia mendekat, suara langkahnya hampir tak terdengar di atas lantai batu.
"Apa yang kau pikirkan, Loupan?" tanya Ceun-Ceun lembut, berusaha menyembunyikan kegelisahannya.
Loupan menoleh, menatap Ceun-Ceun dengan mata yang dalam. "Aku berpikir tentang apa yang harus kita lakukan selanjutnya," jawabnya tanpa mengalihkan pandangannya. "Kita tidak bisa terus bersembunyi di sini. Sekte Jari Baja pasti akan mencarimu, dan mereka takkan berhenti sampai mereka menemukanmu."
Ceun-Ceun mengangguk, setuju dengan apa yang dikatakan Loupan. Namun, satu hal yang menghantuinya adalah bagaimana nasib Desa Liangshan dan penduduknya. Ia merasa bertanggung jawab atas keselamatan mereka, tetapi saat ini ia hanya bisa menyelamatkan sedikit orang yang bersamanya.
"Apa yang kau sarankan?" Ceun-Ceun bertanya, berharap Loupan memiliki rencana yang bisa menyelamatkan mereka semua.
Loupan memandang keluar gua, matanya menyipit terkena cahaya matahari pagi. "Kita harus pergi ke Gunung Hitam," katanya pelan, namun tegas. "Di sana ada seorang biksu tua yang dikenal sebagai Pakar Penyembuh. Ia mungkin bisa menyelamatkan Guru Xiang dan memberikan kita perlindungan sementara."
Ceun-Ceun mengenal nama Gunung Hitam dari cerita-cerita para pendekar yang sering singgah di desa mereka. Gunung itu terkenal sebagai tempat yang berbahaya dan sulit dijangkau, terutama bagi mereka yang tidak terbiasa dengan medan terjal dan hutan lebat. Namun, ia tahu bahwa tidak ada pilihan lain. Guru Xiang membutuhkan pertolongan, dan mereka harus segera bertindak sebelum pasukan Jari Baja menemukan jejak mereka.
"Aku akan mengikuti rencanamu, Loupan," jawab Ceun-Ceun dengan mantap. "Tetapi, kita harus memastikan bahwa Guru Xiang bisa bertahan dalam perjalanan ini."
Loupan mengangguk, lalu beranjak mendekati Guru Xiang yang masih tak sadarkan diri. Dengan hati-hati, ia memeriksa luka-luka di tubuh pria tua itu. "Kita harus membuat tandu," katanya setelah beberapa saat. "Kita tidak bisa membiarkannya berjalan dalam kondisi seperti ini."
Ceun-Ceun segera bergerak, mencari potongan kayu dan kain yang bisa mereka gunakan untuk membuat tandu. Dengan bantuan Loupan, mereka berhasil membuat tandu sederhana yang cukup kuat untuk menahan tubuh Guru Xiang. Setelah mempersiapkan semua yang mereka butuhkan, Loupan mengangkat tandu itu di bahunya dengan mudah, sementara Ceun-Ceun membawa barang-barang lain yang diperlukan.
Perjalanan menuju Gunung Hitam dimulai dengan langkah-langkah kecil yang hati-hati. Jalan yang mereka tempuh semakin menanjak, dan medan semakin sulit seiring dengan bertambahnya jarak dari desa. Pepohonan yang menjulang tinggi dan rimbun menghalangi sinar matahari, menciptakan bayang-bayang yang membuat hutan terlihat seperti labirin yang menakutkan. Suara binatang buas yang sesekali terdengar dari kejauhan semakin menambah kesan seram pada tempat itu.
Namun, Ceun-Ceun dan Loupan terus melangkah tanpa ragu. Mereka tahu bahwa waktu adalah musuh terbesar mereka saat ini. Setiap detik yang berlalu semakin mendekatkan mereka pada bahaya yang lebih besar.
Setelah beberapa jam berjalan tanpa henti, mereka akhirnya tiba di sebuah dataran yang dipenuhi salju. Ceun-Ceun menatap luasnya hamparan salju yang membentang di depan mereka dengan rasa kagum bercampur gentar. Ia tidak pernah melihat salju sebanyak ini sebelumnya. Dataran itu, yang disebut sebagai Lembah Salju Abadi, merupakan salah satu rintangan terakhir sebelum mencapai Gunung Hitam.
"Kita harus hati-hati di sini," kata Loupan sambil memperhatikan jejak kakinya di atas salju. "Lembah ini terkenal dengan badai saljunya yang datang tanpa peringatan. Jika kita tidak bergerak cepat, kita bisa terjebak di sini."
Ceun-Ceun mengangguk, dan mereka melanjutkan perjalanan dengan lebih cepat. Namun, firasat buruk mulai merayapi pikiran Ceun-Ceun. Seolah-olah ada sesuatu yang mengintai mereka dari kejauhan, sesuatu yang tidak terlihat tetapi dapat dirasakan dengan jelas.
Saat mereka mencapai pertengahan lembah, tiba-tiba angin kencang bertiup dari arah timur, membawa butiran salju yang berputar-putar di udara. Dalam sekejap, badai salju yang ditakutkan itu datang, menyelimuti mereka dalam pusaran putih yang memutihkan pandangan.
"Loupan!" Ceun-Ceun berteriak, suaranya nyaris tertelan oleh gemuruh angin. "Apa yang harus kita lakukan?"
Loupan mencoba melawan angin yang semakin kuat, tangannya menggenggam erat tandu yang membawa Guru Xiang. "Kita harus menemukan tempat berlindung!" teriaknya balik. "Jika tidak, kita bisa mati beku di sini!"
Ceun-Ceun menoleh ke sekeliling, matanya mencari-cari apa saja yang bisa mereka gunakan sebagai tempat berlindung. Dalam badai salju itu, pandangannya terhalang, namun ia melihat bayangan gelap dari sebuah gua kecil di sisi tebing tak jauh dari mereka.
"Di sana!" Ceun-Ceun menunjuk ke arah gua tersebut. "Kita harus ke sana!"
Mereka segera berlari secepat mungkin, melawan angin dan salju yang menghantam wajah mereka tanpa ampun. Ketika mereka tiba di mulut gua, Loupan dan Ceun-Ceun langsung masuk ke dalam, terengah-engah dan tubuh mereka menggigil karena dingin. Di dalam gua itu, mereka akhirnya bisa bernafas lega, terlindung dari ganasnya badai salju di luar.
Gua itu kecil namun cukup hangat, dinding-dindingnya dipenuhi dengan lumut hijau yang seolah memberikan sedikit kehangatan. Ceun-Ceun segera menyalakan api kecil dari kayu-kayu yang mereka bawa, mencoba menghangatkan tubuh mereka yang kedinginan. Loupan dengan hati-hati menurunkan tandu yang membawa Guru Xiang dan memeriksa keadaannya.
"Bagaimana keadaannya?" tanya Ceun-Ceun dengan cemas, sambil menggosok-gosokkan tangannya di depan api.
Loupan menggelengkan kepala pelan. "Keadaannya semakin buruk. Kita harus segera membawanya ke Pakar Penyembuh, atau kita akan kehilangannya."
Ceun-Ceun terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Loupan. Rasa putus asa mulai menyelinap dalam hatinya. Di satu sisi, mereka terjebak dalam badai salju yang bisa berlangsung berjam-jam atau bahkan berhari-hari. Di sisi lain, waktu mereka untuk menyelamatkan Guru Xiang semakin menipis.
Namun, di tengah semua itu, ada satu hal yang membuat Ceun-Ceun tetap bertahan—keyakinannya pada Loupan. Meskipun mereka baru saja bertemu, ada sesuatu dalam diri pria itu yang membuatnya merasa aman. Mungkin karena ketenangan dan kebijaksanaan yang terpancar dari setiap perkataan dan tindakannya. Atau mungkin, karena jauh di dalam hatinya, Ceun-Ceun merasa bahwa Loupan adalah takdir yang dikirimkan kepadanya di saat yang paling dibutuhkan.
"Loupan," Ceun-Ceun berkata pelan, suaranya hampir berbisik. "Aku percaya padamu. Apa pun yang terjadi, aku akan mengikuti keputusanmu."
Loupan menatap Ceun-Ceun, matanya yang gelap memancarkan rasa tanggung jawab yang besar. "Terima kasih, Ceun-Ceun," katanya. "Aku berjanji akan melakukan apa pun untuk melindungi kalian. Kita akan keluar dari sini, bersama-sama."
Di luar gua, badai salju terus mengamuk, namun di dalam gua itu, ada seberkas harapan yang mulai tumbuh. Malam mulai merayap perlahan, membawa dingin yang lebih menusuk. Api unggun yang dinyalakan oleh Ceun-Ceun berkedip-kedip, seolah berjuang untuk tetap hidup di tengah gua kecil yang hanya memberikan sedikit perlindungan dari angin luar. Ceun-Ceun dan Loupan duduk di dekat api, berusaha menjaga tubuh mereka tetap hangat. Sementara itu, Guru Xiang terbaring di samping mereka, napasnya terdengar berat dan tak teratur.
Ceun-Ceun terus mengawasi Guru Xiang dengan penuh kekhawatiran. Setiap detik terasa begitu berharga, dan ia tidak bisa menahan rasa takutnya bahwa Guru Xiang mungkin tidak akan mampu bertahan sampai mereka mencapai Gunung Hitam. Keputusasaan mulai menghantui pikirannya.
"Apa yang bisa kita lakukan sekarang, Loupan?" tanyanya dengan suara gemetar.
Loupan memandang ke arah Ceun-Ceun, menimbang pertanyaan itu dengan serius. Ia tahu mereka harus bergerak secepat mungkin, tetapi kondisi cuaca di luar membuat hal itu hampir mustahil. Satu langkah yang salah di tengah badai salju bisa berarti kematian bagi mereka semua.
"Kita tidak bisa berbuat banyak sampai badai ini reda," jawab Loupan akhirnya. "Tapi kita harus tetap waspada. Musuh kita bukan hanya cuaca, tapi juga pasukan Sekte Jari Baja. Mereka mungkin sedang mencari kita saat ini."
Ceun-Ceun mengangguk, meskipun hatinya masih dipenuhi kecemasan. Dalam kondisi seperti ini, sulit baginya untuk memikirkan strategi atau rencana. Yang ia tahu hanyalah bahwa mereka harus bertahan, bagaimanapun caranya.
Beberapa jam berlalu dalam keheningan, diiringi oleh suara gemuruh angin dari luar. Ceun-Ceun dan Loupan bergantian berjaga, memastikan api tetap menyala dan Guru Xiang tetap dalam keadaan stabil. Ketika giliran Ceun-Ceun untuk berjaga, pikirannya mulai mengembara, mengenang masa-masa ketika hidupnya tidak dipenuhi dengan kekacauan dan pertempuran.
Ia teringat akan hari-hari damai di Desa Liangshan, saat ia masih menjadi gadis desa yang polos dan penuh harapan. Ia ingat bagaimana ia sering membantu ayahnya di ladang, atau menemani ibunya menenun kain di rumah mereka yang sederhana. Semua itu kini terasa seperti mimpi yang jauh, yang tak mungkin bisa diraihnya kembali.
Namun, di tengah lamunan itu, sebuah suara halus menarik perhatian Ceun-Ceun. Ia memfokuskan pendengarannya, berusaha menangkap asal suara tersebut. Ternyata itu adalah suara napas berat dari Guru Xiang, yang terdengar semakin lemah. Rasa panik segera menyergap Ceun-Ceun.
"Loupan!" panggilnya cepat, membangunkan Loupan yang sedang terlelap sejenak di sudut gua. "Guru Xiang... dia semakin lemah!"
Loupan segera bangkit dan mendekati Guru Xiang. Ia memeriksa keadaan pria tua itu dengan cermat, namun dari ekspresi wajahnya, Ceun-Ceun bisa melihat bahwa keadaan Guru Xiang memang memburuk.
"Kita harus pergi sekarang," kata Loupan dengan nada mendesak. "Kita tidak punya waktu lagi. Badai ini mungkin belum sepenuhnya reda, tapi kita harus mengambil risiko."
Ceun-Ceun tidak menolak. Meski dengan hati yang berat, ia tahu bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan Guru Xiang. Mereka dengan cepat memadamkan api dan mempersiapkan tandu untuk kembali dibawa.
Dengan susah payah, mereka keluar dari gua dan menghadapi dinginnya malam yang masih diselimuti oleh sisa-sisa badai. Salju turun dengan lembut, namun angin masih bertiup kencang, membuat setiap langkah terasa berat dan berbahaya.
Ceun-Ceun berjalan di depan, mengikuti jejak yang hampir tak terlihat di atas salju. Ia berusaha untuk tetap fokus, meski tubuhnya sudah mulai lelah dan kedinginan. Di belakangnya, Loupan terus membawa tandu dengan hati-hati, memastikan Guru Xiang tidak terguncang terlalu banyak.
Perjalanan ini terasa seperti tak ada ujungnya. Setiap langkah terasa semakin berat, dan Ceun-Ceun mulai merasakan ujung-ujung jarinya mati rasa akibat dingin yang menyiksa. Namun, tekadnya untuk menyelamatkan Guru Xiang dan kepercayaan pada Loupan memberinya kekuatan untuk terus maju.
Setelah beberapa jam yang terasa seperti selamanya, mereka akhirnya sampai di kaki Gunung Hitam. Gunung itu menjulang tinggi dengan puncak yang tertutup salju, tampak angkuh dan menakutkan di bawah cahaya bulan. Ceun-Ceun menatap ke atas, merasa gentar dengan apa yang akan mereka hadapi.
"Kita sudah dekat," kata Loupan, suaranya terdengar lelah tapi tetap tegas. "Pakar Penyembuh tinggal di sebuah biara yang tersembunyi di lereng gunung ini. Kita harus segera sampai ke sana."
Ceun-Ceun mengangguk, meskipun kakinya sudah mulai kehilangan kekuatan. Mereka terus mendaki dengan langkah yang lebih lambat namun mantap, melewati jalanan yang semakin menanjak dan licin. Nafas mereka terdengar berat, menghembuskan uap putih di udara malam yang dingin.
Saat mereka mendekati puncak pertama, Ceun-Ceun merasa ada sesuatu yang aneh. Suasana di sekitar mereka terasa sunyi, terlalu sunyi untuk tempat yang biasanya dipenuhi dengan suara binatang malam atau gemerisik angin di antara pepohonan. Instingnya sebagai seorang murid persilatan segera menyadarkannya akan bahaya yang mungkin mengintai.
"Loupan, berhenti!" bisiknya, sambil menahan napas.
Loupan segera menghentikan langkahnya dan memandang sekeliling. Dalam kegelapan malam, mereka berdua berusaha menangkap tanda-tanda apa pun yang bisa menjadi ancaman. Tiba-tiba, dari balik bayangan pepohonan di depan mereka, muncul beberapa sosok yang bergerak cepat.
"Jebakan!" seru Loupan saat ia menyadari bahwa mereka telah dikepung.
Dari berbagai arah, belasan anggota Sekte Jari Baja menyerbu keluar, membawa senjata yang siap menebas. Mereka telah mengikuti jejak Ceun-Ceun dan Loupan, menunggu momen yang tepat untuk menyerang.
Ceun-Ceun segera menghunus pedangnya, meskipun ia tahu bahwa situasi ini jauh dari menguntungkan. Loupan meletakkan tandu Guru Xiang dengan cepat dan bersiap untuk bertarung, matanya fokus pada musuh yang mendekat.
Pertarungan pecah dalam sekejap. Ceun-Ceun dengan cekatan menghindari serangan dan melancarkan tebasan pedangnya, memotong udara dengan kecepatan yang mematikan. Namun, jumlah musuh yang banyak membuatnya kewalahan. Mereka datang dari segala arah, mencoba memisahkan Ceun-Ceun dan Loupan, serta mendekati tandu Guru Xiang.
Loupan, dengan gerakan cepat dan bertenaga, melawan setiap serangan yang datang padanya. Tangannya yang kuat mampu menangkis dan menyerang dengan akurasi yang luar biasa. Namun, bahkan Loupan yang tangguh pun mulai merasa kelelahan menghadapi serangan bertubi-tubi dari musuh yang tak henti-hentinya.
Di tengah kekacauan itu, salah satu anggota Sekte Jari Baja berhasil menembus pertahanan mereka dan mendekati tandu Guru Xiang. Dengan senyum licik, pria itu mengangkat pedangnya tinggi-tinggi, siap untuk menebas tanpa ampun.
"Jangan!" Ceun-Ceun berteriak, mencoba menghentikannya, namun jaraknya terlalu jauh.
Saat pedang itu hampir jatuh, tiba-tiba sebuah bayangan gelap melesat dengan kecepatan yang tak terduga. Loupan bergerak lebih cepat daripada yang bisa ditangkap oleh mata telanjang, menyerang dengan kekuatan penuh dan menghentikan pria itu sebelum ia sempat menyentuh Guru Xiang. Dalam satu gerakan, Loupan berhasil menjatuhkan pria itu dan melindungi Guru Xiang.
Namun, serangan tersebut membuat Loupan kehilangan keseimbangan sejenak, memberi celah bagi musuh lain untuk menyerang dari belakang. Sebelum ia bisa berbalik, salah satu musuh berhasil melukai bahunya dengan senjata tajam, membuatnya meringis kesakitan.
Ceun-Ceun melihat kejadian itu dengan hati yang berdebar-debar. Meski dalam kondisi terjepit, ia merasa putus asa. Ia tahu bahwa mereka tidak bisa bertahan lebih lama lagi. Namun, tepat saat ia hampir menyerah pada nasib mereka, sebuah suara keras bergema di udara, menghentikan pertempuran secara tiba-tiba.
"Berhenti!" suara itu bergema dari kejauhan, penuh wibawa dan kekuatan.
Para anggota Sekte Jari Baja berhenti sejenak, tampak bingung dan waspada. Dari balik kegelapan, seorang pria tua berjubah putih muncul, berjalan mendekat dengan langkah tenang.