"Kenapa kau tersenyum, sialan?" Arvy memalingkan wajahnya.
"Padahal dia murni sekali auranya. Apa Dio mengonsumsi obat semacam itu? Apa dia benar benar baik baik saja?" tanya Arvy dalam hatinya. Pertanyaan pertanyaan itu berkecamuk, namun tak mungkin terlontarkan dari mulutnya.
"Kalau begitu, syukurlah. Kau boleh minta bantuan apapun, termasuk kebutuhan finansial."
"Itu tidak perlu, Kek."
"Aku tahu pekerjaanmu. Kau seorang dokter kan? Tidak apa apa, meski begitu mintalah jika kalian membutuhkan sesuatu."
"Sekali lagi terima kasih, Kek."
"Ya sudah kau boleh keluar. Aku ingin berbicara dengan anak bebal ini berdua."
Dio tersenyum lalu berbalik melangkah menuju pintu, namun ia berhenti sejenak, tatapan matanya yang lembut berubah serius. Ia berbalik dan kembali.
Kakek bertanya ada apa, begitu juga Arvy yang penasaran.
"Kakek bilang tadi, boleh minta apapun kan?"
"Iya tentu saja, tadi aku sudah mengatakannya kan. Apa ada yang mengganggu pikiranmu?"
"Iya ada."
"Apa itu?"
"Bisakah kakek… tidak terlalu keras pada ayah?"
Degh.
Rossan tak percaya, Dio meminta permintaan tak terduga itu.
"Apa?" Rossan tehenyak.
"Apa terlalu berat?"
"Bukan begitu hanya saja…ini tidak seperti yang kau pikirkan."
Dio tahu bahwa hubungan ayah dan menantu di rumah itu awalnya tak baik, bahkan Rossan sadar keduanya menikah bukan karena kakek merestuinya melainkan ia membutuhkan orang semacam Holan di keluarganya. Meskipun sekarang tidak begitu lagi.
Rossan tercengang mendengar permintaannya. Begitu juga Arvy yang tak percaya.
"Dia meminta dengan tersenyum? Apa dia psikopat?" batin Arvy.
"Kakek? Kakek?" panggil Dio.
Kakek masih melamun.
"Ah…apa aku terlalu ikut campur?"
Kakek kembali ke percakapan. "Tidak tidak," kakek tersenyum namun terlihat dari wajahnya bahwa ia tertekan.
"Aku tidak menyangka kalau Dio khawatir tentang itu. Aku dan ayahmu memiliki hubungan yang sehat. Sepertinya kau salah paham."
"Maaf?"
"Maksudku, aku tidak keras padanya lagi. Aku menganggapnya sama seperti anakku yang lain. Dan cara mengajariku mungkin terlalu berlebihan sebelumnya, karena ayahmu masih muda. Sekarang ayahmu tidak muda lagi, begitu juga kakekmu ini. Tidak ada alasan aku harus keras pada anak yang berada di fase yang hampir sama denganku. Kau tahu Dio?"
Dio memperhatikan dan mendengarkan.
"Saat kau memiliki anak nanti, kau pasti ingin terbaik untuknya. Karena itulah aku mengajarinya. Kau sudah mengerti?"
"Iya, Kek. Maaf kalau aku sudah salah paham."
"Tidak, jangan minta maaf. Sudah sewajarnya anak muda kritis dan cerdas sepertimu berpikir begitu. Kurasa ini jadi pembelajaran yang baik. Bukankah begitu?"
"Tentu saja, aku akan mengingatnya. Kalau begitu aku permisi keluar." Dio menundukkan kepala lalu melangkah keluar.
Kali ini ia benar benar meninggalkan ruangan direktur. Dan hanya tersisa Arvy dan kakek di dalam.
Flashback selesai
Kembali ke saat ini.
Alfa tengah keluar ke supermarket. Di apartemen Amy, Alfa membantu menata makanan yang dibawakan kakek untuk mereka ke kulkas. Banyak sekali hingga kulkas tidak muat. Kakek memang membawakan mereka banyak makanan seperti yang mudah dipanaskan dan cepat bisa dimakan, daging berkualitas terbaik dan bahan makanan lain. Ada juga puding, cemilan dan lainnya.
"Kulkasnya tidak muat untuk menyimpan semuanya," kata Dio. "Nanti kau bisa titipkan di tempat Alfa."
"Em, baiklah. Oh ya, tadi apa yang kau dan Arvy bicarakan di ruang kakek?"
"Tidak ada yang penting, hanya bertanya tentang kondisi kita."
"Benarkah? Kau tidak berbohong kan?"
"Kenapa aku harus berbohong?"
"Bukankah kau hobi berbohong?" Amy meliriknya.
Dio membisu. Ia tertegun, sedetik kemudian ia tertawa.
"Kau serius tanya itu? Haha"
Amy membalasnya dengan tawa renyah. Ternyata Amy memang memang bercanda.
"Kenapa anak itu lama sekali?"
"Aku khawatir luka luka di tubuhnya akan kambuh. Tapi dia tetap memaksa untuk pergi belanja," Amy khawatir.
"Kenapa kau tidak menyusulnya?"
Amy hanya diam tak menanggapinya. Dio paham kalau keduanya memang memiliki hubungan lebih dari teman. Ia pun tak ingin ikut campur urusan itu.
"Kalau begitu aku akan menyusulnya." kata Dio tiba tiba. Ia mengambil jaket coat nya lalu melangkah keluar.
"Kenapa kau yang menyusulnya?"
"Kau tidak mau kan?"
"Ha?"
"Kalau kau khawatir, susul saja dia. Apa yang kau tunggu?"
"Itu akan terlihat obsesif."
Dio mendekat dan berdiri di hadapannya tepat.
"Obsesif?" Dio menatap mata Amy. "Siapa yang bilang?"
"Apa yang ingin kau katakan?"
"Jika pacarku koma berminggu minggu lalu dia berhasil kembali bangun lagi, kupikir aku akan menemaninya ke manapun. Bahkan mandi dan tidur sekalipun."
Amy tertegun mendengar Dio mengatakan itu dengan raut wajah serius.
"Mandi? Tidur?"
"Apa salahnya? Dia pacarku. Aku ingin melindunginya."
Hening. Keduanya saling bertatapan dengan diam.
Plak
Tiba tiba Amy menepuk dadanya pelan dan tertawa garing.
"Woy Dio! Kau sedang shooting film? Bercerminlah. Sepertinya kau bisa jadi aktor, hahaha."
"Sialan kau."
"Sudah sana pergi. Susul Alfa." Amy kembali ke dapur dan menata bahan makanan di kulkas dan meja.
Dio hanya menatapnya dari ruang tengah dengan tatapan yang sulit dijelaskan. Ia akhirnya keluar dan menutup pintu. Tanpa ia sadari, Amy menoleh ke arah pintu begitu mendengar suara pintu ditutup.
"Ada apa dengan si sialan itu? Apa dia salah makan?" Amy memiringkan kepalanya.
Dio berada di dalam lift. Ia menuju ke lantai bawah. Namun baru sampai di beberapa lantai kemudian, lift terbuka. Seseorang berdiri di sana.
"Loh? Sudah mau pulang, Kak?" itu adalah Alfa.
Dio keluar dari lift.
"Kau sudah kembali rupanya."
"Mau pulang sekarang?"
"Tadinya mau menyusulmu."
"Ha? Menyusulku?" Alfa garuk garuk kepala. "Tapi aku kan bukan anak kecil. Untuk apa kau…"
"Amy mengkhawatirkanmu." Dio memegang bahu Alfa. "Mulai sekarang, ajaklah dia kalau kau mau keluar, entah ke supermarket atau ke tempat yang tak terlalu penting sekalipun."
"Aku tidak memikirkannya sampai ke sana. Selama ini aku pasti membuatnya khawatir. Aku benar benar tak menyadarinya."
"Kau tidak terlalu peka, tapi baguslah. Sepertinya kau tidak pernah bertemu gadis selain adikku sebelumnya." Dio tersenyum.
"Kakak mengolokku?"
"Tentu saja tidak." namun Dio tetap tersenyum. "Kalau begitu naiklah. Aku sampai sini saja. Aku akan lembur malam ini."
"Tidak makan siang dulu?"
"Tidak perlu. Terima kasih. Cepatlah naik."
Alfa mengangguk, lalu memencet lift. Dio melambai sembari tersenyum saat pintu lift perlahan mulai tertutup. Namun sesaat setelahnya wajahnya kembali serius.
***
Arvy minum di bar nya sendirian, dirinya cukup mabuk. Diingatnya kembali percakapannya dengan kakek mengenai informasi tentang Gita, dan ia berakhir dengan frustasi.
Kemarin.
"Kau bilang dia ada di Toronto dengan ibunya?"
"Iya."
"Kau yakin dengar sendiri dia bilang seperti itu?"
"Iya." Arvy memutar bola matanya. "Sebenarnya apa yang kakek dapatkan tentang dia?"