ดาวน์โหลดแอป
7.5% The Gladiol / Chapter 12: Ilusi

บท 12: Ilusi

Amanda melihat sebuah foto lama keluarganya yang ia letakkan di meja samping tempat tidur. Ada Holan dan Nadia, juga Dio.

"Aku rindu mereka semua," sendunya. Ia memegang foto itu sembari menyapu kacanya yang berdebu dengan telapak tangan.

Ia teringat kejadian tadi sore saat Alfa membawanya pulang karena dirinya pingsan di tempat kerja. Ditatapnya telapak tangan kirinya yang putih, namun itu adalah tampilan orang yang tidak bisa melihatnya. Di mata Amanda telapak tangan kirinya itu memerah seperti terbakar, sebuah simbol segitiga merah ada di sana. Bertahun-tahun lamanya dan tak seorangpun dapat benar-benar melenyapkan mantra itu dari tubuhnya. Mantra ilusi.

"Sialan!" gumam Amanda.

Tiba-tiba terdengar suara debum di lantai atas. Kamar Amanda berada di lantai 3, sedangkan atasnya adalah balkon. Awalnya suara debum itu hanya sekali, dua kali. Kemudian terdengar berulang kali dan terus menerus hingga membuat Amanda tidak nyaman.

"Serius mereka akan menganggu tidurku malam ini?" dumelnya.

Tok tok tok.

Pintu kamarnya diketuk seseorang. Orang itu memanggil-manggilnya dari luar. Ia mendecih dan bisa menebak siapa orangnya. Meski malas menanggapinya ia tetap membuka pintunya.

"Apa?!" teriak Amanda judes.

Pria itu adalah Alfa. Ia menenteng sebuah surat, membukanya lalu menunjukan isinya di depan muka Amanda dengan serius.

"Kita ada pekerjaan malam ini."

***

Plak!

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kecil seorang anak perempuan berusia 9 tahun. Namun anak itu bak es yang tidak bisa mencair. Ia tetap diam dan tak berekspresi kesakitan meski tubuhnya terpental beberapa langkah ke belakang akibat tamparan dari ibu panti. Ia adalah Ibu Sari, ibu panti asuhan Motherwood

"Dasar anak setan! Kenapa kau ke sini huh! Ibumu yang jalang itu pasti sengaja membuangmu kan?! Anak setan kau!"

Anak setan!

Anak setan!

Anak setan!

Gadis kecil itu yang awalnya menunduk, wajahnya menghadap ke bawah sembari menatap kaki kecilnya yang luka-luka. Jari-jarinya bahkan hampir patah karena sering dipukul. Namun ia tidak tahu bagaimana menunjukkan emosi dengan benar. Badannya sakit, seluruh tubuhnya kesakitan tapi matanya masih lebar dan berbinar terang bak bintang. Ia hanya memiliki wajah polos yang biasa dan datar.

"Kau tidak bisa merasakan sakit? Kau iblis? Huh!"

Ibu panti menarik daun telinganya hingga merah lalu menjatuhkannya ke lantai dengan keras lalu menyepak kaki-kaki kecilnya.

"Kembali ke ibumu sana!"

Tiba-tiba terdengar suara berat seorang laki-laki yang memanggil-manggil namanya dari luar.

"Amy! Amy!"

Anak perempuan itu menoleh ke samping. Wajahnya terkejut setengah mati namun dipenuhi rasa harap. Ia yang tadinya tidak berencana menghindar atau lari dari wanita tua yang menakutkan itu, semuanya berubah. Tubuhnya adalah miliknya dan keberadaannya bukanlah kesalahan. Harus lari! Harus lari sekarang!

"Dasar anak set…"

"Berhentiiiiii….!" teriak Amy sekencang-kencangnya hingga suaranya melengking dan serak.

"Anak setan ini beraninya menyalak!"

Wanita itu mengangkat tangan dengan wajahnya yang garang dan meringis menakutkan hingga gigi-ginya meruncing seolah pisau, merah dan bersungut-sungut seperti iblis. Ia berteriak setan namun sebenarnya dia tengah meneriaki dirinya sendiri.

Amy yang awalnya tidak takut apapun, tidak mengharap apapun, tidak ingin memiliki siapapun, menjadi lebih berani. Ia ingin berani setidaknya untuk dirinya sendiri. Luka dan lebam yang berdarah ini sama sekali tidak ada apa-apanya dibandingkan mentalnya yang tengah beradu di zona militer tiap hari. Amy mulai berhenti membuang dunianya., namun ia berusaha menerimanya.

"Ayaaaaah. Ayaaaaahh…." teriaknya dengan putus asa hingg air mata mengalir deras membasahi bajunya.

Telapak tangannya dingin, telapak kakinya dingin, wajah dan bibirnya pucat. Sayangnya teriakannya tidak sampai pada ayahnya. Amy menatap wanita tua menyeramkan itu yang berubah menjadi raksasa. Tangannya terangkat dan siap memukulnya sampai mati. Tiba-tiba sorot mata Amy berubah. Ia berdiri tegak, kedua tangannya mengepal, dilihatnya baik-baik raksasa tinggi nan besar itu.

Hap!

Tangan bu panti ditangkapnya sebelum mendarat di pipinya.

"A…apa?" Bu panti terkejut. Ia membeku dan kaget melihat sorot mata anak yang datar dan tidak pernah berekspresi itu kini menyala, seolah irisnya berapi-api.

"Wanita sialan! Mati kau!" Amy melempar tangannya hingga tubuh wanita itu terpental beberapa meter seolah terbang dan menabrak meja sampai bersuara brak.

"A…nak…se…ta…." Bu panti mengeluarkan banyak darah dari mulutnya. Ia terlentang dan tubuhnya tertancap banyak paku di lantai. Di detik-detik waktunya yang tersisa ia masih mengumpati Amy.

Amy melihatnya dari kejauhan. Ia mundur beberapa langkah. Ditatapnya kedua telapak tangannya yang tadinya putih bersih kini menjadi merah dipenuhi darah. Darah itu mengalir hingga ke lantai seperti hujan.

"Amy! Amy!" suara dari luar masih memanggilnya.

"A…yah…" Amy menciut. "Ayaaaaahhh!!" teriaknya kemudian sembari menutup wajahnya dengan telapak tangan yang dipenuhi darah, hingga wajahnya berubah merah.

"Sadar Amy! Amy!"

Mayor menggoyang-goyangkan bahu putrinya yang terus-terusan menjerit kesakitan di kamar. Ia bahkan mencakar-cakar mayor hingga pipinya tergores. Namun amy masih memejamkan mata dan berteriak histeris seolah akan ada yang menyakitinya.

Nafasnya tersengal dan dia terus-terusan memanggil-mangil 'ayah' dalam mimpi buruk yang menggerogotinya.

"Ayah!" Amy membuka mata dan mendapati mayor berada di hadapannya dengan ekspresi khawatir dan ketakutan.

"Ayah di sini, Nak. Ayahmu di sini!" mayor memeluk Amy yang kesakitan amat sangat.

Putri semata wayangnya yang terjatuh dan terkubur di bebatuan jurang dalam. Tidak bisa keluar dari cangkangnnya sendiri. Kenangan buruk dan seluruh ilusi yang mantra itu ciptakan membaur menjadi satu. Membuat hidupnya dua kali jauh lebih menyakitkan dari yang ia lewati sebelumnya.

"A….ayah…" tangis Amy pecah melihat mayor memeluknya dengan penuh kepedihan. Mayor menangis seperti orang yang akan kehilangan seseorang yang disaayanginya. Ia melihat ayahnya yang pilu dalam kesedihan.

"Karena aku ayah jadi begini," kata Amy. Bibir kecilnya bergetar. "Karena aku, banyak orang yang terluka. Karena aku semua orang mati. Karena aku…"

"Hentikan! Hentikan kata-kata buruk itu!" mayor memegang pipi Amy dan menghapus air matanya yang luruh. "Amy adalah putri ayah yang paling berharga. Amy adalah putri ayah yang tidak tergantikan. Amy adalah satu-satunya putri ayah yang paling ayah sayangi."

Mayor memeluknya lagi dan lagi.

Dio berdiri di ambang pintu dan melihatnya keduanya. Air mukanya mengkerut. Ia menahan tangisnya agar tak pecah. Berapa lama ini akan berakhir? Berapa lama lagi keluarganya akan seperti ini? Berapa lama lagi Amy akan menderita?

Mayor tak bisa melakukan apapun kecuali memeluk putrinya yang masih berada di awang-awang bawah sadarnya dengan kesungguhan. Mantra itu seolah kutukan yang menyatu dengan ingatan kelam Amy. Ini bahkan menjadi lebih buruk.

"Bagaimana aku menyelesaikan ini?" hati kecil mayor berteriak. "Apa yang harus aku lakukan pada anak kita Nadia? Apa yang harus aku perbuat?!"

Mayor masih memeluk Amy. Berusaha melepaskannya dari penjara masa lalu yang menyesakkan.


Load failed, please RETRY

สถานะพลังงานรายสัปดาห์

Rank -- การจัดอันดับด้วยพลัง
Stone -- หินพลัง

ป้ายปลดล็อกตอน

สารบัญ

ตัวเลือกแสดง

พื้นหลัง

แบบอักษร

ขนาด

ความคิดเห็นต่อตอน

เขียนรีวิว สถานะการอ่าน: C12
ไม่สามารถโพสต์ได้ กรุณาลองใหม่อีกครั้ง
  • คุณภาพงานเขียน
  • ความเสถียรของการอัปเดต
  • การดำเนินเรื่อง
  • กาสร้างตัวละคร
  • พื้นหลังโลก

คะแนนรวม 0.0

รีวิวโพสต์สําเร็จ! อ่านรีวิวเพิ่มเติม
โหวตด้วย Power Stone
Rank NO.-- การจัดอันดับพลัง
Stone -- หินพลัง
รายงานเนื้อหาที่ไม่เหมาะสม
เคล็ดลับข้อผิดพลาด

รายงานการล่วงละเมิด

ความคิดเห็นย่อหน้า

เข้า สู่ ระบบ