"Assalamualaikum."
Dirga menghentikan kata-katanya, ketika terdengar salam dari luar. Nampak Aisyah, baru tiba, dia tertegun sejenak sebelum masuk dan menyalami kedua orangtuanya dan kakeknya.
"Nak, ayo duduk di sini!" titah Kiyai Ridwan.
Dirga meneguk saliva, kerongkongannya kering, dia tak tau harus menjawab apa.
"Nak, perkenalkan ini Nak Dirga dan Nak Furqan, mereka ke sini berniat untuk mengkhitbah kamu," ucap Kiyai Ridwan, dia menjelaskan kepada Aisyah yang sudah duduk di depannya.
Kening Aisyah berkerut, dia menatap kakeknya, orangtuanya serta Dirga dan Furqan secara bergantian.
"Kek, bukannya dalam agama kita di larang melakukan poliandri? Nah, kok ini mereka berdua mau melamar saya. Kan nggak boleh!"
Kelima orang tersebut saling menatap, lalu tawa pecah di antara mereka.
Kiyai Ridwan bahkan terbatuk-batuk karena tertawa, Aisyah mengusap lembut punggung kakeknya berkali-kali.
"Bukan begitu, maksudnya Nak Dirga berniat melamar kamu dan Nak Furqan ini temanya!" jelas pak Imran.
Aisyah hanya mengangguk, dia tak lagi menimpali.
"Nak, bagaimana pertanyaan Ibu tadi, kenapa di umur yang sudah matang, tapi belum menikah?"
Ternyata Bu Hafidzah masih penasaran dengan status Dirga, yang memang kalau di lihat dari umur, dia sudah pantas menikah dan memiliki beberapa anak.
"Saya sudah menikah, Bu. Saya ke sini berniat melamar anak Bapak dan Ibu untuk di jadikan istri kedua," jelas Dirga. Entah darimana dia mendapatkan keberanian, sehingga dia mengatakan yang sebenarnya. Furqan yang sedari tadi duduk di sampingnya, bahkan melongo karena tak menyangka akan jawaban Dirga, sangat berbeda dengan apa yang sudah mereka sepakati di awal, untuk menyembunyikan status Dirga.
Suasana kembali hening, nampak raut wajah bingung dari Kiyai Ridwan, Pak Imran serta istrinya.
Hanya Aisyah yang menatap tajam kearah Dirga, sudut bibirnya terangkat ke atas, dia sepertinya sedang mengintimidasi lelaki yang sedang duduk di depannya itu.
"Ehem, maaf, kami tidak memiliki maksud apa-apa. Tapi, sepertinya kami tidak bisa menerima lamaran Nak Dirga, berhubung Nak Dirga sudah menikah." Pak Imran akhirnya mengatakan penolakan, walaupun bahasanya halus namun tetap saja terasa sakit di telinga dan hati Dirga.
Dirga tak membantah, dia hanya mengangguk, Furqan memegang paha Dirga, dia memberi kekuatan kepada sahabatnya. Walaupun dia kecewa, tapi setidaknya mereka sudah sampai di tempat tersebut dan tidak menyembunyikan statusnya.
"Kalau begitu, kami permisi pulang dulu," ucap Furqan, dia ingin segera membawa sahabatnya agar tak merasakan malu lebih lama lagi.
"Tunggu!" Aisyah bersuara, membuat semua orang kembali menatap ke arahnya.
"Kek, Abi, bukankah dalam agama, kita di beri kesempatan untuk mendengar penjelasan dari seseorang. Saya, sangat mengapresiasi keberanian dan kejujuran Om ini, untuk datang dan melamar Saya. Jadi jika di ijinkan, Saya ingin berbicara empat mata dengan Om ini, sebelum Saya memberikan keputusan. Bukankah Saya yang akan menjalani pernikahan. Jadi, bukan Abi yang berhak menentukan siapa yang akan menjadi suami Saya." Lagi-lagi, perkataan Aisyah mampu menyihir semua orang di ruangan tersebut.
"Baiklah, silahkan kalian berbicara di halaman belakang, namun tidak empat mata, karena kami akan melihat kalian dari sini." Kiyai Ridwan berkata, pak Imran menghela napas berat, kemudian mengangguk kepada Aisyah.
Aisyah berdiri, Furqan mencubit tangan Dirga yang belum paham akan situasi yang terjadi, Dirga menatap penuh tanya ke arah Furqan, lelaki itu memberi kode dengan melihat ke arah Aisyah, melihat Aisyah melangkah, Dirga baru mengerti, dia ikut berdiri.
Brak
Karena Dirga berdiri tiba-tiba, lututnya sempat mengenai ujung meja dan menimbulkan benturan yang cukup keras.
Dirga meringis, dia memegang lututnya, Bu Hafidzah menutup mulut, dia menahan tawanya agar tak lolos, begitupun dengan Aisyah, dia sudah cekikikan. Namun, segera dia hentikan, takut membuat dirinya di tegur oleh Kakek dan Abinya.
Dirga mengekori langkah Aisyah, mereka berdua duduk di gasebo, Aisyah duduk menghadap Dirga, pintu penghubung antara ruang tamu dan halaman belakang di biarkan terbuka, mereka bisa melihat gerak gerik keduanya, karena lampu di gasebo cukup terang, mereka hanya tak bisa mendengar apa yang sedang dua orang itu bicarakan.
"Om, langsung saja, apa yang buat Om memilih aku menjadi istri kedua?" tanya Aisyah secara spontan.
Dirga yang belum siap di tanya, hanya terdiam. Sebagai dosen dia cukup terlatih untuk menjawab pertanyaan tiba-tiba. Namun, entah kenapa saat ini dia sepertinya mati kutu.
"Om, jawab!"
Dirga mengerjap, mendengar suara manja Aisyah.
"Karena aku suka kamu sejak pandangan pertama," jawab Dirga asal, padahal sejak pertama bertemu, dia sama sekali tak melirik ke arah Aisyah.
"Memangnya kita pernah ketemu?" tanya Aisyah dengan raut wajah bingung, matanya menatap lekat ke arah Dirga.
Lagi-lagi, Dirga gagal fokus, karena dia memperhatikan bibir mungil Aisyah berbicara.
"Om!"
"Iya, kita pernah bertemu, waktu peresmian kampus milik Ayahmu," jawab Dirga.
Aisyah terdiam, dia berusaha mengingat sosok yang sedang di depannya, namun tak juga dia bisa mengingat nya.
"Ok, Fix aku lupa muka Om, jadi apa alasan Om mau menikah lagi?" tanya Aisyah. Kali ini Dirga lebih bingung lagi untuk menjelaskannya.
"Hem, aku nggak punya alasan." Dirga memang tidak tau alasan apa, sehingga dia ingin menikah lagi, apa dia harus bilang kalau istrinya lebih mementingkan karir daripada dirinya, atau dia harus bilang kalau untuk memiliki anak, karena istrinya menolak untuk memiliki anak, dia masih sibuk untuk mengurusi rakyat."
"Loh, kalau nggak ada alasan, ngapain nikah lagi? Apa sudah siap di bakar dalam api neraka, kalau nggak bisa adil sama semua istrinya?" tanya Aisyah, kali ini gadis yang ada di depan Dirga, berkata dengan cepat dan lantang, membuat Dirga sedikit kaget, dia tak menyangka kalau Aisyah bisa berubah mood dalam waktu yang cukup cepat.
"Bukan begitu, tapi aku nggak bisa mengungkapkan dengan kata-kata, kalau kamu jadi istriku, baru aku akan bilang, kalau belum, aku tak ingin membuka aib dalam rumah tanggaku." Kali ini Dirga menjawab dengan tegas dan lancar.
Sekilas, dia sudah bisa menilai kalau Aisyah adalah tipe wanita yang open mind, jadi dia tidak perlu terlihat jaim.
"Hem, tapi kalau menikah dengan saya, kita harus buat perjanjian pranikah, apa Om bersedia?" tanya Aisyah lagi.
"Boleh." jawab Dirga cepat, entah mengapa dia setuju dengan hal yang satu ini.
Aisyah mengeluarkan hapenya lalu mencatat syaratnya di dalam hape, setelah selesai dia lalu menyimpannya di file dokumen.
"Om, buat surat perjanjian dengan syarat-syaratnya, di word, nanti kita ttd di email saja menggunakan DocuSign."
Dirga paham, dia lalu mengeluarkan hapenya dan mulai mengetik, hanya beberapa menit dia sudah selesai. Setelah itu keduanya mulai menyebutkan email masing-masing dan mulai mengirimkan perjanjian yang mereka mau.
Dirga tertegun membaca syarat yang di tulis oleh Aisyah.
1. Membiarkan dirinya lanjut kuliah di fakultas tehnik sesuai dengan cita-cita nya.
2. Tidak membatasi pergaulan Aisyah, karena Aisyah tau batasan nya.
3. Memberi nafkah lahir sesuai permintaan Aisyah
4. Tidak pernah membentak atau memarahi Aisyah.
5. Tidak merokok jika berada di dekat Aisyah
6. Tidak tinggal serumah dengan istri pertama Om.
7. Aisyah tidak boleh di labrak oleh istri pertama
8. Syarat selanjutnya, nanti menyusul ketika Aisyah ingat.
Setelah membaca semuanya, Dirga tersenyum, dia menggeleng, ternyata gadis di depannya itu begitu polos, dengan cepat Dirga menandatangani dokumen tersebut.
Aisyah juga sedang membaca syarat dari Dirga, isinya cukup singkat, jelas dan padat.
1. Memenuhi kewajiban memberi kepuasan lahir dan batin kepada suami, jika suami meminta. Kapanpun dan dimana pun tidak boleh menolak.
2. Menjaga nama baik suami dengan tidak mengumbar aurat dan bergaul terlewat batas dengan nlawan jenis.
3. Menuruti semua kemauan suami dan menjauhi semua larangan suami.
"Cih!" Aisyah berdecak, dia menatap Dirga dengan pandangan mengejek.
"Apa semua lelaki nisi pikiran nya hanya ingin di turuti?"