ดาวน์โหลดแอป
40.9% RAHASIA KELAM SANG BINTANG / Chapter 9: SI MUKA UDIK, OTAK EINSTEIN

บท 9: SI MUKA UDIK, OTAK EINSTEIN

Beni Wijaya, nama lelaki itu, tersenyum sambil menatap Lavender yang terperangah melihatnya. Semenjak kasus yang menimpanya, lelaki itu bahkan sudah lupa caranya tersenyum. Namun kini dia bisa mengingatnya kembali, meski hanya seulas senyum tipis yang penuh misteri. Tetapi cukup membuat Lavender senang.

"Aku percaya padamu, Lav. Lakukan yang terbaik," ujarnya singkat sambil mengakhiri senyuman mahalnya itu. Lavender segera berdiri dan menundukkan kepalanya saat Beni beranjak dari duduknya dan berjalan meninggalkan Lavender di sana.

"Aku berjanji untuk mengeluarkan Tuan dari sini. Aku berjanji akan membantu Tuan meraih kembali kejayaan yang telah terrenggut oleh orang-orang itu. Aku berjanji, Tuan," serunya dalam hati dengan tatapan penuh amarah. Marah kepada orang-orang yang telah membuat dirinya dan tuannya terpecah seperti ini. Marah melihat keadaan Jovita yang harus menanggung semua seorang diri.

Lavender segera berjalan meninggalkan ruangan itu. Dia kembali mengambil kartu identitasnya dan keluar dengan amarah yang memenuhi rongga dada.

"Astaga, kenapa amarah ini tak kunjung hilang. Setiap aku kemari, amarahku selalu tersulut," gumamnya sambil menyetop taksi yang kebetulan lewat di depannya. Dia pun masuk dan menyebutkan sebuah daerah pariwisata yang cukup padat dengan deretan motel melati di sekitarnya.

Lavender menghubungi seseorang yang biasa ditemuinya ketika selesai berkunjung ke lapas.

"Halo, kamu free sekarang?" tanya Lavender dengan nafas tertahan karena mendengar desahan yang cukup menggoda di telinganya. Lavender tersenyum penuh hasrat. Janji pun dibuat. Lavender melirik bagian bawah tubuhnya yang telah cukup meronta untuk segera dituntaskan hasratnya.

***

Alarm berdering dengan nyaring, Jovita dengan malas membuka kedua matanya. Diraihnya ponsel yang terus terusan berdering itu dengan malas. Niat hati hanya mau mematikan dering ponsel tetapi mendadak gadis itu bangun dari tidurnya. Seketika hilang kantuknya saat melihat banyak sekali panggilan tak terjawab dari Lavender.

"Aduh, ada apa lagi ini. Pasti gara-gara si tante itu lagi," keluh Jovita kesal. Segera dia membuka sebuah pesan dari Lavender.

[Besok pagi jam delapan kamu harus sudah di rumah cantik.] pesan Lavender singkat. Jovita mengernyitkan dahinya kesal. Dia melirik ke jam dinding yang masih menunjukkan pukul enam pagi itu dengan lega. Segera Jovita bangkit dan membereskan tempat tidurnya.

"Meong!" seru si Oyen saat melihat Jovita keluar dari kamarnya.

"Hai Oyen. Sarapan yuk," ajaknya sambil berjalan ke arah dapur diikuti kucing kesayangannya itu. Jovita berjongkok dan memberikan makanan kering untuk kucingnya. Segera Jovita melangkahkan kakinya ke kamar mandi dan membersihkan diri di dinginnya hawa pagi itu.

"Ah, segarnya," gumam Jovita sambil melirik ke arah ponsel Jovanka yang belum dia nyalakan lagi. Dengan hati-hati Jovita menyalakan ponsel pintar edisi terbaru yang ada ditangannya itu.

"Ting! Ting! Ting! Ting!" terdengar suara pesan yang beruntun masuk di sana.

"Tante Kana," gumam Jovita sambil tersenyum simpul membaca sekian banyak pesannya.

"Baiklah, aku balas sekarang," kata Jovita sambil mengetikkan sebuah kata.

"Ok," balas Jovita pada pesan untuk Tante Kana.

Jovita pun segera bersiap. Dia kembali mengecek pesan dari dosennya. Hari ini dia harus menyerahkan berkas skripsi yang semalam telah dikebutnya.

"Syukurlah dia memintaku datang jam tujuh. Jadi ada waktu untuk langsung ke rumah cantik Om Lav," kata Binar sambil mengoleskan pelembab pada wajahnya.

"Udah ah, gini aja. Yang penting wajahku nggak kena matahari langsung," batinnya sambil memasang kacamata lebarnya.

Dia membereskan beberapa barang yang harus dibawa. Termasuk heels dan softlens. Gadis cantik yang polos itu mematut dirinya di depan cermin. Mengenakan jumpsuit colduroy hitam dipadu kemeja gombrang berlengan sebatas siku dan rambut yang dikucir kuda serta sneaker berwarna kusam favoritnya, Jovita tersenyum puas.

"Go Jovita. Hari ini kamu akan berjuang bersama Jovanka. Semoga sukses. Yes!" kata Jovita menyemangati dirinya sendiri di depan cermin. Dia pun segera meraih kunci motor dan helmnya.

Setelah mengunci pintu rumah, Jovita menyimpan sepatu higheelsnya di dalam jok motor. Tentu saja Jovita tidak ingin ada seorang teman pun yang mengetahuinya.

Tepat jam tujuh kurang sepuluh menit Jovita telah tiba di kampus. Halaman parkir terlihat cukup penuh, pertanda banyak mahasiswa yang sudah datang pagi itu. Jovita bergegas menuju ruangan dosennya. Tak ada seorang mahasiswa pun yang menyapanya. Kelihatannya sosok Jovita memang tak terlalu dianggap ada di sana. Hanya karena kepintarannya saja membuat sebagian kecil mahasiswa dan dosen mengetahui keberadaannya.

Jovita melihat cukup banyak mahasiswa yang sudah menunggu dosen di sepanjang koridor menuju ruang dosen. Dosen pembimbingnya termasuk salah satu dosen yang terkenal killer di kampus. Tak sedikit mahasiswa yang mengeluh karena terlalu sering ditolak berkasnya oleh dosen itu. Berbeda dengan Jovita. Banyak yang berpikir apakah karena penampilan mereka yang sama-sama katrok, jadi mereka bisa cocok.

Jovita tak pernah memusingkan itu semua. Dia juga tak peduli apakah dosennya berpenampilan jadul atau modern. Dosen mengajar, mahasiswa menyimak. Dosen memberikan ujian, mahasiswa mengerjakannya. Dan semua itu dilaluinya dengan tanpa masalah. Entah dosen killer atau tidak, Jovita tak pernah terusik.

Seperti pagi ini, dia dengan santai mengetuk ruang dosen dan masuk sambil menyapa sang dosen yang langsung tersenyum melihatnya.

"Selamat pagi, Pak," sapa Jovita sambil mengulurkan berkas skripsinya. Dosen lelaki berambut klimis dan berkacamata cukup tebal itu mengangguk sambil menerimanya.

"Pagi. Sudah selesai, Jov?" balasnya sambil bertanya. Jovita menganggukkan kepalanya sopan.

"Duduklah. Bapak lihat sebentar mana-mana yang kemarin harus direvisi," katanya lagi. Jovita duduk dengan rapi di depannya sambil memandang dosen itu membuka lembar demi lembar skripsinya. Sesekali Jovita melirik ke arah jam tangan yang telah mendekati pukul setengah delapan pagi itu.

"Oke, sepertinya sudah kamu kerjakan dengan baik. Bapak langsung tanda tangani saja kalau begitu," kata dosen itu sambil membenarkan letak kacamatanya.

"Terima kasih, Pak," ucap Jovita senang sambil menatap dosennya dengan penuh rasa terima kasih.

"Kamu kapan punya waktu luang?" tanya sang dosen sambil berbisik dengan mata yang tetap menatap kertas di depannya.

"Hah?! Nggak salah denger aku?" tanya Jovita dalam hati sambil menatap sang dosen bingung.

"Jovita?!" panggil dosen itu sambil menatap gadis yang memandangnya kebingungan di depannya itu.

"E-eh, ya. Ada apa, Pak?" tanya Jovita tergagap.

"Kamu tidak dengar apa yang saya tanyakan tadi?" Dosen itu balik bertanya sambil memandangnya dengan senyum yang membuat Jovita berasa ingin segera pergi dari ruangan itu.

"Ma-Maaf, Pak. Saya sibuk, harus kerja part time sepulang kuliah," jawab Jovita akhirnya.

"Kamu kerja part time dimana?" tanyanya sambil mengulurkan berkas itu kembali ke Jovita.

"Adalah Pak. Lumayan buat nambahin beli kuota," jawab Jovita ambigu. Dia pun segera berdiri dan pamit dengan sopan. Tanpa menunggu dosennya menjawab, Jovita segera balik badan dan berjalan cepat meninggalkan ruangan itu.

Beberapa kalimat menyindir sempat didengarnya, tetapi Jovita tidak peduli.

"Lihatlah, enak sekali nasibnya. Penampilan udik tapi otak Einstein, ketemu sama dosen jadul yang aneh. Klop deh," komentar seorang gadis yang berpenampilan modern menurut mereka. Hampir semua mahasiswa yang mendengar komentarnya tertawa sambil menatap Jovita dengan pandangan meremehkan.

"Ah, belum saatnya unjuk gigi. Biarkan saja mereka bicara apa," batin Jovita yang terus melangkah tanpa menghiraukan hinaan itu.

"Aku sudah harus berada di tempat Om Lav dalam waktu lima belas menit lagi," gumamnya sambil menstater motor matiknya. Dengan cepat Jovita meninggalkan halaman kampusnya.

Jovita melaju cukup kencang. Beberapa kali hampir menerobos lampu lalu lintas karena tiba-tiba berubah merah saat motornya hampir tiba di perbatasan lampu itu. Seperti saat ini ketika dari kejauhan terlihat lampu berwarna hijau maka Jovita melajukan motornya lebih kencang.

Kurang dari sepuluh meter dari lampu itu berada, tiba-tiba saja sudah berubah menjadi merah. Tentu saja Jovita mencoba mengerem motornya.

"Aduh duh duh duh duh …!" teriaknya saat roda motornya dipaksa berhenti. Jovita sempat oleng tetapi dia berhasil menyeimbangkan tubuhnya, jadi motor itu berhenti tepat di garis batas dan pas persis di sebelah sebuah mobil sport mewah yang hanya mempunyai dua kursi penumpang didalamnya itu. Sangat dekat hingga jika sedikit oleng, sudah pasti Jovita akan menyerempetnya.

"Duh, syukur ya Gusti, nggak sampai nyrempet nih mobil. Bisa jadi pembantu selama hidup nih kalau aku sampai nggores nih mobil," batin Jovita sambil bercermin di kaca mobil yang gelap.

Tiba-tiba saja kaca mobil itu terbuka, Jovita tergagap melihatnya. Lebih terkejut lagi saat menyadari sosok yang duduk dibalik kemudi mobil itu.


Load failed, please RETRY

สถานะพลังงานรายสัปดาห์

Rank -- การจัดอันดับด้วยพลัง
Stone -- หินพลัง

ป้ายปลดล็อกตอน

สารบัญ

ตัวเลือกแสดง

พื้นหลัง

แบบอักษร

ขนาด

ความคิดเห็นต่อตอน

เขียนรีวิว สถานะการอ่าน: C9
ไม่สามารถโพสต์ได้ กรุณาลองใหม่อีกครั้ง
  • คุณภาพงานเขียน
  • ความเสถียรของการอัปเดต
  • การดำเนินเรื่อง
  • กาสร้างตัวละคร
  • พื้นหลังโลก

คะแนนรวม 0.0

รีวิวโพสต์สําเร็จ! อ่านรีวิวเพิ่มเติม
โหวตด้วย Power Stone
Rank NO.-- การจัดอันดับพลัง
Stone -- หินพลัง
รายงานเนื้อหาที่ไม่เหมาะสม
เคล็ดลับข้อผิดพลาด

รายงานการล่วงละเมิด

ความคิดเห็นย่อหน้า

เข้า สู่ ระบบ