Sedikit memalukan rasanya.
Perlahan aku kembali berjalan ke titik di mana aku terjatuh dan sempat tak sadarkan diri tadi, lalu terus melangkah lurus dengan mengikuti petunjuk dari alat navigasi yang diberikan Elrert Altells, pria berambut pirang yang sempat menolongku dari terkaman puma sebelumnya, yang baru kutahu ternyata dia adalah pemenang The Ludens periode pertama.
Entah kasihan atau sebab tak mau aku tersesat lagi, dia memberikan sebuah kompas kecil penunjuk jalan yang benar sebelum kembali menelusuri hutan sebagai bentuk penjagaan. Puma yang sebelumnya hampir menyerangku pun ternyata adalah maskot senjata kemenangan milik Elrert, maka hanya dengan suara Elrert, robot puma tersebut dapat dijinakkan.
Tapi yang membuatku malu adalah aku yang salah mengambil jalan, padahal saat berjalan aku benar-benar yakin dan percaya diri, belum lagi Elrert melihat kondisi tubuhku yang sebegini memprihatinkan, tapi untungnya aku tidak begitu dikasihani olehnya. Dia paham akan keinginanku ke sini sehingga hanya memberiku kompas digital kecil, yang ukurannya tak sampai satu telapak tangan remaja.
Dengan memakan waktu hampir setengah jam, juga dengan cara jalanku yang masih terseok-seok, akhirnya gerbang The Ludens tampak di pandangan mata. Arsitektur dari markas menampakkan keamanan tingkat tinggi dengan bahan bangunan dari logam wolfram, logam dengan ketahanan panas dan kuat. Terlihat juga beberapa pendatang baru yang sepertinya memiliki tujuan sama denganku, yaitu menjadi bagian dari The Ludens.
Orang yang baru datang saling berkumpul dengan kelompok mereka, berbincang atau bahkan adu kemampuan bermain game MMORPG. Tak jauh dari arah kedatanganku seorang gadis dengan pakaian serba metalik khas prajurit jaman abad pertengahan melirik, dan sama seperti Elrert dia terkejut, lantas cepat-cepat mendekat. Kuusahakan agar tampak tidak begitu menyedihkan, tapi melihat bagaimana raut wajah gadis itu, aku tahu usahaku sia-sia.
"Hei, kau kenapa?" Dalam satu gerakan cepat dia memapahku, dan berniat mendudukkanku ke sebuah batu.
"Ecin! Apa yang kau lakukan!?" Secara spontan seorang lelaki sudah berada di sisi gadis yang memapahku, bahkan tanpa merasa kasihan menariknya dengan kasar, sengaja pula biar aku jatuh ke tanah.
Sementara aku jatuh, Ecin masih mampu menahan kakinya sendiri, dan dengan wajah penuh amarah dia membalas bentakkan tadi.
"Kau ini kenapa, sih Rancent?" Kulihat Ecin mengayunkan sebuah tamparan, tapi itu bukan tamparan biasa, ada aura kebiruan yang mengikuti tamparan itu. Bisa jadi pakaian yang dia kenakan merupakan pakaian tempur untuk mengikuti The Ludens.
"Kau bodoh? Dia itu musuh kita!"
"Itu urusan nanti, lemah sekali kau mau bermusuhan dengan orang yang sedang kesusahan!"
Pertengkaran yang terjadi antara kedua orang itu membuatku semakin pening, ingin sekali aku beristirahat dengan tenang tanpa mendengar suara bising, tapi dilihat dari pertengkaran mereka sepertinya tidak akan selesai dalam waktu dekat. Kudengkus napas kasar, lalu berdiri dengan pelan.
Pertengkaran itu tidak ada yang melerai, mahal anak-anak lain yang ada di sekitar mendekat dengan wajah antusias, seakan mereka ingin agar Ecin dan satu pria yang kulupa siapa namanya bertarung sampai tewas.
"Hei lihat, pintu markas terbuka!"
Teriakan tadi langsung menghentikan pertengkaran Ecin, suasana menjadi hening dengan mata fokus ke arah belakangku. Aku ikut membalik dan melihat saat pintu besar markas terbuka, sebuah laser memancar dari tiap celah pintu, bergerak cepat seperti hendak membelah pintu itu sendiri, pintu pun terbelah dua, terangkat ke atas dan ke bawah lalu menampilkan dua orang berseragam lengkap ala militer jaman sekarang. Baju kamuflase dengan bahan ringan, tapi kuat akan serangan bom sekalipun.
"Bagi yang ingin menjadi bagian dari The Ludens, silakan masuk." Pria di sisi kiri mengacungkan senapan di tangan. "Tapi untuk para orang bodoh, pulang saja!"
Atmosfer yang dikeluarkan orang itu tidak main-main, saking kuat tekanan yang dia beri, beberapa orang sudah jatuh pingsan. Jika dia lebih niat lagi, pancaran aura yang seperti itu bisa membuat orang depresi dan jadi gila.
"Sudah cukup." Seorang dari kedua pria itu menepuk pundaknya, lalu menatap kami yang masih menahan napas. "Sisanya silakan masuk."
Dengkusan napas lega dan mengekor kedua pria dengan kaki lemas, kulihat beberapa orang bergetar tubuhnya akibat dari sisa pancaran aura tadi. Sementara lorong yang kami masuki terbilang gelap, dingin, persis seperti sedang memasuki gua Abang prasejarah. Walau begitu, bagian jalan terpotong rapi, tidak berundak oleh bebatuan kasar oleh proses alamiah.
Rombongan di sekelilingku berjalan pelan, beberapa terdengar mengoceh, berkomentar, atau bahkan mengeluh sebab kami masuk secara berbarengan, tidak satu-satunya.
"Gila, baru penjaganya saja sudah mengerikan, lalu bagaimana dengan para Ludens?" Seseorang yang berjalan di sampingku berbisik ke teman di sebelahnya.
Kulirik mereka dan sedikit mendekat. Kurasa apa yang mereka perbincangkan akan terasa menarik.
"Kudengar para Ludens tidak bisa dianggap remeh. Meski Luden sendiri hanya game, tapi justru dari sinilah basis pertahanan negara dibuat."
"Wah, serius? Jadi jika kita menang di kompetisi ini, bisa dibilang kita akan bergabung dengan kemiliteran negara?"
"Iya, memang seperti itu tujuan pembuatan ajang The Ludens ini."
Selepas mendengar perbincangan terakhir aku sedikit menjauh dan sedikit memikirkan hal itu. Ini menarik, jika benar The Ludens adalah ajang yang dibuat untuk kemiliteran negara, mungkinkah para pemenang akan mendapat pekerjaan layak di jajaran pemerintah?
Tapi di sisi lain, ini pun terbilang sulit. Pemerintah hanya menginginkan orang terbaik dan sesuai dengan kelas mereka. Maka bisa dipastikan ajang ini bukan hanya untuk bermain-menang-pulang, tapi lebih dari itu.
Lorong panjang yang sedari tadi minim cahaya, kini tampak disinari oleh semacam sinar pemindai bersuhu sedang tak jauh di depan. Setiap sepuluh orang yang hendak lewat, akan langsung terpindai saat tubuhnya melewati sinar tersebut, dan setiap yang masuk sinarnya akan semakin terang, tapi jika tidak ada sinarnya akan meredup.
Tampak setelah terpindai, sisi mereka sedikit blur terhalang sinar pindaian itu, tentu hal itu membuatku penasaran, belum lagi kegunaan dari mesin pemindai yang terbilang terlalu besar. Buat apa mesin pindai sampai menutupi jalan ke dalam gua? Hanya untuk memeriksa kesehatan tubuh, kurasa tak perlu sampai sebesar itu.
Pertanyaan di kepala berhenti begitu saatku untuk dipindai tiba, kurasakan sedikit sengatan di seluruh tubuh kala melewati sinarnya, secara ajaib pakaianku sudah berganti ke pakaian catsuit hitam ketat berbahan katun dengan motif ulir elektrik biru tua di sisi-sisinya. Kala pandanganku ke depan, semua yang terkena sinar pindaian tadi sudah berganti ke pakaian yang sama, hanya saja warna mereka berbeda-beda.
Hal yang kusadari selanjutnya adalah ruangan yang kutapaki saat ini, sangat berbeda dibanding pintu masuk yang seperti gua kuno, bagian dalamnya justru seperti arena pertandingan game berbagai jenis, entah robotik, MMORPG, VR, dan juga permainan fisik seperti olahraga dan beladiri.
Beberapa permainan bahkan sudah penuh dan mengantre orang-orang yang hendak ikutan adu kemampuan dari game itu. Aku sendiri masih melongo di dekat sinar pemindai, tentu hal seperti ini tidak pernah terlintas dalam benakku sebelum memutuskan mendaftar ke sini.
'Ini sama saja seperti game zone di pusat kota. Lalu apanya yang menjadi basis pertahanan negara?'
gimana? kaget ya, ehe. Di arc dua bakal aku khususkan buat POV satu ya, jadi jangan heran, nyann~ ^^