"Mas Jefri kenapa bisa ada di sini?" Wili bertanya dengan wajahnya yang tegang. Tentu saja ia merasa cemas karena sempat berbohong pada kakaknya mengenai alasannya meminta uang.
"Kamu tidak usah tanya kenapa aku ada di sini! Aku yang harusnya bertanya sama kamu, kenapa kamu ada di rumah wanita murahan ini? Kamu sengaja ingin membayarnya lima ratus juta? Berani-beraninya kamu membohongi aku, Wil!"
Deretan pertanyaan yang keluar dari mulut Jefri membuat Wili membisu tak bisa membela diri. Wili seolah tertangkap basah tengah bertransaksi dengan Jeni, dan Jefri mengira jika adiknya itu akan menyewa Jeni dengan uang senilai lima ratus juta itu.
"Cukup, Mas Jefri! Aku tidak semurahan itu," lirih Jeni membela diri. Bulir beningnya tumpah dengan deras di pipinya. Betapa sakitnya hati Jeni tatkala mendengar ucapan Jefri yang terlalu tajam dan menusuk jantungnya.
"Diam kamu! Saya tidak sedang berbicara dengan kamu!" sergah Jefri pada Jeni. Sorotan mata yang biasanya menatap Jeni penuh cinta, kini tak nampak lagi. Jefri melayangkan tatapan sinisnya pada Jeni, seperti penuh kebencian.
Berhari-hari Jefri mencari keberadaan Jeni. Berhari-hari Jefri menginginkan bertemu mantan istri simpanannya itu. Namun apa yang dia dapatkan, dia kini hanya menelan rasa kecewanya tatkala melihat adiknya sendiri menyerahkan uang lima ratus juta pada mantan isrti kontraknya.
Bukan ini yang Jefri mau, bukan pemandangan pahit ini yang ingin ia saksikan. Ia hanya ingin kembali menikahi Jeni, wanita muda yang sangat ia cintai dari pada istrinya yang telah memberikannya dua orang anak.
Melihat Jefri yang tiba-tiba melampiaskan kemarahannya pada Jeni, tentu saja Wili tidak diam. Dia berusaha membela Jeni, itu karena Wili sama sekali tak mengetahui arti dari kata-kata yang dikeluarkan kakaknya terhadap kekasihnya.
"Tidak, Mas. Aku bisa menjelaskannya. Ini tidak seperti yang Mas Jefri lihat. Aku bisa menjelaskannya," ucap Wili berusaha membela kekasihnya. Ia memegang pergelangan tangan Jefri, berharap jika kakaknya itu mau mendengarkan perkataannya.
"Pulang sekarang juga!" titah Jefri tanpa memberikan Wili waktu.
"Tidak, Mas. Aku akan menjelaskannya terlebih dahulu," pinta Wili dengan memasang wajah memelasnya.
"Pulang sekarang juga, Wili!" Jefri berbicara dengan hardiknya.
"Kita akan bicara di rumah, ikuti perintah aku atau kamu akan menyesal!" imbuhnya pada Wili dengan tegas penuh penekanan.
Setelah bertahun-tahun hidup bersama Jefri, ini adalah kali pertama Wili melihat kakaknya penuh dengan emosi yang meledak. Ini adalah kali pertama Wili melihat kemarahan kakaknya yang tak terkendali. Selama menjadi saudara kakak beradik, ini adalah bentakan pertama yang didapatkan Wili dari, Jefri. Tentulah seketika membuat Wili tercengang melihatnya. Ia berpikir bahwa Jefri tengah salah paham pada dirinya. Ia juga berpikir jika kakaknya itu menyangka kalau Wili tengah membayar Jeni untuk tidur bersamanya, padahal bukan itu kenyataannya.
Tanpa bisa melawan atau pun menentang, Wili tampak pasrah.
"Jen, maafkan aku. Aku harus pulang dulu. Aku akan kembali datang nanti," ucap Wili terhadap Jeni dengan lesu dan raut wajahnta yang sedu. Ia memang tak terima saat kekasihnya itu dibentak oleh Jefri, namun ia tak memiliki kekuatan untuk melawan kakaknya.
Jeni hanya mengangguk dengan gelimang air mata yang terus saja mengalir di pipinya. Ia tai dapat menjawab ucapan Wili, ia hanya melihat dengan jelas saat Wili berjalan mengikuti langkah Jefri dengan menjinjing tas hitam yang berisi lembaran uang lima ratus juta tadi.
Saudara kakak beradik itu masuk ke dalam kendaraan roda empatnya masing-masing, kedua mobil itu melaju dengan kencang meninggalkan rumah Jeni.
Dua lelaki itu tengah kalut. Bukan hanya Wili, Jefri pun merasakan sakitnya sebuah penghianatan. Ia merasa dikhianati Jeni dengan adiknya sendiri. Ia merasa jika Jeni telah menjadi wanita bayaran untuk adiknya.
"Aarrgghh!" Jefri tampak menghentak-hentakan sebelah tangannya di atas setir mobilnya. Bibirnya tampak mengerut dengan rahang yang terlihat mengeras. Jefri terlihat murka.
"Pantas saja dia tidak ingin kembali padaku, rupanya dia sedang mengincar Wili. Apa yang Jeni lihat dari Wili? Uang lima ratus juta pun dia dapatkan dariku. Aku bahkan akan mampu membayarnta miliaran rupiah!" Jefri tampak berbicara sendiri di dalam mobilnya yang melaju dengan kencang.
Sementara di kediaman Jeni, wanita cantik dengan bulu mata lentik dan berwajah oriental itu tampah luruh di atas tempat tidurnya. Rencana yang ia akan susun rapih bersama mamahnya tampaknya terpatahkan begitu saja dengan kedatangan Jefri yang tiba-tiba mangagetkan jantungnya.
"Mengapa jadi seperti ini, Mah," lirih Jeni di pangkuan mamahnya. Kesedihannya yang begitu dalam nyatanya tak mampu membendung air mata yang terus saja menggaris lurus di pipinya.
"Sudahlah, temangkan hatimu. Kamu tak akan bisa berpikir dalam keadaan panas seperti ini," saran Karin sambil mengusap-usap rambut Jeni. Ia sengaja tetap berdiam diri di dalam kamar Jeni saat mendengar kedatangan Jefri tadi. Ia tak ingin memperkeruh suasana. Ia pun tak mau membuat Keputusan yang salah dalam keadaan tegang seperti tadi.
"Aku takut Mas Jefri mengatakannya pada, Wili. Aku yang harusnya mengatakan sendiri. Bukan orang lain termasu, Mas Jefri. Aku takut Wili akan kecewa padaku dan pergi meninggalkanku, Mah," lirih Jeni dengan suara isak tangis yang mengiringi setiap ucapannya.
Jeni sangat mencintai Wili, tentu ia tak mau kehilangan lelaki baik itu. Tapi, kenyataan sekali lagi mematahkan harapannya. Terlebih dengan kedatangan Jefri tadi, yang membuat Jeni semakin merasa ketakutan.
Sudah bisa disangka, Jeni merasa jika hidupnya akan hancur setelah ini. Harapannya bersama Wili semakin suram dan tak bisa melihat lagi masa depannya.
***
"Sejak kapan kamu menyewa wanita tadi? Sejak kapan kamu tidur dengannya?" tanya Jefri dengan tegasnya pada Wili.
Mereka berdua kini telah berada di suatu ruangan yang berada di kediaman mewahnya. Ruangan tempat Jefri menerima tamu dan itu ruangan Jefri saat membicarakan hal serius dengan tamu bisnisnya.
"Wanita tadi bernama, Jeni. Aku tidak pernah tidur dengannya. Aku pun tak pernah menyewanya satu rupiah pun. Dia wanita baik-baik teman kampusku. Aku memberinya uang hanya untuk membantunya menyelesaikan masalah hutangnya," jawab Wili dengan jelas. Nada suaranya tentu tak setinggi Jefri karena Wili selalu menghargai kakaknya dan tak pernah membangkang.
"Bohong!" bantah Jefri. Ia sama sekali tidak percaya dengan adiknya. Ia merasa jika Jeni memiliki permainan yang liar dan tidak mungkin sama sekak tak disentuh oleh Wili.
Dua kaka beradik itu nyatanya mencintai wanita yang sama, dan dua orang bersaudara itu sama-sama terobsesi dengan Jeni dan juga ingin memilikinya.
Lalu, bagaimana jika Wili mengetahui cerita kelam Jeni dengan kakaknya?
Jefri melayangkan tatapan nanarnya pada Wili, tentu saja ia tak akan membiarkan siapa pun termasuk adiknya sendiri pun merebut kecintaannya.
"Aku sudah menjawab jujur, Mas Jefri. Buat apa aku menyewa Jeni, karena sebentar lagi aku juga akan segera menikahinya," tegas Wili dengan penuh keyakinan.
"Apa!" Jefri terkejut dengan bola mata membulat sempurna.